Search

Bahasa Gaul dan Realitas Budaya Berbahasa

Bernas Jogja, Selasa 30 Oktober 2012

Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si

Menyimak bahasa yang tengah berkembang pada pergaulan dewasa ini, semakin memaksa kita untuk berpikir keras mamahami maknanya. Kata-kata sepert “ciyus” (serius), “miapah” (demi apa), “cemungudh” (semangat), “amaca” (ah masa), “ca oong cih” (masa bohong sih), “markiboci” (mari kita bobo siang) kerapkali digunakan dalam ranah maya dan televisi. Beberapa talent dalam acara televisi menggunakan idiom tersebut  dalam pesan-pesan yang disampaikannya. Iklan televisipun ikut serta meramaikan penggunaaan idiom baru tersebut.

Kahadiran idiom baru dalam bahasa pergaulan dewasa ini, kita sebut saja sebagai bahasa gaul. Maraknya bahasa gaul  sangat didukung oleh media seperti jejaring sosial maupun media televisi. Persebaran dengan bantuan teknologi media membuat bahasa gaul tidak hanya menjadi milik remaja urban, namun meluas sampai ke penjuru daerah dan tidak mengenal batas usia.

Bahasa gaul menjadi perilaku komunikasi yang tak terbantahkan, manakala telah menjadi bagian dalam perilaku kebanyakan orang. Komunikasi dengan bahasa gaul telah membentuk penggunanya masuk dalam suasana yang lebih akrab. Dengan kata lain, bahasa gaul telah menjadi wahana ekspresi keeratan sebuah hubungan dan memupuk kehangatan dengan orang lain. Komunikasi dengan bentuk semacam ini dapat dikategorikan sebagai phatic communication (Mulyana, 2005). Komunikasi fatik ini dapat sekaligus berfungsi sebagai mekanisme untuk menunjukkan ikatan sosial di antara pelaku komunikasi.

Fenomena penggunaan bahasa gaul sebenarnya bukan hanya terjadi pada masa kini, tetapi telah diawali sejak tahun 80-an dengan mengambil serapan dari bahasa Betawi, seperti “loe” (kamu) dan “gue” (aku). Pada pertengahan tahun 2000-an seorang artis bahkan meluncurkan sebuah buku mengenai Kamus Bahasa Gaul dengan serapan istilah-istilah dari bahasa yang digunakan oleh kaum waria, disajikan dalam kamus khusus, karena memang pemaknaannya hanya diketahui oleh mereka yang memahami konteksnya, seperti istilah “ember” (memang),  “cucok” (cocok), dan masih banyak lagi istilah lainnya.

Bahasa dan Realitas Budaya

Apapun bentuk bahasa gaul yang digunakan pada masing-masing era, menunjukkan adanya dinamika dalam kebiasaan berbahasa, yang merupakan merupakan lambang dari realitas budaya. Para pengguna bahasa gaul mencoba menunjukkan identitas diri mereka sebagai bagian dari modernitas pergaulan masa kini. Bisa jadi hal ini merupakan obsesi dalam melakukan revolusi terhadap dinamika perubahan jaman.

Gaul dalam khasanah berbahasa ini tampaknya merupakan sebuah dekonstruksi terhadap kemampanan bahasa yang ada dalam tata aturan penggunaan bahasa baku. Idiom yang sengaja dipelesetkan dari kata awalnya, seperti “ciyus” dari asal kata “serius” dan “miapah” dari kata “demi apa” seolah sedang mendobrak ruang sempit penggunaan kata tersebut sesuai tata aturan dan penulisannya.

 Keberadaannya telah menjadi realitas  dalam kehidupan sehari-hari. Tengok saja pada media jejaring sosial yang semakin ramai dalam mempergunakan bahasa gaul. Bahkan dalam sebuah harian online, dikatakan bahwa pengguna bahasa gaul terbaru ini dapat dikategorikan sebagai individu yang sedang galau (gundah). Pemakaiannya pun akan semakin ramai di jejaring sosial ketika waktu beranjak malam hingga dini hari (Tempo Gaya, 25/10).

Idiom “Ciyus” dan “miapah”  juga dipopulerkan oleh salah satu produk provider seluler terkemuka, yang menggunakannya dalam iklan di  media televisi. Idiom ini dan masih banyak idiom gaul lainnya, menjadi tren masa kini dan bersifat temporer. Mengapa dikatakan temporer? Sebab sangat mungkin, ke depannya akan muncul lagi bentuk bahasa gaul yang berbeda bentuknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam realitas budaya, bahasa gaul menjadi membudaya ketika bergantung pada kebutuhan dan kesepakatan, sebab masing-masing bahasa gaul memiliki masanya sendiri-sendiri.

Kreativitas versus Ancaman Bahasa

Bahasa gaul bagaimanapun merupakan sebuah gerakan yang masif dengan meta-komunitas yang saling terkoneksi dan berinteraksi. Relasi yang terjalin dengan keikutsertaan kecanggihan teknologi komunikasi, berlangsung secara natural tanpa satupun institusi yang bisa mengatur dan mengontrolnya. Mereka akan menjadi komunitas yang terbentuk dengan sebuah common interest yang sama, yakni ketertarikannya dengan perkembangan bahasa gaul.

Iklim yang sangat dinamis pada ruang komunikasi telah menciptakan budaya berbahasa yang dinamis pula. Dinamika ini dapat saja dipandang sebagai sebuah kreatifitas unik yang menunjukkan eksistensi kelompok masyarakat tertentu. Passion atau semangat dalam mencipta yang tak kenal henti, menjadi kunci dalam kreatifitas penciptaan bahasa gaul. Energi kreatif ini dapat menunjukkan betapa benih-benih inovasi telah mampu menerobos  realitas budaya dalam berbahasa.

Pada sisi yang lain, bahasa gaul dapat pula menjadi ancaman dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan juga menjadi ancaman bagi perkembangan budaya luhur yang dimiliki oleh nenek moyang kita. Ketakutan terhadap hancurnya tatanan penggunaan berbahasa yang baik dan benar dapat berpengaruh hingga ke ranah akademik

 Bahasa gaul yang awalnya merupakan upaya sekelompok masyarakat untuk mengakrabkan komunikasi di antara mereka dengan penciptaan kreatifitas berbahasa, justru merasuk dalam pengabaian tatanan berbahasa. Bisa jadi pengguna bahasa gaul  terlena atau bahkan tidak menyadari di mana ruang yang tepat untuk menggunakannya. Hal ini mengakibatkan pengacuhan terhadap aturan dan tatanan berbahasa yang baku, baik dan benar, bahkan pengabaian budaya berbahasa yang sesuai dengan nilai-nilai struktur masyarakat. Intinya bahasa gaul dapat berpotensi mengasingkan kelompok penggunanya dari warisan tatanan bahasa dan budaya yang diwariskan leluhurnya.

Kolaborasi Budaya Berbahasa

Ketika diskusi  bahasa gaul sampai pada perpecahan pandangan mengenai dampak positif dan negatif, maka  terjadi tarik menarik pada kedua pandangan tersebut. Ketimbang direpotkan oleh perpecahan pandangan semacam itu, mengapa tidak mengubah pola pikir untuk menempatkannya secara berdampingan.  Artinya,  bahasa gaul sudah semestinya ditempatkan pada porsinya yang benar. Gaul yang menjadi kunci dari pergaulan biarkanlah tetap berada pada ranah pergaulan. Hakikatnya adalah mengusung konsep membangun relasi yang fair, hangat dan bersahabat tanpa mendeskreditkan tatanan yang telah ada.

Pada saat bahasa gaul ditempatkan sebagai sebuah kebudayaan berbahasa yang baru dalam bangunan berelasi, maka sewajarnya tidak mencoreng dan menggeser tatanan berbahasa maupun berbudaya yang telah ada dan menjadi pegangan masyarakat. Dengan demikian terdapat secercah gambaran dinamika berbahasa yang kreatif dan dinamis, yang berdampingan dengan tatanan dan aturan yang telah baku.

Intinya, menempatkan penggunaan bahasa sesuai dengan ranah penggunaannya, tidak mencampuradukannya sehingga merusak tatanan yang telah ada. Dengan bertindak sesuai konteks, maka kita telah mencoba menghormati  dan melestarikan bahasa yang telah diperjuangkan oleh pendahulu kita sejak tanggal 28 Oktober 1928. Semangat juang berbahasa yang baik dan benar,  kini sedang berada di pundak kita semua.

*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si. staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)

Search
Categories