Search

Pemberitaan Media tentang Bencana

Bernas Jogja, Selasa, 17 Desember 2013

Oleh: Yudi Perbawaningsih**

“Jakarta waspada banjir”. Itu judul berita utama harian Kompas 14 November 2013. Sore harinya, Metro TV mengupas tema yang sama dengan menayangkan beberapa daerah yang sudah tergenang banjir sekalipun hujan masih dalam beberapa hari, dan juga beberapa titik di DKI Jakata yang rawan banjir sehingga perlu diwaspadai.

Saya yakin, berita atau ulasan dengan tema yang sama tak hanya ditampilkan oleh dua media ini. Ini jelas merupakan indikasi bagus terkait dengan cara yang ditempuh media untuk mengkomunikasikan bencana alam yang potensial mengarah ke krisis. Secara konseptual ilmiah, ini disebut dengan komunikasi krisis. Dalam konteks komunikasi krisis, media memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber informasi tentang krisis. Peran media dalam krisis seharusnya adalah sebagai agen informasi bagi beberapa pihak, terutama bagi korban krisis dan institusi yang bertanggung jawab untuk mengatasi krisis dan membantu pemulihan.

Sebagai agen informasi, dalam krisis, media berperan untuk menyediakan informasi bagi korban yang dapat membantu mereka memahami krisis, gejala-gejala atau potensi krisis sehingga mereka dapat mempersiapkan diri, merespon dan mengantisipasi terjadinya krisis dengan lebih baik. Sedangkan bagi institusi yang berwenang mengatasi krisis seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, palang merah, media harus menyediakan informasi yang dapat menolong mereka dalam membuat keputusan, kebijakan dan solusi dalam mengatasi krisis. Merujuk pada hal ini, maka apa yang dilakukan dua media di atas dapat dikatakan baik. Informasi tentang beberapa titik banjir yang perlu diwaspadai adalah informasi yang mendidik masyarakat untuk paham adanya potensi bahaya sehingga mereka dapat waspada dan bersiap diri.

Kasus di Beberapa Negara

Dalam beberapa kasus bencana alam di beberapa negara, peran media tidak cukup baik. Sebuah penelitian bahkan secara mengejutkan membuktikan adanya fakta bahwa pada saat krisis media tidak lagi menjadi agen informasi tetapi agen pengumpul donasi untuk korban krisis. Berkembang konsep bahwa semakin banyak donasi yang didapatkan media dari masyarakat, semakin bagus citra media tersebut. Konsep ini dipegang oleh media sehingga dengan berbagai cara mereka berusaha untuk mendapatkan donasi sebanyak-banyaknya dari pengguna media. Beberapa cara yang lazim ditempuh adalah mengemas berita dengan cara melebih-lebihkan fakta, mengulang-ulang pemberitaan, dan mendramatisasi situasi bencana.

Ada kalanya, media lebih menekankan pada perkembangan jumlah korban dan derajat penderitaan, apalagi korban tewas. Media seolah-olah berharap jumlah korban bertambah dengan angka yang spektakuler karena ini merupakan informasi yang diasumsi media menarik bagi publik. Media juga lebih suka menempatkan korban dalam bingkai ketidakberdayaan, lemah, tanpa usaha, dan sangat tergantung pada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya, sementara di sisi lain, masyarakat tidak seperti itu.

Banyak kasus, korban krisis cukup cerdas, kuat bertahan dan mandiri dalam menghadapi dan mengatasi bencana. Yang seperti ini justru “lolos” dari perhatian media karena dianggap tidak menarik, tidak menyentuh perasaan, tidak menimbulkan simpati publik. Selain itu, media juga lebih suka menekankan pemberitaan pada derajat kerusakan dan potensi kerusakan sebagai dampak dari bencana alam. Semakin besar derajat kerusakan sebagai akibat dari bencana, dipercaya media sebagai informasi yang semakin menarik bagi publik. Hal ini sengaja dilakukan sebagai strategi untuk mendapat simpati dan empati publik pengguna media dengan demikian mereka akan memberikan donasi kepada para korban melalui media tersebut.

Bencana Banjir Jakarta

Mengamati kasus banjir di Jakarta Januari 2013 lalu dan pemberitaan media, khususnya media online, ada indikasi yang baik terkait dengan komunikasi krisis, dalam hal ini komunikasi bencana. Misal, penyebutan jumlah korban didasarkan data dari berbagai sumber yang kredibel  seperti kepolisian, palang merah atau lembaga swadaya masyarakat. Bisa saja jumlah korban yang disebutkan berbeda-beda, namun di situlah media memberikan beragam perspektif sehingga publik dapat memahami informasi dengan lebih menyeluruh dan kaya.

Masyarakat bebas menentukan mana data yang akan mereka pegang dan percayai. Oleh karena itu, media yang kredibel akan menjadi “pegangan” publik untuk menentukan tindakan selanjutnya dalam mengatasi krisis dan dampak krisis. Di samping itu juga saya temukan banyak pemberitaan yang menampilkan nara sumber dari para pakar bencana, atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk menjelaskan tentang bencana. Pemberitaan ini memuat informasi-informasi yang mendidik publik untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang bencana dan potensi terjadinya bencana, sehingga publik dapat mempersiapkan diri ketika bencana benar-benar terjadi, dan mampu melakukan tindakan yang berguna untuk mengatasi bencana. Sebagai contoh informasi yang mendidik adalah tentang ketinggian air hujan di kanal-kanal banjir. Media tidak hanya memberikan informasi tentang  ketinggian air hujan tetapi juga makna pada setiap ketinggian tersebut.

Jumlah pemberitaan semacam ini sebanding dengan pemberitaan yang mengangkat tokoh politik yang terkait dan upaya para tokoh ini mengatasi bencana, menolong korban untuk keluar dari krisis. Apapun kepentingan di balik upaya pertolongan ini, setidaknya media dapat membantu “menenangkan” publik terkait dengan pemberitaan media tentang upaya yang dilakukan pihak-pihak berwenang. Artinya, media berperan untuk menginformasikan bahwa pihak-pihak ini tidak  membiarkan korban krisis berjuang sendirian.

Indikator lain tentang komunikasi bencana yang cukup positif adalah jumlah berita yang tidak terlampau banyak bercerita tentang jumlah korban, derajat penderitaan korban, apalagi mempertontokan korban yang tidak berdaya, tidak memiliki kemampuan berbuat apa pun. Bahkan sebaliknya, lebih banyak ditemukan foto-foto yang menggambarkan kemandirian publik mengatasi bencana, keceriaan anak-anak bermain air, dan aktivitas rutin yang tetap berjalan. Ini semua merupakan indikator tentang peran positif media dalam pemberitaan bencana atau krisis. Tentu pengamatan ini hanya sebagai kasus. Juga mungkin tidak berlaku pada semua kasus bencana dan pada semua media di Indonesia.   

Kecerdasan Publik Pengguna Media

            Sangat mungkin terjadi, pemberitaan bencana yang sama akan berbeda pada media yang berbeda. Hal yang paling sering ialah perbedaan jumlah korban. Ada media yang tampak sangat ingin mengabarkan tentang jumlah korban tewas –karena ini diasumsikan sebagai informasi yang menjual- sehingga dengan terburu-buru tanpa menggunakan data yang akurat atau berasal dari sumber yang berwenang. Pada media yang demikian – lebih berorientasi untuk mendapatkan target pembaca atau penonton sebanyak-banyaknya- maka biasanya situasi bencana akan tampak lebih dramatis.

Menghadapi keragaman bahkan perbedaan pemberitaan bencana ini diperlukan kecerdasan publik. Publik yang cerdas adalah publik yang pandai memilih media yang memang memiliki catatan yang baik dan dapat dipercaya. Selain itu, kecerdasan publik juga ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mengkritisi isi media. Kekritisan itu dapat muncul ketika publik memiliki banyak wawasan pengetahuan dan informasi, tidak hanya dari media massa tetapi juga dari sumber-sumber informasi lain melalui jalur komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Jika korban dan pihak yang terkait dengan dampak bencana adalah publik yang cerdas, niscaya peran media akan sangat membantu mereka mengatasi krisis.**

 Yudi Perbawaningsih adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ide tulisan ini sebagian diadaptasi dari paper yang pernah dipresentasikan dalam International Conference on Crisis Communication, Oktober 2013 di Erfurt Jerman.  

 

 

     

Search
Categories