Search

Bahasa Kita, Koruptor, Media

Bernas Jogja, Rabu, 6 November 2013

Lukas S. Ispandriarno

Bahasa nasional kita, bahasa Indonesia sedikit mendapat perhatian tatkala berlangsung  peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober. Kehendak menjadikan bahasa Indonesia sebagai calon bahasa ASEAN sungguh menantang karena terdapat 240 juta pengguna di Indonesia serta sekitar 30 juta warga Malaysia maupun 420 ribu warga Brunei penutur bahasa Melayu. Keinginan berperan sebagai bahasa internasional  terlihat pada tema “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional” Kongres Bahasa Indonesia 2013. Niat ini merupakan amanat undang-undang, meningkatan fungsi menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, berkelanjutan. Apa hubungannya dengan bahasa para koruptor dan media?

Di tengah banjir informasi dari berbagai belahan dunia, bahasa Indonesia masih menjadi bahasa utama kebanyakan warga. Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi  di segenap pelosok tanah air. Kenyataan ini ada karena sumpah politik para pemuda dan pemudi 28 Oktober 1928, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, serta berbagai sumpah ataupun kesepakatan bangsa  yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan. Pada pemerintahan reformasi telah disepakati Undang-Undang No 24  tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaaan.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang dipakai di seluruh wilayah NKRI.Tujuan pengaturan  memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan kedaulatan bangsa dan negara, serta  menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi bahasa. Meski demikian, terdapat kenyataan  yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh sebagian orang karena berbagai alasan. Ketiadaan  “penegakan hukum” menjadi salah satu faktornya.

UU ini unik karena tidak mencantumkan larangan maupun pidana bagi pelanggarnya, berbeda dengan ketentuan untuk bendera, lambang negara dan lagu kebangsaan. Kita acapkali menjumpai berbagai kesalahan  karena ketidaktahuan maupun ketidakpedulian yang terus berkembang, mengarah kepada pembiaran. Sikap ini jauh dari rasa hormat pada  sumpah pemuda serta cita-cita UU Kebahasaan.

Pembiaran pelanggaran berbahasa Indonesia bahkan terjadi di bangku sekolah, dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi. Apakah para  guru dan dosen membiasakan diri membuka kamus  memeriksa kata yang benar supaya tidak terjadi kesalahan ketika mengajar? Sejumlah dosen tidak mau belajar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui buku berisi aturan atau pedoman,  misalnya pedoman penulisan kata dan  tata bahasa. Akibatnya, berbagai kesalahan terjadi pada karya tulis ilmiah di perguruan tinggi. Situasi yang sama juga berlangsung di lingkup pemerintahan. Hal ini tercermin dalam penulisan surat,  pengumuman, iklan ucapan selamat. Kesalahan yang sama dilakukan  media massa cetak dan elektronik, selain media dalam jaringan (online). Masing-masing jenis media memiliki tingkat pelanggaran  berlainan. Media cetak mengantongi  kesalahan lebih sedikit ketimbang media dalam jaringan maupun media penyiaran.

Pekerjaan rumah ada di tangan sejumlah pihak termasuk  pemerintah daerah seperti tertulis pada pasal 42.  Undang-Undang No 24  tahun 2009   mewajibkan pemerintah daerah  mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

 

Di dalam masyarakat, berbagai kesalahan berbahasa terjadi karena derasnya tekanan  dunia internasional melalui  alat komunikasi modern, terutama telepon  genggam (handphone). Para ahli komunikasi, misalnya Soliz and Giles,  membahasnya dalam topik language and communication, dan secara khusus pada pokok bahasan language and mediated communication (Berger, Rolof and Roskos-Ewoldsen, 2010). Kemajuan teknologi komunikasi  memengaruhi  pilihan lanskap informasi dan hiburan serta sejumlah perubahan dalam praktik komunikasi keseharian.

Isi pesan dan percakapan melalui telepon genggam ditingkahi berbagai kata asing seperti “otw” (on the way), “btw” (by the way). Singkatan seperti itu telah menjadi bahasa komunikasi  lazim di semua kalangan masyarakat. Hal yang sedikit berbeda berlangsung di kalangan menengah terdidik misalnya penggunaan istilah serapan “komit” (comitted). Hal menarik yang patut dicatat adalah masih banyaknya kesalahan tulis bersifat mendasar di kalangan masyarakat kebanyakan maupun terdidik, misalnya dalam menuliskan kata kerja “diuji” menjadi “di uji.”

Tidak kalah menarik menyimak penggunaan bahasa atau kode komunikasi melalui telepon genggam  sejumlah koruptor. Dari berbagai media kita dapat menyimak percakapan antar para koruptor yang memunculkan  kode khusus untuk menyebut  barang tertentu. Istilah “apel” digunakan Angelina Sondakh serta  Mindo Rosalina Manurung,  koruptor kasus suap wisma atlet SEA Games, menggantikan istilah uang.  Kata  “apel malang” menjadi silih kata uang rupiah, sedangkan “apel washington” menggantikan dolar Amerika Serikat. Semakin menarik  mengamati  komunikasi koruptor pengadaan Al Quran yang menggunakan kode “kiai” menggantikan kata politikus, “ustads” sebagai silih  pejabat Kementrian Agama dan “pesantren” pengganti partai politik.

Bagaimana dengan  bahasa media? Penelitian Dwiyanto Indiahono dalam tajukMedia Pers Lokal Melawan Korupsi” menghasilkan temuan berharga. Media cetak lokal yang diteliti, Radar Banyumas, memakai istilah atau bahasa tertentu yang berkonotasi pro masyarakat atau sebaliknya, mendukung koruptor. Terdapat 94 berita bernada pro pada publik sementara ada 128 buah berita pro pada koruptor. Sebagai contoh, penggunan kata “kecipratan” dalam sebuah judul berita ”Staf Diknas Ikut Kecipratan” melukiskan makna tidak disengaja terciprat sehingga  memunculkan bias makna. Artinya, staf tersebut tidak sengaja melakukan korupsi.

Dwiyanto memberi apresiasi atas banyaknya berita kasus korupsi yang ditulis media lokal serta jumlah pelaku korupsi di wilayah yang diteliti, namun  ia juga menemukan, pemberitaan tindak pidana korupsi di media  masih banyak menggunakan bahasa atau istilah yang  bias keberpihakannya pada publik. Bahasa yang digunakan lebih banyak bernada  ragu-ragu bahkan dapat memunculkan bias, dan malah pro pada koruptor.

 

*Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ketua Masyarakat Peduli Media DIY.

Search
Categories