
Program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) telah dijalankan oleh pemerintah untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa/i di Indonesia untuk tidak hanya belajar di lingkungan kampusnya saja. Mahasiswa juga untuk secara bebas dapat menuntut ilmu di luar kampusnya. Dalam program MBKM ada delapan pembelajaran yang ditawarkan, yaitu program mengajar, program magang, program proyek desa, program pertukaran pelajar, program penelitian/riset, program wirausaha, program proyek kemanusiaan, program studi proyek independent/mandiri. Berbagai program yang ditawarkan ini tentunya sangat menarik dan juga berguna untuk mengasah kemampuan dan keterampilan mahasiswa.
Menteri pendidikan Indonesia, Nadiem Makarim, mengumumkan bahwa terdapat sekitar 50 ribu mahasiswa/i yang mengikuti program MBKM di semester ini. Harapannya angka tersebut akan naik di semester depan, dengan target 150 ribu mahasiswa. Pada awal mula, Nadiem menjelaskan bahwa terdapat ketimpangan mahasiswa/i yang mengikuti program MBKM. Terdapat mahasiswa/i yang menerima uang saku secara rutin setiap bulannya. Di sisi lain, terdapat mahasiswa/i yang dari awal mereka bergabung belum mendapatkan uang saku. Hal tersebut menimbulkan kontroversi antara mahasiswa/i dengan pemerintah karena dianggap tidak menepati kesepakatan awal terkait dengan uang saku bagi mahasiswa yang mengikuti program MBKM.
Selanjutnya, bisa kita simak terkait tanggapan perwakilan beberapa mahasiswa/i perwakilan tiap program MBKM yang ditawarkan. Pertama, Muhammad Nata Raydiansyah, mahasiswa Sosiologi angkatan 2019 semester 5 Universitas Sriwijaya mengikuti program Kampus Merdeka Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM). Dia mengikuti program ini karena ingin merasakan hal baru di kampus yang mana Nata ditempatkan. Dia ingin mengetahui lebih banyak mengenai kebudayaan dan ingin menambah relasi. Terkait masalah uang saku Nata bertanggapan, “Kalau masalah uang saku, mungkin memang beberapa masalah dialami oleh pihak terkait. Namun saya yakin seluruh mahasiswa akan mendapatkan haknya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Dikti“. Kemudian Nata juga berpesan “Semoga kedepannya program ini menjadi salah satu wadah untuk memberikan wawasan dan keterampilan yang lebih baik lagi kepada masyarakat Indonesia“.
Kedua, Benita Grace Steffani, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya semester 5 mengikuti program KMMI (Kredensial Mikro Mahasiswa Indonesia) Pada awalnya Grace hanya penasaran dengan program ini dan juga uang saku. Dia memilih kursus Cyber Security karena mata kuliah ini di Universitas Brawijaya hanya mengajarkan teori. Grace berpendapat bahwa program KMMI ini dapat menambah wawasan. Dia juga menjelaskan bahwa materi yang diberikan juga keren. Dia dapatmempelajari hal baru seperti koding dan sebagai orang awam dapat memahami dengan materinya. Grace menambahkan perihal uang saku bahwa belum ada kesiapan birokrasi. Akan tetapi Grace merasa beruntung karena di program KMMI tidak parah. Grace berpesan agar birokrasi ditingkatkan.
Ketiga, Della, mahasiswi semester 5 yang mengikuti program magang di Kampus Merdeka, menanggapi mengenai uang saku,
Wajar protes uang saku tidak turun kalau memang dijanjikan dari awal magangnya berbayar. Ya, kan sebagai mahasiswa kita menuntut hak kita, sudah bekerja, menguras tenaga, menguras waktu dan pikiran dengan mengembangkan tugas di perusahaan yang notabenenya sudah terkenal namanya, masa kita mau diam-diam aja, sudah melakukan kewajiban ya pantas menerima hak
Suara salah satu mahasiswa
Della juga memberikan saran kepada birokrasi, “Sebelum programnya fiks dilaksanakan harus sudah terorganisir semuanya, pihak perusahaan benar-benar sudah koordinir sama pihak Universitas supaya tidak ada miskomunikasi atau kebingungan dalam hal SKS, gaji, tugas mahasiswa, dan lain-lain “.
Keempat, Larasati Devi merupakan mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta prodi Sosiologi semester 5 yang mengambil Program Mengajar. Laras mengajar di SD Muhammadiyah Suronandan, Sleman. Laras mengakui bahwa mengikuti program ini pada awalnya hanya untuk mencoba saja, tetapi seiring dengan berjalannya waktu Laras mulai menemukan sesuatu yang dapat dijadikan pembelajaran lewat program mengajar ini. Terkait dengan uang saku mahasiswa banyak yang tidak turun, Laras mengaku bahwa masalah ini tidak menjadi masalah karena dirinya termasuk mahasiswi yang memiliki uang saku dari mengajar.
Laras juga berpendapat, “Faktor beasiswa tidak turun mungkin karena penulisan nama antara nama aslinya dengan nama rekening berbeda, Laporan yang dibuat untuk diajukan ke dosen pembimbing bermasalah dan lainnya“. Laras mengaku ada banyak suka duka yang dialaminya selama mengikuti program mengajar ini. Sukanya adalah bisa menambah relasi, pengalaman dan lain sebagainya. Dukanya adalah jumlah murid yang sedikit, ada yang belum bisa baca tulis dengan lancar. Laras memberi pesan untuk jangan takut untuk memulai suatu hal khususnya dalam mengajar. Laras berharap agar lebih banyak mahasiswa/i yang tergerak untuk bergabung dalam program MBKM dan juga lebih banyak kampus yang terlibat.
Dari tanggapan empat mahasiswa/i yang mengikuti program MBKM dapat dikatakan bahwa mahasiswa/i berharap agar program MBKM menjadi lebih baik. Tidak hanya pada birokrasi, tetapi juga mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Menurut Hebert Marcuse, masyarakat satu dimensi adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna sejauh mana dapat diterapkan dan bersifat operabel. Hal tersebut bisa dicontohkan ketika seseorang mengeluh karena kekurangan gaji, maka seseorang itu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi keluhan ini dapat teratasi tanpa harus mengubah struktur masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat satu dimensi adalah penindasan pikiran, sehingga orang lain dapat berpikir kritis.
Penulis : Kesia, Devi
Editor : Jesslyn
Illustrator : Wulan