“Antara Indonesia, FIFA, dan Piala Dunia U-20”

Pentas terbesar sepak bola kategori usia muda pupus sudah bagi Indonesia. Indonesia yang ditunjuk menjadi tuan rumah harus berlapang dada setelah statusnya dicabut oleh FIFA. Hal ini di mulai dari panasnya narasi-narasi yang digaungkan di sosial media terhadap penolakan keikutsertaan Timnas Israel di pentas akbar tersebut. Mulai dari aktivis kemanusiaan hingga otoritas pemangku jabatan di Bali lantang meneriakan penolakan tersebut. Padahal Bali menjadi panggung drawing Piala Dunia U-20 oleh FIFA. Sejalan dengan peribahasa “nasi sudah menjadi bubur,” keputusan tersebut tidak dapat diganggu-gugat lagi.

Jika kita melihat ke belakang, FIFA, sebagai otoritas tertinggi kepengurusan sepakbola dunia, banyak hal dan keputusan yang membuat pecinta sepakbola bertanya-tanya, mulai dari kasus korupsi, pencucian uang, hingga standar ganda yang diterapkan untuk anggota-anggotanya. FIFA menjadi panggung sirkus yang menjadi tempat pentas badut-badut. Misalnya saja pembekuan Rusia dalam keikutsertaannya di Piala Dunia dan pelarangan klub domestik Rusia untuk berkancah di pentas Eropa. FIFA mengutuk aksi invasi Rusia terhadap Ukraina dengan dasar kemanusiaan, tetapi tetap memperbolehkan Israel dan klub domestiknya untuk bermain di Eropa dan laga Internasional.

Jauh sebelum invasi Rusia terhadap Ukraina, Palestina hampir setiap saat dihujani peluru. Begitu banyak darah yang tercucur dan anak-anak yang kehilangan orang tua, apakah FIFA dan football family bersuara? Mereka seakan tutup mata terhadap kejadian yang memilukan tersebut. Israel seakan “dianak emaskan” dan bisa kita lihat dan rasakan bagaimana AS dan Uni Eropa menekan FIFA untuk membentengi Israel dari segala ancaman dan sanksi.

Sejatinya Palestina berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia, di mana Palestina menjadi salah satu dari negara inisiator yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Dewasa ini sentiment tersebut rasanya masih belum memudar. Konstitusi menjelaskan bahwa “Penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.” Melihat perkataan dan sikap yang diambil oleh para politisi negeri ini memang harus dipertanyakan. Apakah hal tersebut merupakan keputusan yang tepat? Biarkan saja waktu yang menjawabnya.

Melihat dan memaknai sepakbola Indonesia dan FIFA sebagai otoritas tertinggi yang tidak pernah lepas dari kontroversi, kita seakan melihat dan terus melihat sebuah film yang buruk dan menyebalkan. Selayaknya film buruk tersebut, sepakbola Indonesia selaras dengan film tersebut dan kita tetap akan melihatnya meskipun kita tahu akan berakhir dengan buruk dan menyebalkan. Editor : Friska Amanda

Penulis : Kevin adolf

Editor : Friska Amanda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *