Search

Demam Narkoba Lumpuhkan Kredibilitas Endorser

Bernas Jogja,  Selasa, 19 Februari 2013

Oleh Dhyah Ayu Retno Widyastuti

Pemberitaan mengenai penggerebekan Raffi Ahmad di tempat tinggalnya (27/1) karena menggunakan narkoba memberi makna tersendiri pada dunia iklan.

Raffi Ahmad adalah nama yang cukup terkenal di jajaran selebriti di Indonesia. Selebriti  kelahiran Bandung 1987 ini merupakan endorser beberapa iklan komersial di televisi seperti XL, Oil Top 1 Action Matic, Ardilles, helm KYT, Frozz, Kopi Gingseng Kukubima, maupun sabun cuci piring Sunlight. Ia merupakan selebriti yang mampu mengendorse khalayak melalui berbagai iklan produk. Kini, realitas yang hadir pada kehidupan Raffi Ahmad tentu mempengaruhi posisinya sebagai endorser yang cukup dikenal di kalangan konsumen. Narkotika dan obat-obatan berbahaya yang lebih dikenal dengan istilah narkoba telah membawa konsekuensi negatif baginya. Demam narkoba yang tidak lagi memandang usia, baik anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga orang tua terus beredar luas. Selebriti sebagai sosok yang  cenderung identik dengan suasana glamour dan hedonis seolah lekat dengan barang yang tidak diperbolehkan dikonsumsi secara illegal ini.

Peranan endoser dalam aktivitas komunikasi pemasaran sangatlah penting. Endorser merupakan individu yang  mendukung iklan suatu produk.  Peran ini sangat dibutuhkan dalam mempromosikan suatu produk terutama untuk mendongkrak posisi suatu merek. Kebanyakan pemilik merek merangkul endorser dari orang yang sudah terkenal agar mampu mendatangkan perhatian publik yang lebih banyak. Tellis (1998) membagi endorser dalam tiga kategori expert endorser, celebrity endorser, dan lay endorser.

Realitasnya iklan cenderung menggunakan celebrity endorser untuk mengendorse khalayak. Celebrity endorser adalah seseorang yang dikenal publik secara luas dan memanfaatkan keterkenalannya untuk mengusung sebuah merek. Merujuk model yang dikembangkan Rossiter dan Percy (Royan, 2005), karakter endorser disesuaikan dengan communication objective yang akan dicapai. Karakter ini ditentukan oleh unsur visibility, personality, dan power.

Khalayak mengenali sosok Raffi Ahmad selain sebagai bintang iklan, ia juga melalui beberapa aktivitas  lain seperti pemain film, menerbitkan single album, bintang sinetron, FTV, Sitkom, video klip, maupun host dalam berbagai program acara di televisi. Berdasarkan unsur visibility jelas bahwa tingkat kepopuleran selebriti sangat mendukung untuk dijadikan sebagai endorser. Personality mampu ditunjukkan melalui besarnya jumlah penggemar yang menyukai bintang iklan ini dalam setiap program acara yang menempatkannya sebagai  talent. Pesona yang dimunculkan pada saat membawakan iklan untuk suatu produk mampu menarik konsumen untuk membeli.

Terpenuhinya unsur-unsur ini mempengaruhi kesuksesan sebuah merek. Artinya, pemilihan endorser yang tepat dalam suatu iklan akan mempengaruhi tumbuhnya market share. Hal ini karena  visibility, personality, dan power bintang iklan akan melekat pada merek sehingga mampu menggerakkan minat konsumen  membeli produk (Royan, 2005).

Lumpuhnya Kredibilitas Endorser

Keberhasilan suatu iklan juga ditentukan oleh faktor kredibilitas yang dimiliki oleh endorser (Shimp, 2002). Kredibilitas berhubungan dengan product knowledge yang diketahui oleh selebriti. Seorang selebriti yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercaya, dalam arti audiens bisa percaya pada karakter dan kemampuannya. Hal ini  berbeda misalnya pada saat Sunlight menggunakan endorser Raffi Ahmad dibandingkan dengan endorser sebelumnya yaitu Krisna Mukti. Pergeseran yang hadir di kalangan audiens yang menyukai sosok Raffi Ahmad terutama di kalangan perempuan sebagai ibu rumah tangga berimbas pada perubahan endorser produk yang notabene ibu rumah tangga yang menjadi target market. Realitas ini mampu menggambarkan sosok selebriti pada masa kejayaannya menjadi orang yang berpengaruh pada sikap konsumen terhadap merek.

Endorser dalam sebuah iklan ditantang untuk mampu meyakinkan kepada konsumen bahwa merek yang diusung akan memberikan nilai tambah yang tidak mungkin diterima dari merek lainnya. Namun realitas berbeda apabila endorser terlibat dalam suatu kasus karena berbuat tidak terpuji menurut ketentuan di masyarakat maka berdampak pada perubahan kepercayaan konsumen. Kredibilitas yang sudah terbangun di benak konsumen dengan mudah akan luntur karena persepsi tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki endorser hilang.

Sosok Raffi Ahmad yang sebelumnya dikenal sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, antara lain  bagaimana ia mampu mengendalikan emosi audiens untuk  menikmati iklan dari merek yang diusungnya, hingga bagaimana ia memiliki kekuatan melalui argumentasi yang disampaikan di hadapan audiens luntur dengan sangat mudah. Ini berbanding terbalik dengan kondisi  sulitnya seorang selebriti termasuk Raffi Ahmad membangun reputasi dan kepercayaan konsumen hingga mereka popular. Kondisi ini senada dengan konsep kredibilitas menurut Aristoteles (Griffin, 2002) bahwa kredibilitas diperoleh jika seseorang memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki oleh sumber informasi dari karakter kepribadiannya sehingga sesuatu yang disampaikan dapat dipercaya. Pathos merupakan kekuatan yang dimiliki oleh komunikator dalam mengendalikan emosi pendengarnya, dan logos berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki komunikator dari argumentasinya (Cangara, 2010).

Implikasi pada brand

Implikasi yang muncul tidak hanya terkait pada endorser sebagai pelaku bahkan merek yang diusungnya pun turut menanggung akibat yang ditimbulkan.  Jadi kredibilitas endorser menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan  audiens untuk percaya pada kebenaran isi pesan yang disampaikan pengiklan. Semakin besar tingkat penerimaan kredibilitas endorser, semakin besar kemungkinan audiens menerima iklan (Assael, 1998). Artinya ketika kredibilitas endorser lemah sangat dimungkinkan bahwa penerimaan audiens terhadap iklan mengikuti kurva searah dan kepercayaan merek turut serta menurun.

Kondisi ini  akan mengubah aktivitas mendasar dalam komunikasi pemasaran. Merek harus merangkak kembali untuk membangun kepercayaan konsumen. Memang pengaruh ini tidak secara langsung namun penghentian sementara terhadap iklan yang berhubungan langsung dengan endorser  memberi konsekuensi merugikan bagi pengiklan. Misalnya iklan yang selama ini dibintangi Raffi Ahmad dan masih tayang di televisi, namun sejak pemberitaan kasus mengenai kasusnya maka iklan TV commercial yang diusung oleh endorser ini sudah tidak ditayangkan (www.tabloidbintang.com).

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar turunnya reputasi endorser tidak berdampak pada kepercaan konsumen pada merek. Pengiklan harus mampu mempertimbangkan secara objektif cara menyelesaikan persoalan. Bukan hanya sekedar popularitas selebriti, namun pemilihan endorser tentunya perlu mempertimbangkan lifecycle selebriti terutama kepribadian dan reputasinya.

*Dhyah Ayu Retno Widyastuti, Dosen Prodi  Ilmu Komunikasi FISIP UAJY

Search
Categories