Search

Harapan Baru di Tahun Ular

Bernas Jogja, Selasa 12 Februari 2013

Oleh Theresia Diyah Wulandari

Perayaan Imlek  menandakan penanggalan Masehi 2013 masuk dalam tahun ular berelemen air. Perhitungan ini menurut beberapa pakar Feng Shui dihitung berdasarkan kalender Tong Shu yang sudah digunakan masyarakat Cina sejak 5000 tahun lalu dan tahun ini merupakan Tahun Baru Cina 2654. Seperti lazimnya perayaan pergantian tahun baru Masehi, tahun baru Hijriyah, ataupun tahun baru Jawa (Sura), pergantian tahun baru Cina menjadi momentum yang diharapkan memberi harapan baru.

Imlek selalu dikaitkan dengan peruntungan baru, rejeki, kemakmuran, dan anugerah yang melimpah. Untuk itu, ada beberapa hal yang menarik disimak dari simbol perayaan hari besar masyarakat etnis Tionghoa ini, jika dikaitkan dengan beberapa kejadian yang sekiranya relevan. Apakah tahun ular air juga akan memberi dampak positif bagi kondisi perekonomian, politik, dan sosial bangsa ini?

Pertama, ular air yang menjadi simbol tahun baru Cina kali ini. Dari hewan yang menaunginya, ular dikenal memiliki sifat bijaksana, atraktif, lembut, namun juga buas dan penuh tipu daya. Demikian juga dengan elemen air yang tahun ini identik dengan simbol air yang mengalir, meski ular air tahun ini justru memiliki elemen api.

Kedua, perayaan tahun baru Cina selalu identik dengan hujan. Saat Imlek datang hujan menjadi hal yang lazim atau bahkan dinanti oleh mereka yang merayakan. Hujan ini terutama sangat diharapkan pada saat malam pergantian tahun. Hujan deras yang mengguyur deras di malam pergantian tahun dipercaya menjadi simbol hoki atau keberuntungan di tahun baru meskipun faktanya tahun baru Imlek selalu datang di setiap musim penghujan sepanjang Januari hingga Februari setiap tahun.

Lalu, apa kaitannya kejadian-kejadian dan ramalan di tahun ular air api dengan kondisi kekinian? Dimulai dengan pengaruh ular air api yang menaungi pergantian Tahun Baru Cina kali ini, banyak pakar Feng Shui  mengaitkan pengaruh ular air api  dengan suhu politik, sosial, dan perekonomian di Indonesia. Berbagai kejadian yang mengawali momentum pergantian tahun baru Cina bisa diterjemahkan sebagai bagian dari pengaruh ular air api yang jika dihitung-hitung mulai muncul pada medio Desember 2012. Kasus banjir dan kebakaran di Jakarta, Raffi Ahmad dan narkoba, impor daging sapi dan gratifikasi seksual, kasus Hambalang yang  kini memunculkan aktor baru bernama Anas Urbaningrum, dan polemik peserta Pemilu 2014, menjadi gambaran maraknya kasus-kasus yang terus mengalir bak air dan semakin hari semakin memanas.

Momen menjelang Pilpres 2014 juga diyakini turut dipengaruhi ular air api yang membuat suasananya mulai menghangat cenderung panas. Ini bisa dilihat dengan sudah mulai muncul nama-nama dan kandidat calon presiden yang dihiasi dengan dinamika pertentangan dan dukungan yang menghiasinya.

Tahun ini, Indonesia bukan hanya diramalkan akan menghadapi situasi politik yang semakin memanas, namun juga dilanda kasus bencana alam yang mengintai. Banjir, puting beliung, gempa bumi, akan menghiasi pergolakan sosial masyarakat Indonesia yang konon turut dipengaruhi oleh elemen ular air api. Terakhir, makna hujan sebagai simbol kemakmuran dan rejeki yang ternyata tidak dinikmati oleh masyarakat Indonesia, termasuk Yogyakarta. Ini bisa jadi penanda bahwa wibawa sang ular air api sangat berpengaruh sehingga hujanpun segan membasahi bumi.

Apakah semua uraian di atas cukup masuk akal dan relevan? Menurut pemahaman semiotika Charles Sanders Peirce, tanda (sign) yang muncul dan berbentuk fisik serta dapat ditangkap oleh panca indera manusia merupakan sesuatu yang merujuk atau merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Dengan kata lain, tanda yang dirujuk oleh sebuah objek akan mengalami proses semiosis sehingga muncul makna tertentu. Pemikiran ini lahir dari Peirce yang melihat tanda sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindra dan memiliki fungsi esensial sebagai sebuah tanda yang membuat sesuatu efisien, baik dalam berkomunikasi dengan orang lain maupun dalam pemikiran dan pemahaman tentang dunia.

Sementara itu teori semiotik Ferdinand De Saussure (1857-1913) membagi teori ini menjadi dua, yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nlai yang terkandung di dalam objek fisik itu. Dalam prosesnya, makna atas tanda itu lahir dari kesepakatan sosial yang disebut signifikansi untuk kemudian diintrepetasikan apa makna dari tanda itu.

Korelasi antara makna simbol tahun baru Imlek dan kejadian-kejadian nyata yang terjadi tahun ini, sekiranya relevan jika dilihat secara objektif. Kejadian-kejadian tersebut seakan menjadi serangkaian tanda yang direpresentasikan sebagai gambaran pengaruh ular air api yang memiliki sifat serupa. Sama halnya ketika kita memaknai warna merah sebagai simbol keberanian dan warna putih sebagai simbol kesucian, maka bencana alam yang terjadi berturut-turut dan terus menerus menjadi representasi dari makna air mengalir.  Gambaran aktor pelaku kasus-kasus yang tengah bergulir misalnya kasus Hambalang yang  melibatkan semakin banyak pejabat negara dan impor daging sapi oleh pimpinan partai, ataupun kasus yang melibatkan sosok aktor idola, seakan mereprentasikan sifat ular yang bisa saja bijaksana, jinak, atraktif, namun dapat juga berbahaya, licik, dan penuh tipu daya.

Namun ada baiknya juga jika pemikiran ini dikritisi oleh sikap apriori atas analisis representasi tanda dan makna Imlek tahun ini. Hal ini seperti yang terjadi pada perayaan Imlek 2012 yang jatuh pada 23 Januari 2012 dan dipengaruhi oleh unsur naga air. Dalam kepercayaan orang Tionghoa, naga merupakan binatang berwibawa dan melambangkan keberuntungan yang sangat baik. Oleh karena itu binatang ini menempati posisi tertinggi di antara binatang-binatang dalam 12 shio yang ada. Para raja pada masa Dinasti Tiongkok jaman dahulu juga banyak menghiasi pakaian kebesaran mereka dengan gambar naga sebagai simbol kewibawaan dan keagungan. Namun banyak pihak mengatakan gambaran itu tidak sepenuhnya benar jika berkaca pada perjalanan tahun naga air lalu. Kemarau panjang, kejadian kecelakaan pesawat, kejahatan kriminal, dan krisis kepemimpinan, banyak menghiasi pemberitaan media massa tahun lalu.

Oleh karena itu, kembali ke ramalan tahun baru Imlek tahun ini ada baiknya juga berkiblat pada pemikiran semiotika Roland Barthes yang menekankan interaksi antara objek atau teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya. Makna dari simbol lahir jika ada interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Dengan kata lain, jika ada relevansi antara harapan atas kejadian objektif dengan makna yang muncul, pemaknaan itu bisa saja diterima. Sebaliknya, jika tidak relevan, bisa saja makna itu ditolak.

Sama halnya dengan harapan banyak masyarakat Tionghoa yang cenderung baik dan positif, semoga simbol-simbol yang diramalkan pada perayaan tahun baru Imlek tahun ini tidak terpengaruh dengan kejadian-kejadian yang mengawalinya. Dengan kata lain, tidak ada relevansi antara makna simbol yang muncul dengan kejadian-kejadian buruk di masa datang. Bersikap selalu positif dan optimis tentu menjadi panasea siapapun yang berharap kehidupan lebih baik di masa depan. Semoga.

*Penulis adalah staf pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

 

 

 

Search
Categories