Search

Genderang Perang Kenaikan Harga BBM

Bernas Jogja Selasa, 20 Maret 2012

Oleh Theresia Diyah Wulandari

Menjelang akhir bulan Maret 2012, masyarakat Indonesia bersiap siaga dengan kebijakan pemerintah yang akan dikeluarkan secara resmi dan otomatis mempengaruhi kehidupan hajat hidup orang banyak. BBM (Bahan Bakar Minyak) naik mulai 1 April 2012! Skenario kenaikan harga BBM ini ditetapkan antara Rp1.000 dan Rp1.500 per liter. Dengan demikian harga BBM di pasaran akan menjadi Rp6.000.

Penetapan rencana kenaikan BBM ini didasarkan pada asumsi harga minyak acuan Indonesia (ICP) APBN 2012 sebesar USD90 per barel yang tidak lagi relevan, akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang semakin melonjak. Dalam laporan terbarunya, kontrak berjangka utama di New York mencatat kenaikan minyak mentah ditutup pada posisi USD105,11 per barel sementara di bursa London, minyak mentah ditutup dengan harga USD123,55 per barel. Karenanya pemerintah mengalami defisit APBN hingga 3,6% akibat besarnya subsidi pemerintah sebagai dampak dari kenaikan harga minyak mentah dunia.

Tentunya kebijakan yang tak populis ini mendapat banyak reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari mahasiswa yang sudah mulai turun ke jalan-jalan di sejumlah daerah, berdemo meneriakkan suara penolakan kebijakan yang saat ini masih dibahas alot di ruang sidang DPR hingga membakar  foto presiden.

Aksi protes juga sudah mulai muncul dari kalangan  ibu rumah tangga yang merasa terancam asap dapur keluarganya akibat harga sembako yang turut melonjak. Tidak kalah seru, ancaman demo buruh yang akan turun ke jalan dan menyegel seluruh SPBU pada 1 April 2012. Belum lagi nelayan, pengusaha angkutan massal, pengguna kendaraan pribadi, wirausaha, dan masih banyak lagi sektor-sektor industri yang mendapat imbas dari kenaikan BBM. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengatasi daya beli masyarakat dengan adanya beban kenaikan tersebut? Dan bagaimana antisipasi pemerintah menghadapi aksi massa yang mengancam stabilitas keamanan jika kebijakan kenaikan BBM ini benar-benar terealisasi?

Ancaman demo massa besar-besaran menjelang kenaikan BBM sebenarnya bukan pertamakali dialami pemerintah. Sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mulai 2004 hingga saat ini, Indonesia mengalami dua kali periode kenaikan BBM. Pertama kali kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2005 dan kedua terjadi pada Mei 2008. Bahkan sepanjang 2008, kenaikan BBM terjadi hingga tiga kali. Meski mengalami masa transisi harga yang cukup sulit, perubahan harga BBM tersebut akhirnya tetap dilaksanakan dan diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Ada klaim jika kebijakan tersebut relatif lancar karena adanya skema kompensasi Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang dihadapi dengan euphoria warga hingga ke pelosok-pelosok desa.

Harus diakui, tidak semua penduduk Indonesia memiliki kemampuan secara ekonomi dan siap menghadapi berbagai gejolak perekonomian yang semakin diberatkan dengan kebijakan kenaikan BBM. Namun  Menteri Keuangan Agus Martowardojo tetap memberi sinyal bahwa pemerintah masih mencari skema terbaik memberikan bantuan kepada masyarakat miskin sebagai dampak dari kenaikan BBM. Bantuan langsung sementara, bantuan tunai, subsidi uang transport, kupon transport, atau apapun itu namanya, diklaim sebagai bentuk kompensasi bagi warga miskin untuk mendorong daya beli masyarakat.

Sebenarnya pemerintah  tidak perlu pusing mencari solusi bagaimana sebuah kebijakan bisa diterima masyarakat dengan legowo atau lapang dada sehingga tidak mengancam stabilitas keamanan masyarakat. Cara tersebut adalah melalui strategi komunikasi pemerintah (government communication). Menurut para pakar, strategi komunikasi ini dibutuhkan untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah, program, dan proyek, selain mengantisipasi adanya umpan balik (feedback) dari masyarakat terhadap kebijakan yang akan ditetapkan. Umpan balik ini bisa saja negatif, namun bisa jadi merupakan kesempatan bagi keduanya merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun tentunya hal tersebut harus dilakukan melalui beberapa prinsip, mulai dari keterbukaan kepada publik, memberikan kemudahan dalam hal pemberian akses informasi kepada masyarakat, komitmen pemerintah untuk terus menerus mensosialisasikan perkembangan pembahasan kebijakan dengan jelas, obyektif, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut berpatisipasi secara aktif dalam pembahasan suatu kebijakan.

Untuk menjembatani kebutuhan tersebut, maka peran media menjadi sangat vital dalam skema pemerintahan negara demokratis (Mcloughlin & Scott, 2010). Media dapat menjadi pihak yang membangun kesadaran masyarakat terhadap isu yang tengah diperdebatkan (agenda setter), menjadi pihak yang terus menerus memonitor dan mengawasi perkembangan dialektika kebijakan antara pemerintah dan masyarakat ataupun sepak terjang keduanya (watchdog), dan menyediakan wadah forum debat publik dan diskusi seputar isu-isu sosial yang merebak di kalangan masyarakat, termasuk kebijakan yang tengah dibahas (gatekeeper). Dengan cara-cara demikian setidaknya sebuah kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat justru akan minim konflik karena adanya kesadaran publik terhadap arti penting kebijakan tersebut.

Salah satu forum yang bisa dicontoh adalah Sarasehan Anak Negeri besutan sebuah stasiun televisi swasta yang secara khusus membahas tentang rencana kenaikan BBM dengan  judul Menyelamatkan Negeri Autopilot. Adanya debat publik terbuka dan dihadiri serta didengar banyak pasang telinga, mengakibatkan alasan pemerintah  lebih jelas, bisa dipahami, dan masuk akal.

Pemerintah sebagai regulator memaparkan alasan-alasan logis pentingnya sebuah kebijakan (yang terpaksa) diambil, media menjalankan tiga peran di atas, dan publik mendengar untuk kemudian mendapatkan  kesempatan merespon. Tentu skenario tersebut sudah sangat ideal untuk menjadi forum penghubung dan setidaknya memberi pemahaman pada sebuah kebijakan baru. Namun barangkali masih saja ada pihak-pihak yang merasa kurang puas. Maka tidak heran jika rencana kenaikan BBM pada 1 April 2012 mendatang ibarat sinyal genderang perang yang direspon dengan aksi demo besar-besaran di jalanan. Meski tampaknya suatu usaha percuma, boleh saja aksi itu tetap dijalankan.

Theresia Diyah Wulandari, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta