Search

Hari Penduduk Sedunia: Kehamilan Remaja dan Pernikahan Dini

Bernas Jogja, Selasa, 16 Juli 2013

Oleh Dina Listiorini

Tanggal 11 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai World Population Day (WPD) atau Hari Populasi Sedunia. Peringatan ini ditetapkan sejak 1989 oleh United Nations Development Program, dipicu oleh fakta jumlah lima milyar jumlah penduduk dunia di tahun 1987. Pada tahun 2013, tema yang diangkat adalah Raises Teen Pregnancy Awareness atau Meningkatkan Kesadaran pada Kehamilan Remaja. Mengapa hal ini penting?

Direktur Eksekutif UNFPA Babatunde Osotimehin melalui situs UN menyatakan kehamilan remaja menjadi masalah karena data UNFPA menunjukkan saat ini dunia memiliki 600 juta gadis remaja, dan 500 juta di antaranya tinggal di negara berkembang. Dari jumlah tersebut, setiap tahun sebanyak 16 juta gadis remaja di bawah usia 18 tahun telah melahirkan anak, dan 3,2 juta remaja setiap tahun meninggal karena aborsi yang tidak aman. Di Indonesia, aborsi tidak aman tersebut menyebabkan sekitar 1-2 juta remaja meninggal setiap tahunnya– meski jumlah ini tidak pernah diakui oleh BKKBN karena tidak terdata secara jelas.

Salah satu badan PBB yang bergerak di bidang populasi, UNFPA menegaskan bahwa kehamilan remaja merupakan isu kesehatan karena para ibu muda harus menghadapi komplikasi dalam kehamilannya seperti kematian ibu dan janin, kesakitan serta resiko disabilitas. Selain masalah kesehatan, isu ini juga masuk dalam ranah hak asasi manusia di mana para ibu yang sangat muda tersebut selain harus mengakhiri masa anak-anak dan remajanya, mereka juga terpaksa kehilangan akses pendidikan, dan berbagai kesempatan lainnya yang seharusnya berhak didapatkan di usia mereka.

Osotimehin menyatakan bahwa masalah kehamilan remaja bukanlah masalah isu kesehatan semata, tetapi juga  menjadi isu perkembangan (development) yang kompleks  karena berakar kuat pada kemiskinan, ketidaksetaraan gender, kekerasan, pernikahan remaja/anak-anak yang dipaksakan, ketidakberimbangan relasi kuasa antara gadis remaja dan pasangannya, kurangnya edukasi dan gagalnya sistem serta institusi untuk melindungi hak-hak gadis remaja. Pernyataan Direktur Eksekutif UNFPA ini relevan dengan pernyataan Sekjen PBB yang mengaitkan WPD tidak hanya pada persoalan lajunya populasi namun juga pada beberapa aspek lain seperti keberlanjutan lingkungan hidup, perkembangan global, pemeliharaan kesehatan dan pemberdayaan anak muda.

Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam pidatonya memperingati WPD 2013 mengatakan PBB secara serius menyoroti masalah kehamilan remaja karena para gadis remaja ini menjadi penentu masa depan sebuah generasi, sehingga penting bagi mereka untuk mendapat akses kesehatan dan perawatan kesehatan yang layakan. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahaya dan kompleksitas kehamilan tidak direncanakan (KTD) pada gadis-gadis remaja ini.

 

Cerita Ibu Muda

Tanggal 11 Juli 2013 penulis mengadakan penyuluhan tentang Pernikahan Usia Dini di dukuh Bedalo desa Krambilsawit kecamatan Saptosari, kabupaten Gunung Kidul. Pertemuan dihadiri 70an ibu yang mayoritas berwajah belia. Dari diskusi diketahui mayoritas menikah di bawah usia 18 tahun, setelah tamat SD atau SMP. Tak seorangpun dari mereka yang hadir mengenyam bangku SMU. Para ibu muda tersebut kebanyakan bekerja di dua tempat: rumah dan ladang. Hanya 1-2 orang yang menjadi pedagang berjualan di pasar. Tak seorang pun merasa aneh atau keberatan dengan apa yang telah menimpa diri mereka. “Sampun biasa. Kodratipun tiyang estri”, demikian mereka mengatakannya.

Ribuan kilometer dari desa Krambilsawit terpisah oleh lautan, adalah desa bernama Kadahang Barat yang terletak di kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur. Setali tiga uang dengan Saptosari, para perempuan muda di desa itu pun jarang yang mengenyam pendidikan SMU, bahkan SMP sekalipun. Lulus SD para gadis remaja itu  bekerja di ladang, dan beberapa tahun kemudian “menikah” dengan laki-laki setempat. Kata “menikah” dalam adat Sumba adalah tinggal serumah dengan laki-laki dan keluarganya, terlepas mereka dinikahkan secara adat dan gereja atau tidak – tergantung kemampuan pihak laki-laki bisa membayar belis (mahar) atau tidak untuk pihak keluarga perempuan. Sehingga kata-kata “Sa tidak menikah, tapi sa punya suami dan anak-anak” adalah hal yang biasa diucapkan para remaja di desa itu. Ketika tinggal serumah dengan laki-laki yang memintanya, si gadis tidak hanya menjadi anggota keluarga, namun juga mengurus seluruh keperluan keluarga suami bersama ipar-ipar perempuan lainnya dalam rumah itu. Banyak dari mereka yang awalnya bersekolah di SMP terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah karena pinangan laki-laki maupun karena ketiadaan biaya dan akhirnya “diminta” keluarganya untuk menikah saja.

Dua cerita dari Gunung Kidul dan Sumba mengingatkan penulis di tahun 1993, ketika penulis melakukan KKN di kawasan Gresik Selatan. Seorang ibu muda menangis melapor ke hadapan bapak Dukuh tempat kami menginap. Di antara sedu sedannya ia mengatakan bahwa ia khawatir anak keduanya yang berusia 15 tahun diguna-guna orang karena di usai tersebut belum ada laki-laki yang melamarnya, sementara kakak gadis itu yang berusia 16 tahun sudah hamil 2 bulan, dan adiknya yang berumur 14 tahun akan menikah. Anak gadis tersebut lulus SD 2 tahun silam dan bekerja di kebun milik orang tuanya selepas lulus sekolah. Ibu itu mengatakan bahwa ia malu dengan omongan tetangga sekitar yang menakut-nakuti bahwa anaknya bisa menjadi “perawan tua”. Agaknya selama 20 tahun tetap saja perempuan selalu terpinggirkan dalam tradisi kehidupan yang patriarkis.

Kehamilan remaja dan pernikahan usia dini ditandai dengan salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah. Kehamilan remaja dan pernikahan dini ini rentan dengan berbagai persoalan baik medis, psikologis maupun sosial. Ketiga cerita dari tiga daerah dan kurun waktu yang berbeda menguatkan apa yang dikatakan Direktur Eksekutif UNFPA bahwa baik kehamilan remaja dan pernikahan dini merupakan kegagalan sistemik dari sebuah sistem besar pemerintahan, baik sistem sosial, ekonomi dan terutama sistem pendidikan.

Pendidikan Seks yang Komprehensif 

Menjadi seorang ibu di usia belasan tahun dalam keadaan miskin dan tidak berpendidikan cukup serta tidak bekerja bukanlah hal yang diinginkan perempuan manapun. Tetapi sistem sosial yang mengikat mereka di ranah tradisi patriarki dalam kehidupan tradisional yang kuat menjadikan para gadis tak dapat berkata lain kecuali pasrah dan mengatakan hal tersebut adalah takdir yang harus mereka terima. Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam pidato memperingati WPD telah menyerukan pentingnya masalah kehamilan remaja dan meminta agar pemerintah, masyarakat internasional dan semua pihak terlibat dalam program yang membuat para gadis belia memiliki masa depan mereka serta memberi bantuan bila hak-hak mereka dilanggar. Tentu saja hal ini membutuhkan komitmen yang jelas dari negara, komunitas serta individu baik di negara maju maupun berkembang harus menghargai, melindungi serta memenuhi hak-hak para remaja ini. Salah satunya dengan memberlakukan berbagai peraturan/UU yang mengatur perkawinan di atas usia 18 tahun.

Setiap remaja berhak mengembangkan potensi diri mereka, di mana saat ini hal itu cenderung diabaikan seperti kisah para ibu dari Gunung Kidul, Sumba Timur dan Gresik Selatan. Hal tersebut menurut Sekjen PBB harus diubah, salah satunya adalah melalui pendidikan. Ketika gadis remaja memiliki pendidikan yang cukup, ia tak akan buru-buru menikah, dan dapat menunda kelahiran sampai ia merasa siap. Dampaknya anak-anak yang dilahirkan sehat dan ia pun berpenghasilan karena mampu bekerja. Selain pendidikan formal, Sekjen PBB juga menyerukan  pentingnya Comprehensive Sexual Education (CSE) atau pendidikan seks komprehensif karena dapat memberdayakan perempuan untuk menentukan waktu yang tepat bagi mereka untuk menjadi ibu dengan pengetahuan yang memadai.

Namun agaknya pemerintah Indonesia seolah tidak mendengar atau bahkan menutup telinga terhadap seruan Sekjen PBB tersebut. Dari awal bergulirnya isu mengenai pendidikan seks, telah terjadi penolakan di tingkat pemerintah baik pusat maupun daerah. Di tingkat Pemerintah Pusat, Mendikbud RI melalui pernyataannya di Kantor Berita Antara secara tegas menyatakan penolakan pendidikan seks di bangku sekolah dengan alasan maraknya pornografi. Ia bahkan mengatakan bahwa seks merupakan hal yang umum diketahui oleh masyarakat dan muncul secara alamiah, akan diketahui dengan sendirinya, sehingga tidak perlu diajarkan di sekolah. Kontroversi berlanjut misalnya bagaimana hal itu akan menjadi sebuah kurikulum dan akan dimasukkan dalam sebuah mata pelajaran. Beberapa pihak menganjurkan Pendidikan Seks masuk sebagai bagian pelajaran IPA dan Kesehatan. Di Yogyakarta, kegiatan diskusi mengenai SOGI (Sex Orientation and Gender Identity) sebagai bagian dari CSE yang dilakukan oleh beberapa SMU di bawah dampingan PKBI Yogyakarta dilarang untuk diteruskan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman.

Sebetulnya tidak tepat bila pihak pemerintah memiliki phobia atau ketakutan yang tidak beralasan dengan ide Pendidikan Seks, apalagi mengaitkannya dengan pornografi. Asumsi Mendikbud bahwa anak akan tahu dengan sendirinya pada waktunya jelas menyesatkan. Masalahnya adalah apakah mereka akan mendapat informasi yang benar dan tepat mengingat saat ini sumber-sumber informasi mengenai seksualitas dari berbagai media begitu banyak dan bergerak sangat cepat. Pendidikan Seks bisa dimulai dari keluarga dengan mengenalkan pada anak-anak misalnya jenis kelamin, menyebut organ reproduksi tanpa rasa malu atau jijik, menghargai tubuh, mengenali siapa saja yang boleh atau tidak menyentuh tubuh mereka dan seterusnya sesuai pertumbuhan usia dan pendidikan.

Organisasi di kampung seperti PKK pun bisa diajak dan diorganisir untuk mendiskusikan hal-hal penting seperti ini.

*Dina Listiorini, Penulis adalah Staf Pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Search
Categories