Search

Iklan (Politik) Pemilukada DKI Jakarta

Bernas Jogja, Selasa, 18 September 2012

Oleh Dhyah Ayu Retno Widyastuti

Suasana politik di Jakarta makin panas. Dua pasang kandidat kepala daerah DKI Jakarta periode 2012-2017 yang akan maju pada pemilihan umum  (pemilukada) putaran kedua, 20 September kembali menggelar kampanye.  Sebagai tahap persiapan politik guna memenangkan suara, kampanye harus dilakukan, dan iklan menjadi aktivitas yang tak mungkin  terlewatkan.

Iklan  seolah menjadi kunci bagi kandidat untuk menarik perhatian khalayak dalam menentukan pilihan. Realitasnya bukan hanya pada aspek  strategi iklan yang dibangun untuk meraih khalayak sasaran namun justru bagaimana masing-masing pasangan bersama tim pendukungnya  saling mencari kelemahan dan menjatuhkan lawan dengan berkiblat pada isu  yang muncul di publik.

Iklan politik merupakan bagian dari aktivitas pemasaran politik (political marketing). Pemasaran politik yakni serangkaian aktivitas terencana, strategis, dan taktis, berdimensi jangka panjang maupun pendek untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih (Nursal, 2004). Konsep ini mulai diadopsi di Indonesia pada pemilu 1999, berawal dari adanya sistem politik yang demokratis, pemilih (khalayak) bebas menentukan pilihan. Sedangkan iklan politik merupakan iklan yang menawarkan sesuatu berkaitan dengan politik. Periklanan dalam hal ini bukan hanya sebagai kegiatan pemasaran namun merupakan kegiatan komunikasi yang menekankan pada penyampaian pesan politik untuk mempersuasi, menstimulir orang agar bertindak.

Dalam pemilukada DKI Jakarta, kedua pasangan yang akan “bertarung” pada putaran kedua tentu merancang konsep dan perencanaan iklan yang matang. Guna menumbuhkan kesadaran yang kuat kepada khalayak, iklan yang dibuat haruslah seksama dengan mempertimbangkan pesan, media yang dipilih, strategi maupun logo yang mampu membentuk citra pada kandidat. Pesan yang disampaikan harus relevan, benar, dan tepat karena pesan merupakan konsep inti (core) proses komunikasi dalam pemilukada.

Dalam kajian umum, iklan biasanya dikemas secara komunikatif dan persuasif. Melalui periklanan, masyarakat mengetahui lebih banyak produk atau ide yang dapat dipilih. Tidak terkecuali pada kasus pemilukada DKI Jakarta, tujuan iklan politiknya adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat yang dipandang mampu mengaspirasikan dan memperjuangkan kepentingannya.

Periklanan yang dibangun

Efektivitas penyampaian pesan iklan politik salah satunya ditentukan oleh media placement artinya membeli dan menempatkan iklan dalam berbagai media sesuai dengan khalayak sasaran yang dituju. Dalam aktivitas pemilukada DKI Jakarta, media placement tidak hanya melibatkan media seperti spanduk, baliho, stiker atau bentuk iklan lainnya namun hampir semua peristiwa di DKI Jakarta seolah menjadi peristiwa politik yang menjadi media kampanye. Meskipun banyak varian iklan yang disajikan, namun peristiwa-peristiwa itulah yang kemudian cenderung menjadi topik yang diangkat dalam iklan melalui media televisi oleh masing-masing kandidat dan partai pendukungnya.

Bila kita mengamati iklan yang ditayangkan (terutama televisi) sebelum pemilukada putaran pertama, terlihat kecenderungan iklan yang muncul lebih menekankan pada hard selling. Iklan berbicara tentang produk-produk spesifik bukan hanya menfokuskan pada kesan umum yang hendak dicapai. Realitasnya bukan hanya bagaimana mereka merepresentasikan diri tampil dalam iklan politik melalui media massa. Artinya masing-masing kandidat mendeklarasikan capaian hasil secara nyata yang akan diberikan kepada khalayak, bukan hanya membangun citra (image) agar khalayak (calon pemilih) memiliki kesadaran akan potensi kandidat. Misalnya di iklan televisi, kandidat berdialog dari hati ke hati dengan warga, mencoba menyelami keinginan warga. Ini adalah sebuah cerminan bagaimana aktivitas kandidat bertemu secara langsung dengan target sasaran melalui pesan persuasif.

Hal ini menunjukkan bagaimana iklan televisi mempunyai kekuatan pada eksekusi pesannya. Alur peristiwa, visualisasi, beserta suasana emosional mampu dikemas dalam satu alur cerita yang utuh. Seperti iklan pada umumnya  media televisi menjadi media unggulan yang efektif dalam mengkomunikasikan pesan. Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena memiliki daya jangkau luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar penontonnya. Pengelolaan kesan lewat televisi melalui iklan dapat melipatgandakan pengaruh impression management (Setiyono, 2008).

Problematika  yang timbul

Keampuhan iklan dalam membangun persepsi dan mempengaruhi tindakan khalayak memang sungguh luar biasa. Sebagai contoh adalah  keberhasilan iklan pada pemilu capres dan cawapres pada pemilu 2009. Sistem multipartai yang saat itu diterapkan memberi tantangan bagi partai maupun kandidatnya untuk berlomba-lomba memenangkan benak khalayak. Iklan berkontribusi dalam keberhasilan membangun citra diri terutama bagi ‘partai baru’ saat itu yang mampu memenangkan kandidatnya untuk duduk dalam kursi parlemen hingga saat ini. Selain itu perubahan tata cara pengambilan suara sah yang bermula dari ‘mencoblos’ menjadi ‘mencontreng’  dibangun melalui iklan. Ini hanya sebagian kecil dari contoh  pengaruh iklan terhadap publik. Meskipun bisa dikatakan efektif dalam membangun opini masyarakat, namun tidak terelakkan  sisi kontroversi  iklan-iklan tersebut. Sebuah pergulatan antar kandidat dengan memanfaatkan iklan politik untuk saling memperlemah posisi dan menurunkan image positif kandidat.

Kontroversi yang muncul misalnya terkait dengan iklan  bergambar kandidat yang dipasang di mobil yang dianggap sebagai kampanye di luar jadwal; menyebarkan kantong-kantong plastik bergambar logo kandidat; penyebaran spanduk bergambar foto kandidat; iklan yang ditayangkan di stasiun televisi swasta nasional oleh tim pendukung salah satu kandidat. Kontroversi yang sedang hangat diperbincangkan adalah  baliho besar berisi tulisan SARA yang menyinggung salah satu pasangan kandidat.

Kontroversi seperti ini sebenarnya telah muncul sejak kampanye pemilukada putaran pertama. Bagai selembar kertas yang harus ditorehkan tinta agar lebih komplit, begitu pula aktivitas pemilukada seolah tidak afdol tanpa kontroversial. Akibatnya,  pada pemilukada putaran kedua muncul persoalan  serupa. Ada sebuah bangunan yang sebenarnya menguntungkan bagi pihak yang dianggap kontroversial. Dalam konsep periklanan, kesadaran khalayak mampu dibangun ketika exposure media mengenai stimulus iklan (isu kandidat yang kontroversial) berulang kali dimunculkan di publik. Namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa image yang kemudian terbentuk adalah relatif sesuai dengan pesan yang disajikan. Inilah pentingnya pesan iklan yang harus berangkat dari kekuatan dan asosiasi positif yang dimiliki.

Dalam kegiatan pemasaran politik  iklan masih menjadi aktivitas  dominan untuk menyorot wilayah publik. Padahal sebenarnya bukan hal yang mudah ketika periklanan itu menjadi pilihan dalam aktivitas kampanye politik. Secara umum  capaian tujuan iklan bukanlah sesuatu yang revolusioner namun bertahap dalam jangka yang cukup panjang. Mencermati jadwal kampanye pemilukada yang relatif singkat bahkan dapat dibilang dalam hitungan hari saja, maka relatif kecil efektivitas yang diperoleh. Dalam hal ini menjadi penting bila pemasaran politik melalui iklan tetap bersinergi dengan tools marketing lainnya sehingga hasilnya lebih optimal.

*Dhyah Ayu Retno Widyastuti, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search
Categories