Search

Introspeksi 100 Hari

Bernas Jogja, Selasa 18 Februari 2014

Oleh Theresia D. Wulandari*

Lembaran tahun baru 2014 belum juga berusia 100 hari. Namun  menjelang 100 hari pertama penanggalan Masehi, negara ini sudah mencatat beragam kejadian yang luar biasa, terutama bencana alam. Dimulai dari banjir dan tanah longsor Manado di awal tahun dengan korban mencapai 79.621 warga, bencana banjir yang melanda ibukota Jakarta, Cirebon, Bekasi dan Jepara. Juga beberapa bencana banjir di wilayah lain Indonesia.

Selain bencana banjir, ada lagi bencana alam lain, mulai tanah geser di Kampung Cigombong, Desa Cibadak Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor. Tidak kalah dahsyat adalah kejadian letusan gunung. Meski letusan Sinabung pertamakali terjadi pada akhir tahun lalu, namun citra satelit yang diambil instrumen Advanced Land Imager (ALI) pada satelit Earth Observing-1 (EO-1) masih mencatat letusan Sinabung pada Rabu 29 Januari 2014. Terbaru, letusan Gunung Kelud di Kediri yang juga turut dirasakan masyarakat Yogyakarta, Solo, Magelang, Purworejo, dan wilayah di sekitarnya.

Tentu bencana ini membuat perhatian media yang secara terus menerus menyiarkan di tiap jam perkembangan kejadian. Reportase media tidak lepas dari liputan kejadian, pantauan, wawancara korban, pemerintah, hingga pihak-pihak berwenang lain. Namun barangkali ada yang terlewatkan. Adakah yang mencoba mengulik esensi dari kejadian-kejadian ini?

Menurut sejarahnya, konsep 100 hari dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt ketika dia menjabat tahun 1933 sebagai ukuran keberhasilan pemerintahan di bawah kekuasaannya. Pada masa itu Amerika Serikat depresi besar  menjelang akhir 1929. Harga-harga saham di lantai bursa New York jatuh, inflasi mencapai 600 %, krisis persediaan bahan makanan, peningkatan angka pengangguran dari 1,5 juta pada akhir 1929, menjadi 13 juta orang. Sampai dengan Roosevelt dilantik menjadi presiden pada Maret 1933, keterpurukan ekonomi Amerika Serikat merembet ke berbagai belahan dunia lain. Roosevelt kemudian  mengajukan program kerja 100 hari yang akhirnya mampu meloloskan Amerika Serikat dari jurang keterpurukan. Sejak saat itulah masyarakat, media massa dan akademisi di Amerika Serikat menggunakan 100 hari sebagai ukuran keberhasilan pemerintahan.

Jauh sebelum Roosevelt, makna 100 hari juga muncul dalam kejadian Serangan Seratus Hari periode akhir Perang Dunia I yang dilakukan Sekutu terhadap Kekuatan Tengah di Blok Barat mulai 8 Agustus sampai 11 November 1918. Perhitungan 100 hari dimulai dengan pertempuran Amiens yang menyebabkan demoralisasi pasukan Jerman dan berakhirnya Perang Dunia I. Lebih dari 1 juta jiwa menjadi korban perang yang melibatkan Perancis, Britania Raya, Amerika Serikat, Belgia, dan Jerman.

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, 100 hari juga punya makna khusus. Masyakat Jawa mengenal peringatan 100 hari kematian seseorang yang disebut sebagai istilah nyatus. Nyatus dimaknai sebagai maksud untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan wadag (jasad) mereka yang sudah meninggal. Secara sederhana, peringatan ini bertujuan untuk terus mendoakan arwah yang sudah meninggal agar mendapat pengampunan atas segala dosa.

Makna 100 hari bahkan dijadikan pedoman dalam memroses sebuah ritual alam. Bunga Hibiscus Syriacus atau yang dikenal dengan bunga Sharon, bunga nasional Republik Korea, berkembang selama 100 hari lamanya. Demikian juga 100 hari pertama juga penting dalam fase kehamilan, karena 100 hari pertama kehamilan adalah masa yang paling penting untuk pertumbuhan janin, mulai dari tulang dan gigi maupun pertumbuhan otak dan sistem syaraf. Jika di awal 100 hari perkembangan janin sempurna, maka proses selanjutnya dipastikan akan baik. Sebaliknya, pada masa itu pula keputusan diambil untuk melanjutkan atau menggugurkan kandungan jika janin terdeteksi tumbuh tidak sehat.

Oleh karena itu penting rasanya bagi negara ini untuk introspeksi, apa dan bagaimana akan berproses ke depan. Berkaca pada masa-masa lalu, atau sekedar mengambil hikmah kejadian awal tahun sepanjang 100 hari, patut menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin negeri dan masyarakat   untuk berpikir dan bertindak. Akan dikemanakan dan seperti apa negara ini nanti.

Introspeksi menjadi penting, mengingat mulai 9 April, seluruh penjuru negeri ini akan memilih para wakil rakyat yang akan duduk di bangku pemerintahan legislatif, untuk selanjutnya pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014. Sebagai wakil rakyat, perlu kiranya berpikir jika keterpilihan itu nanti bukan sekedar jabatan, namun serangkaian pekerjaan rumah yang perlu untuk tidak sekedar dipikirkan, namun juga diselesaikan dengan tindakan nyata. Jika perlu, dimulai dari komitmen kuat  memimpin negeri ini bukan dengan sikap arogansi dan kepentingan partai saja, namun tanggungjawab penuh untuk mermbenahi. Demikian juga dengan kalangan pemilik hak suara, memilih bukan sekedar berbekal slogan dan iklan, namun perlu mengenal sosok wakil rakyatnya dengan seksama. Mengenal wakil rakyatnya juga merupakan bagian dari introspeksi, apakah sosok yang akan dipilih itu betul-betu akan jadi wakil rakyat yang mumpuni dan punya visi.

Ya, selain berharap tidak lagi ada bencana, harapan mendapat sosok pemimpin yang benar-benar mampu memimpin negeri dan punya visi, merupakan kebutuhan mendasar negeri ini. Dengan pemimpin yang berkualitas, halangan dan rintangan apapun juga ke depan, tentu akan terasa lebih mudah dihadapi dan diatasi. Faktanya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Filipina, dan Pasifik. Di selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah, sebagian didominasi rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi berbagai bencana seperti erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data dari United States Geological Survey (USGS) menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tertinggi di dunia, 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (www.bmkg.go.id).

Artiya, bencana yang diakibatkan alam masih bisa sangat mengancam. Belum lagi bencana yang disebabkan faktor lain yang mengancam stabilitas negara, misalnya bencana ekonomi, sosial, politik, ketahanan, keamanan, dan nasionalisme, menjadi ancaman  yang tidak kalah dahsyat di masa yang akan datang. Jika bencana alam dapat diatasi melalui mitigasi yang akan mengurangi atau meminimalisir bahkan meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana, maka mitigasi ancaman di luar alam dapat diatasi jika pemimpin negeri ini punya komitmen dan visi penanggulangan beragam ancaman stabilitas negara.

*Pernulis adalah tenaga pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

Search
Categories