Search

Jogja kok Angkuh?

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Tak terhindarkan, Yogyakarta usai penyerangan LP Cebongan berubah wajah. Perubahan ini saya tangkap sebagai warga serta muncul di  sejumlah diskusi yang merekam ekspresi mahasiswa. Komentar pejabat lokal dan terutama petinggi   Jakarta  yang disebaluaskan  media massa, menghantarkan  Jogja pada  julukan baru sebagai kota sangar, lekat dengan premanisme,  sehingga diusunglah dukungan bagi aksi penumpasan bersenjata aparat negara.

Pembunuhan empat pelaku kriminal di Cebongan dibingkai sebegitu rupa sebagai aksi kepahlawanan yang patut diacungi jempol. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi pujian saat  ramah tamah dengan keluarga besar Mabes TNI AD: ”Nah khusus kasus yang terjadi di Yogyakarta kemarin, biarlah hukum dan keadilan bekerja, meskipun saya senang dan bangga kepada jajaran TNI, jajaran Angkatan Darat, jajaran Kopassus atas langkah cepat, kejujuran, ketulusan, tanggung jawab yang ditunjukkan, dan saya ikuti semuanya itu….” (presidenri.go.id, 9/4)

Beberapa hari selepas penembakan, sejumlah media mengusung judul berita  bernada negatif  ”mahasiswa pendatang, hormati peraturan”.  Seolah dikomando, berbarengan dengan itu bertebaran spanduk di sudut-sudut kota antara lain dengan dua pesan. Pertama meletakkan cap miring kepada pendatang dan kedua, mengelu-elukan aksi pembunuhan di LP Cebongan. Kata-kata “usir pendatang” atau “pendatang yang sok jagoan” juga bertebaran di Facebook.

Efek pelabelan di ruang publik, media massa dan media sosial sungguh menusuk  hingga sendi-sendi kehidupan termasuk pendidikan. Terdapat kasus di mana mahasiswa dari etnik tertentu ditolak menjalani kuliah kerja lapangan (internship) di sebuah perusahaan karena di KTPnya tertulis asal daerah.  Para mahasiswa pendatang masih akan menjumpai masalah mendekati penerimaan mahasiswa baru, pencarian dan perpanjangan kontrak kamar kos. Bayang-bayang penolakan mencengkeram. Itukah wajah Jogja? Siapkah pemerintah dan warga kehilangan sebagian dari tiga hingga empat ratus miliar pemasukan mahasiswa yang belajar di wilayah ini? Bukankah angka ini beda tipis dari jumlah Pendapatan Asli Daerah DIY?

Kita percaya bahwa pesan-pesan emosional itu sama sekali bukan karakter Yogyakarta. Para petinggi, pimpinan organisasi massa dan media  semestinya berpikir lima kali sebelum meluncurkan dan menyebarluaskan label negatif  kepada pendatang. Sungguhkah kejahatan atau premanisme melekat pada etnik tertentu? 

Sembari menanti pengungkapan aksi  penyerbuan hingga proses pengadilan, janji-janji dilontarkan pejabat keamanan, memberantas premanisme di hingga titik nol.  Antropolog Djulianto Susanto (2010) menulis, tindak kejahatan  dapat diberantas karena kecakapan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada hingga membawa  Majapahit sebagai negeri aman makmur.  Raja dan patih memberantas tindak negatif berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana yang diberi nama Kitab Kutara-Manawadharmasastra.  

Bagaimana upaya para pemimpin negara Indonesia modern mengatasi premanisme dan berbagai aksi kejahatan? Untuk menumpas kejahatan  hingga ke akarnya, tidak ada cara lain kecuali memberantas pengangguran. Merujuk data Organisasi Perburuhan Internasional, tingkat pengangguran di Indonesia menurun dari 6,32 persen (Agustus 2011) ke 6,14 persen (Agustus 2012). Sementara itu UNESCO mencatat terdapat  200 juta penganggur di dunia dan hampir 10 juta berada di Indonesia. Selain menyediakan kesempatan pendidikan ketrampilan dasar terutama bagi kalangan miskin,  organisasi ini menyarankan  pemerintah memberi kemudahan bagi kaum muda dalam menggapai pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY mencatat, permasalahan pengangguran bukan sekadar soal pengangguran terbuka namun setengah penganggur terpaksa serta penduduk yang bekerja di sektor informal dengan produktivitas rendah.

Kejahatan atau premanisme berhubungan dengan kegiatan ekonomi dan perkembangan provinsi, kabupaten, kota hingga desa. Menjamurnya tempat hiburan malam di Jogja utara di satu pihak memberi ruang bagi pekerja namun di kesempatan lain menyediakan tempat bagi kebiasaan ataupun gaya hidup minum-minuman keras hingga mabuk. Para pamong tingkat RT, RW hingga Dukuh di wilayah tertentu masih kesulitan mengatasi persoalan ini, termasuk menangani keterlibatan warga setempat.  Pemerintah daerah, kabupaten dan kota perlu meninjau ulang kebijakan yang menyatukan kawasan  pendidikan dengan pusat bisnis dan hiburan, bukan malah mendukung perluasannya.

Keheranan Sultan HB X akan julukan  “kota pendidikan,” “kota budaya,” dan “kota mahasiswa” yang justru diwarnai perilaku kekerasan (Kompas.com, 27/3) mesti dicari jawaban menyeluruh secara cerdas dan etis, bukan dengan pelabelan etnik atau pendatang. Kita percaya sejatinya Jogja  tidak angkuh atau sombong tapi tetap lembah manah.

 *Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Ketua Masyarakat Peduli Media DIY.

 

 

Search
Categories