Search

Menggawangi Keistimewaan Yogyakarta

Bernas Jogja, Selasa 16 Oktober 2012

Oleh Theresia D. Wulandari*

Menjelang akhir tahun 2012, banyak momen istimewa yang berhasil direkam oleh para awak media. Mulai dari kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta, pengesahan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY), hingga sikap Presiden terhadap konflik KPK-Polri yang akhirnya menyerahkan penindakan kasus korupsi di tubuh Polri pada KPK. Jika kemenangan Jokowi-Ahok dinilai Megawati sebagai bukti kemenangan rakyat diam, pengesahan UUK DIY dan sikap Presiden terhadap konflik KPK vs Polri dinilai banyak pihak sebagai momentum keberpihakan pemerintah pada kepentingan rakyat. Meskipun masih banyak persoalan besar yang belum tuntas, ketiga peristiwa besar tersebut bisa menjadi titik tolak kemenangan suara rakyat.

Namun momen yang sungguh istimewa dan menjadi catatan sejarah bagi masyarakat Yogyakarta adalah pengesahan UUK DIY pada 30 Agustus 2012. Penantian panjang selama hampir 9 tahun itu akhirnya berbuah manis, saat Wakil Ketua DPR Pramono Anung sebagai pimpinan Rapat Paripurna 285 anggota DPR yang hadir kala itu mengetok palu pengesahan UUK DIY tanpa kendala. Naskah Undang-undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta itu akhirnya diserahkan oleh Pemerintah Pusat yang diwakili Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Johermansyah Johar kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan Ketua DPRD DIY di Pendopo Kepatihan Yogyakarta, Selasa 4 September 2012. Ada lima aspek keistimewaan yang dicantumkan pada UU Keistimewaan Yogyakarta yang berisi 16 bab dan 51 pasal ini, yaitu mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD, kelembagaan pemerintah DIY, bidang pertanahan, kebudayaan, dan tata ruang.

Sekiranyan euphoria pengesahan UUK DIY disudahi saja, beralih pada pekerjaan besar yang harus diemban oleh Pemda DIY untuk dapat mewujudkan keistimewaan, melakukan quick wins, seperti diamanatkan Gubernur DIY Sri Sultan HB X pasca pelantikannya  9 Oktober 2012. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah  DIY menargetkan penurunan angka kemiskinan dari 16,01% menjadi 14% pada 2013.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan (prosentase penduduk miskin dari seluruh penduduk) DIY pada Maret 2012 sebesar 16,05%. Atau secara absolut jumlah penduduk miskin (Penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan) pada Maret 2012 sebanyak 565.320 orang. Pada September 2012, angka kemiskinan di DIY menempati posisi ke 24 dari 33 provinsi dengan tingkat kemiskinan sebesar 16,14%. Pekerjaan besar lainnya adalah grand design sebagai acuan makro keistimewaan, Rencana Pembangunan Jangka menengah Daerah, dan Peraturan Daerah Istimewa.

Semua ini tidak cukup dilakukan sebatas rencana dan wacana. Perlu komitmen dan konsistensi para pengambil kebijakan untuk membuat semua rencana ini berjalan, agar UUK DIY tidak kehilangan momentum. Selain komitmen, tentu perlu pengawas pelaksanaan UU Keistimewaan Yogyakarta yang juga melibatkan usulan dana keistimewaan sebesar Rp1,2 triliun kepada pemerintah pusat sebagai bentuk kompensasi. Fungsi pengawasan ini dapat diserahkan kepada media massa sebagai penjaga gawang (watch dog) pelaksanaan keistimewaan.

Fungsi kontrol sosial

Secara yuridis, fungsi kontrol sosial memang diserahkan kepada media. Hal ini seperti termaktub dalam pasal 3 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999, bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Lebih lanjut media massa dikatakan perlu melakukan pengawasan kritis, memberikan koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum (Ryan Soegiarto, 2009). Oleh karenanya, media massa dianggap sebagai salah satu agen perubahan yang amat berperan bagi masyarakat. Dengan peran dan fungsi tersebut, pers dikatakan sebagai pilar keempat dari demokrasi. Pers merupakan media komunikasi, informasi, dan penyaluran aspirasi masyarakat, penyambung lidah atas tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintah. Sebaliknya, pers juga dapat berperan sebagai penyalur komunikasi dari rakyat ke pemerintah (Purwanto, et al., 2009).

Namun apakah cukup fungsi pengawasan keistimewaan Yogyakarta diserahkan kepada media massa? Fenomena class action nyatanya ampuh menggawangi berbagai kebijakan pemerintah yang semula dianggap kurang pro kepentingan rakyat.

Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 misalnya, seakan menjadi bukti kemenangan atas gugatan rakyat (class action) yang menuntut perubahan wajah ibukota, tanpa peduli partai pendukung. Demikian juga dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menyerahkan penyidikan kasus tindak pidana korupsi di tubuh Polri pada KPK, salah satunya dipicu oleh desakan banyak pihak (terutama masyarakat banyak melalui berbagai aksi demo mendukung kinerja KPK), menuntut keberpihakan pemerintah pusat pada obyektifitas penegakan hukum. Terakhir, pengesahan UU Keistimewaan, menjadi bukti kemenangan atas class action masyarakat Yogyakarta mempertahankan keistimewaan kotanya.

Dilihat dari sisi terminologinya, kata kontrol sosial berasal dari kata social control yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai sistem pengendalian sosial. Dalam bahasa percakapan sehari-hari, kontrol sosial dipahami sebagai kegiatan pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta para aparat.

Soekanto (1990) menjelaskan bahwa arti sesungguhnya dari pengendalian atau kontrol sosial jauh lebih luas. Pengendalian sosial dipahami sebagai segala bentuk proses (entah direncanakan atau tidak) yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pengendalian sosial adalah suatu tindakan seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui proses terencana maupun tidak dengan tujuan untuk mendidik, mengajak (baik dengan atau tanpa paksaan) untuk mematuhi kaidah dan nilai sosial tertentu yang dianggap benar pada saat itu. Selain itu tindakan pengendalian sosial dapat dilakukan antara individu terhadap individu lain, individu terhadap kelompok (kecil), kelompok terhadap kelompok, dan kelompok terhadap individu.

Menurut caranya, pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara persuasif maupun koersif. Pengendalian dengan cara persuasif dilakukan dengan cara damai, misalnya dengan melayangkan surat protes, usulan, ajakan dialog, dan lain-lain. Cara ini dapat dilakukan secara langsung maupun dengan memanfaatkan media massa. Pengendalian sosial dengan cara koersif dilakukan dengan paksaan yang biasanya mengarah pada terjadinya kekerasan, misalnya melakukan demonstrasi yang mengerahkan massa secara besar-besaran dengan melakukan ajakan untuk menekan pihak yang dikontrol.

Tanggungjawab bersama

Namun sewajarnya kegiatan mengawal keistimewaan Yogyakarta dilakukan secara sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan media massa. Pemerintah mengupayakan, masyarakat mengawasi, dan media turut mengontrol. Sebagaimana penegakan tindakan korupsi saat ini, pemerintah dituntut komitmennya, warga masyarakat turut mengawasi, media massa tidak ketinggalan berpartisipasi mengontrol.

Salah satu butir pertimbangan disahkannya UUK DIY adalah kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu tujuannya tentu untuk kesejahteraan seluruh warga Yogyakarta di masa datang. Meski demikian tanggungjawab pelaksanaannya bukan saja di tangan Sri Sultan HB X sebagai Gubernur dan Pakualam IX sebagai wakilnya, namun merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, warga masyaraat, dan media massa. Jadi, Anda warga Yogyakarta dan memiliki kecintaan pada kota ini? Mari bersama-sama kita menggawangi keistimewaan Yogyakarta.

* Theresia D. Wulandari,  staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search
Categories