Search

Opini Publik Sidang Cebongan

Analisis Kedaulatan Rakyat, Selasa 25 Juni 2013

Oleh Lukas S. Ispandriarno

SIDANG perkara penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta hari kedua telah berlangsung. Sidang perdana (20/6)  menyedot perhatian media dan masyarakat. Media menyajikan opini publik berisi tanggapan isu-isu menarik seperti agenda sidang, suasana di dalam dan luar gedung, hingga usulan teleconference bagi sejumlah saksi.

Opini publik merupakan kumpulan pendapat, sikap dan kepercayaan  individu perihal topik tertentu, diekspresikan pada masyarakat tertentu. Beberapa ahli melihatnya sebagai sintesa dari pandangan  semua atau hanya bagian tertentu dari masyarakat. Ahli lain memandang opini publik sebagai kumpulan  banyak pandangan yang berbeda atau berlawanan.

Pada sidang perdana, agenda tunggal pembacaan dakwaan menjadi perhatian media. Hal ini bisa dimaklumi karena rasa ingin tahu masyarakat telah terbangun sejak para tersangka mendapatkan label media sebagai gerombolan misterius, ninja, kelompok bersenjata terlatih. Pada waktu itu  muncul berbagai opini tentang hukuman yang pantas diterima gerombolan pelaku. Hanya beberapa jam pasca serbuan, media online menduga prajurit Kopassus sebagai pelakunya, menyimak  kecepatan aksi dan persenjataan yang digunakan.
Dakwaan dibacakan Oditur Militer Letkol Budiharto. Pada berkas pertama, Serda  Ucok Tigor Simbolon bersama Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik didakwa dengan Pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan sengaja, Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan dan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Mantan Kepala BIN Hendropriyono memandang dakwaan pembunuhan berencana berlebihan. Para petinggi militer berpendapat apa yang dilakukan prajurit itu merupakan aksi spontan, bukan direncanakan dan hanya di level bawah, bukan pimpinan. Begitukah?

Suasana di dalam maupun di luar gedung juga menjadi perhatian media. Di dalam gedung hadir beberapa orang penting seperti Hakim Agung Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Ansori Saleh, Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila  dan mantan Kepala BIN Hendropriyono. Di luar, di bawah ‘pantauan’  militer dan polisi, sejumlah organisasi massa berorasi dan menggelar poster yang intinya mendukung para prajurit. Sehari sebelumnya, sebanyak 27 prajurit Kopassus melakukan unjuk solidaritas dan dukungan kepada tersangka dengan berziarah ke Taman Makam Pahlawan. Dukungan  diberikan pula pimpinan TNI beberapa hari sebelum sidang, termasuk pernyataan  KSAD Letnan Jenderal TNI Moeldoko.

Kehadiran, sikap, aksi, dan pendapat berbagai kalangan itu membentuk beragam opini. Pendapat mereka bahkan tidak lagi dipandang sebagai opini individu namun dapat dianggap sebagai pendapat lembaga di mana mereka bernaung.

Isu yang akan terus berkembang dan menjadi perdebatan di antara opinion leader  adalah penggunaan teleconference. Pejabat dan pemuka masyarakat DIY ikut memberi opini antara lain Komandan Korem 072 Pamungkas Brigjen TNI Adi Widjaja dan Achiel Suyanto. Keduanya mengatakan teleconference tidak diperlukan karena para saksi yang berstatus narapidana tidak mengalami trauma. Lagi pula, jarak antara LP Cebongan dengan Pengadilan Militer II-11 tidak terlalu jauh sehingga tidak perlu dikhawatirkan soal jaminan keamanan.

Sebaliknya, Penanggung jawab Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK Irjen (Purn) Teguh Soedarsono mengatakan sejumlah saksi tidak layak bersaksi karena masih trauma. Ketua Tim Pemeriksa Kompetensi Psikologis Saksi di LP Cebongan Yusti Probowati berpendapat, dari total 42 saksi kasus penembakan di LP Cebongan, hanya 31 orang siap memberikan kesaksian langsung di persidangan. Sebanyak 10 saksi mengalami gejala depresi, trauma, dan kecemasan. Mereka tidak hanya mengalami trauma atas peristiwa penembakan terhadap empat tahanan titipan, tetapi juga stres memikirkan proses persidangan yang akan dihadapi. Mantan Kepala LP Cebongan, Sukamto Harto mengusulkan agar digunakan teleconference sehingga sidang dapat berjalan dan saksi juga dapat memberi kesaksian dengan baik, tanpa mengalami tekanan di persidangan.

Opini perihal teleconference bakal terus bergulir menjelang sidang untuk mendengarkan pendapat saksi. Keputusan penggunaannya bisa dipengaruhi opini publik yang berkembang di media dan sangat mungkin dipengaruhi suasana saat sidang perdana. Salah satu peristiwa yang bisa memengaruhi adalah intimidasi terhadap Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila. Ia disoraki, disebut pengkhianat,  bahkan mendapat cacian yang tak layak dilontarkan warga Yogya yang santun.

Media massa  berperan penting dalam memunculkan opini tentang berbagai isu seputar pengadilan pelaku pembunuhan empat napi Cebongan. Seberapa besar pengaruh opini media terhadap independensi penyelenggaraan Peradilan Militer tentu sangat ditentukan oleh integritas lembaga ini.


Lukas S Ispandriarno

(Penulis, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Search
Categories