Search

Ruang Publik dan Keistimewaan

Analisis Kedaulatan Rakyat, Kamis, 25 Juli 2013

Oleh Lukas S. Ispandriarno

DOMINASI wacana media massa saat melaporkan sidang terdakwa penyerbuan LP Cebongan mustahil diabaikan dalam konteks transformasi sosial menuju Keistimewaan Yogyakarta. Wacana dominan yang dimaksud adalah dukungan terhadap penembakan empat narapidana sebagai solusi pemberantasan kejahatan.

Sejumlah media hampir tidak pernah absen memasang judul menggambarkan pengakuan terdakwa dan arahan penasihat hukum bahwa penembakan yang dilakukan bukanlah sebuah kesengajaan ataupun perencanaan. Meski  berkebalikan logika, dukungan ‘Warga Jogja’ agar terdakwa dibebaskan lantaran dianggap berjasa memberantas kejahatan mendapat ruang terhormat di halaman muka. Dukungan ini menegaskan, apa yang dilakukan para tersangka merupakan sebuah kesengajaan, dan jauh sebelum itu tim investigasi telah mengumumkan motif pelaku sebagai  murni balas dendam.

Mengikuti perkembangan ruang publik pertengahan abad 19 seperti digambarkan Habermas,  ia memiliki ciri adanya debat terbuka, kupasan kritis, reportase penuh, aksesibilitas semakin meningkat dan kebebasan peserta di ruang publik dari kepentingan ekonomi dan kendali negara (Sumaryanto, 2010: 29). Di dalam ruang publik itulah manusia bergulat dengan realitas zaman, akan tetapi  transformasi sosial yang demikian cepat mengakibatkan pergeseran peran. Di dalam ruang publik tidak lagi berlangsung komunikasi bebas dominasi dan hegemoni melainkan sarat distorsi dan manipulasi. Di sana terjadi dominasi atau hegemonisasi terhadap saluran akses ruang publik (Ibrahim, 2004: 3).

Adalah Soedjatmoko, pemikir kebudayaan dan pemimpin redaksi  majalah  Siasat (1952-1960) yang memiliki pemikiran komunikasi seperti halnya Habermas. Berbicara perihal pembangunan dan kebudayaan, ia senantiasa melihat pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran. Humanisasi pembangunan sangat  penting melawan bahaya proses dehumanisasi dalam transformasi sosial akibat revolusi teknologi komunikasi  (Ibrahim, 2004: 9). Strategi humanisasi menghargai manusia di tengah kosmos, subjek yang mengelola dan mengatur alam lingkungan dengan sikap objektif, mengupayakan agar manusia  tidak terdistorsi di ruang publik yang tidak lagi humane. Dalam buku ‘Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko’ Ibrahim mengingatkan, dunia modern berada dalam bayang-bayang dehumanisasi. Manusia banyak tergusur di ruang publik dalam bentuk modernitas berjiwa rasionalitas instrumental, dikungkung budaya ekonomi konsumen.

Manusia menjadi sekadar alat, objek, bukan subjek, dan terjadi proses peminggiran hal-hal yang bersifat manusiawi. Bekalnya adalah semangat survival of the fittest yang kuat akan menang. Dalam sejumlah kepustakaan mantra ini acapkali dilukiskan dengan gambar seekor singa  memangsa kerbau. Merujuk Soedjatmoko, humanisasi merupakan proses mengulurkan tangan, menolong dan berempati pada kemanusiaan manusia yang karena berbagai hal mendasar dan hal-hal lain yang berada di luar kehendak bebas mengakibatkan manusia mengidap berbagai keterbatasan.

Pemikiran Soedjatmoko sepaham dengan  visi, misi, dan program  Hamengku Buwono X  saat menjadi calon Gubernur DIY tahun 2012-2017. Pemaparan  bertajuk  ‘Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru’  disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD DIY 21 September 2012.  Dalam  RPJPD Tahun 2005-2025, kaidah penuntun pembangunan daerah, disebutkan haluan dan arah kebijakan  perspektif 20 tahun ke depan guna mengangkat derajat manusia seutuhnya bagi seluruh lapisan rakyat DIY. Dalam kaidah ini dimensi budaya ditempatkan sebagai arus utama pembangunan. Dinyatakan pula, sejak kelahiran Yogyakarta, tujuan tersebut  sudah tersandang sebagai misi ‘istimewa’, yang terkandung dalam nilai-nilai filosofis ‘Hamemayu-Hayuning Bawana’.

Pada transformasi sosial politik saat ini,  media sebagai ruang publik berperan menjadi ruang publik otonom yang mencerahkan dan mengupayakan terbangunnya Keistimewaan Yogyakarta yang menjunjung kemanusiaan. Para pemilik media, redaktur dan jurnalis memaknai media sebagai ruang  ekspresi wacana kontra hegemoni melawan dominasi dan hegemoni dominan yang mengusung sifat heroik berbau kekerasan.  Dalam konteks komunikasi, kontra hegemomi  menjadi bagian  pemikiran kajian kultural yang mengajak khalayak bukan sebagai  pengikut dan penurut namun menyuarakan mulut yang terbungkam, sebab khalayak tidak  dungu dan submisif (West and Turner, 2007: 397). Media massa  menyediakan ruang bagi beragam wacana, ide, dan praktik budaya Yogyakarta yang arif, santun dan beradab. (*)

Lukas S Ispandriarno, Penulis adalah  Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Koordinator Masyarakat Peduli Media (MPM) DIY.

Search
Categories