Search

Selamat Datang Media Narsis

Bernas Jogjja, Selasa, 22 Oktober 2013

Oleh Diyah Hayu Rahmitasari*

Keberadaan media massa pada dasarnya sebagai penyedia informasi atau segala sesuatu yang mengurangi tingkat ketidakpastian (Schramm, 1964: 27). Karena berada di ranah publik, seharusnya informasi yang disediakan media massa merupakan informasi publik, atau informasi yang memiliki nilai penting bagi publik. Sayangnya, media massa di Indonesia lebih banyak didominasi oleh informasi-informasi privat yang sebetulnya tidak mengurangi tingkat ketidakpastian dalam masyarakat atau bahkan tidak terlalu penting bagi masyarakat.

Menjelang Pemilu 2014 misalnya, semakin banyak informasi berseliweran di media, utamanya televisi, yang bertujuan sekadar memuaskan pemilik media. Bisa dikatakan saat ini media bukan lagi berperan sebagai penyedia informasi publik, melainkan, sebagai wadah bagi para pemiliknya untuk saling bernarsis ria.

Narsis merupakan istilah populer di kalangan remaja sejak awal tahun 2000-an. Konsep ini diambil dari nama salah satu tokoh dalam Mitologi Yunani, Narsisus, yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di kolam. Kata narsis kemudian lebih sering digunakan menggambarkan kecenderungan seseorang yang mengagumi atau menilai dirinya sendiri secara berlebihan dan selalu ingin tampil. Menurut American Phsycological Association, orang yang didiagnosa dengan Narcissistic Personality Disorder atau gangguan kepribadian narsistik, umumnya ditandai perasaan tidak beralasan untuk menganggap dirinya penting dan dikagumi orang lain.

Jika kita perhatikan lebih jauh, kecenderungan narsis di media kini melanda para pemilik media dan juga para penguasa yang dekat dengan pemilik media. Ambil contoh pembukaan Miss World 2013 di Bali yang ditayangkan stasiun televisi RCTI beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, pengisi acara justru lebih banyak menyanyikan lagu-lagu ciptaan Liliana Tanaja Tanoesoedibjo yang tak lain adalah pendiri Yayasan Miss Indonesia dan istri pemilik Media Nusantara Citra (MNC) group, Hary Tanoe.

Dalam ajang internasional tersebut, para pengisi acara tidak banyak menyanyikan lagu daerah atau lagu nasional. Padahal sebelumnya Liliana mengatakan bahwa acara ini bertujuan mempromosikan Indonesia dengan taglinenya: “Bring Indonesian beauty to the world (Membawa kecantikan Indonesia ke kancah dunia)”. Namun, tidak banyak kecantikan Indonesia, dalam hal lagu misalnya, dipresentasikan di acara tersebut. RCTI memang merupakan bagian dari MNC group sehingga fakta ini seolah-olah menjadi pembenaran bagi anggota keluarga MNC untuk berhak narsis di ajang Miss World 2013.

Tak jauh berbeda dengan istrinya, Hary Tanoe pun sibuk “memuji” pasangan politiknya di Pemilu 2014, Wiranto, dalam iklan, wawancara dan nyaris semua acara di stasiun televisi miliknya. Tidak terkecuali siaran langsung pertandingan sepakbola yang kerap “diinterupsi” oleh iklan, bahkan di saat pertandingan tengah berlangsung. Salah satu hal yang makin memperkuat asumsi kenarsisan bahwa pemilik media jauh lebih diprioritaskan daripada kebutuhan masyarakat atas informasi hiburan. Begitu pula dengan Aburizal Bakrie. Hampir di setiap jeda acara, iklannya selalu muncul menghiasi layar kaca, terutama di stasiun-stasiun televisi miliknya. Padahal kita bahkan belum memasuki masa kampanye, tapi isi media sudah didominasi oleh iklan politik yang hanya berisi satu pesan: “pilih saya!”

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa media di Indonesia lebih banyak dimiliki konglomerat dan/atau politikus yang tengah berlomba mengambil hati rakyat demi satu posisi di Pemilu 2014. Sekilas tidak terlihat ada yang salah dengan “memanfaatkan” media yang notabene adalah milik mereka sendiri. Namun, jika berpijak pada fakta bahwa media menggunakan frekuensi yang berada di ranah publik, akan terlihat jelas kesalahan-kesalahan media itu.

Kesalahan pertama terletak pada fokus informasi. Media, khususnya televisi, cenderung mengemas informasi politik dengan pendekatan selebriti yaitu melihat kepribadian (baca: kenarsisan) individu sebagai lebih menarik ketimbang isi kebijakannya (Sparks dalam Wasserman, 2010: 81). Kesalahan kedua, media sama sekali tidak berpihak pada kepentingan publik. Padahal, konsekuensi logis dari keberadaannya di ranah publik adalah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan siapapun, termasuk pemilik media. Artinya, adalah sah bagi media menampung kenarsisan pemiliknya selama itu tidak disiarkan dengan menggunakan frekuensi publik, semisal hanya konsumsi terbatas di acara keluarga. Namun, begitu media menggunakan frekuensi publik, kepentingan publiklah yang harus diwadahi media. Dengan kata lain, di tengah situasi menjelang pemilu yang sarat ketidakpastian seperti sekarang ini, media hendaknya lebih berperan mendidik serta mengarahkan publik agar menjadi pemilih yang lebih kritis, dan bukan justru menjebak publik melalui pesan-pesan narsis.

Pada dasarnya, media memiliki tanggung jawab “menyelamatkan” masyarakat dari tarik menarik dua kekuatan besar yaitu pasar dan negara. Sayangnya, hal itu menjadi mimpi yang semakin susah diwujudkan karena media di Indonesia lebih banyak dikuasai oleh pasar dan/atau negara. Apalagi jika menengok fakta kepemilikan silang media (cross media ownership) yang membuat isi media dalam bentuk apapun (cetak, siar maupun elektronik) menjadi seragam dan mempersempit kemungkinan tersedianya pesan alternatif. Karena itu, harapan untuk mengandalkan media sebagai sumber informasi publik menjadi kian semu.

Barangkali, memang sudah saatnya kita mengucapkan “selamat tinggal” pada media sebagai penyedia informasi publik karena saat ini fungsi media tak lain hanyalah sebagai alat pemuas kenarsisan pemilik. Salah satu dari sedikit harapan yang tersisa terletak pada kemampuan masyarakat. Sebagai satu-satunya pihak yang paling sedikit berperan dalam proses produksi dan distribusi informasi di media, masyarakat harus terus belajar menjadi kian cerdas dalam menyaring informasi narsis. Caranya adalah dengan membekali diri sebanyak-banyaknya keahlian dan pengetahuan agar tidak serta merta mengamini isi media sebagai sebuah kebenaran tunggal dan kebenaran final. Pertanyaannya, sudah siapkah kita?

*Diyah Hayu Rahmitasari, dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search
Categories