BISIKAN DARI JOGJA : ‘REFLEKSI, EVALUASI DAN REKOMENDASI BIDANG KEBUDAYAAN TIGA TAHUN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO – JUSUF KALLA’
Yogyakarta– Tiga tahun sudah, Jokowi-JK memimpin pemerintahan Indonesia. Yang artinya, separuh masa jabatan telah terlewati. Sudah cukup rasanya, kita sebagai rakyat mengevaluasi kinerja mereka. Pada tahun ini, Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia) mengadakan suatu kegiatan berupa seminar yang dibuka untuk umum, dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan secara tertutup. Kegiatan ini ditujukan sebagai refleksi, evaluasi, dan rekomendasi bidang kebuayaan tiga tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Seminar yang mengangkat tema kebudayan dan berefleksi dari pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla ini dihadiri oleh kurang lebih 150 orang, yang bertempat di Plaza Hotel & Resorts Yogyakarta pada Sabtu (21/10/2017). Adapun beberapa pembicara yang hadir di Seminar tersebut, meliputi Dr. Ignas Kleden, Mohammad Sobary, Prof. DR. Abdul Munir Mulkhan, dan Dr, Seno Gumira Ajidarma.
Dr. Ignas Kleden selaku pembicara, menyampaikan beberapa pokok inti pembahasan seminar tersebut melalui kajian yang dibuatnya. Pertama, kebudayaan sebagai Sasaran Kritik. Kebudayaan sebagai sasaran kritik, diurai melalui tiga kelompok yaitu abangan, santri, dan priyayi. Kemudian, kebudayaan tersebut dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Jawa. Dari hal tersebut, dapat dibuktikan bahwa di Indonesia, intergrasi tidak semakin meningkat, tetapi sebaliknya non-integrasi-lah yang menjadi semakin rumit. Contohnya yaitu, pertanian dalam perdagangan. Contoh tersebut diuraikan melalui buku Agricultural Involution : The Processes of ecological Change in Indonesia, dan Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns.
Kedua, kebudayaan sebagai Sarana Kritik. Kebudayaan sebagai sarana kritik dikaji melalui beberapa unsur yang meliputi : pendidikan, teknologi, agama, dan ilmu pengetahuan. Dalam unsur pendidikan, sistem budaya tersebut dihadapkan pada sebuah pertanyaan, apakah pendidikan bertujuan untuk mendidik ketaatan kepada tradisi, kepada otoritas dan kekuasaan, atau hanya sebagai kemandirian dalam akal sehat dan tanggung jawab berdasarkan hati nurani?. Sejenak kemudian terselip refleksi, bahwa ternyata pendidikan Indonesia lebih menekankan kepada anak yang harus menuruti kekuasaan, bukan menjadikan kebebasan sebagai latar belakang untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya sejauh mungkin. Kemudian mengenai kebudayaan dalam unsur teknologi, adanya teknologi bukan 100% sebagai alat produktif, melainkan hanya bersifat konsumtif. Contohnya, banyak orang yang menggunakan smartphone, tetapi penggunanya kurang cerdas. Contoh lainnya yaitu, komputer yang seharusnya meningkatkan kemampuan menulis, malah membuat orang bermalas-malasan untuk mencari literatur seperti misalnya buku, dan lain-lain. Ini merupakan refleksi konkrit, apakah kita termasuk orang-orang yang seperti dicontohkan atau sebaliknya?
Selain Dr. Ignas Kleden, Seno Gumira Ajidarma juga menjelaskan beberapa poin penting mengenai Kebudayaan Indonesia. Inti materi yang disampaikan Beliau adalah Strategi Kebudayaan Indonesia. Strategi Kebudayaan ini dapat dilihat melalui banyak aspek. Salah satu aspeknya yaitu, Kebudayaan sebagai Kesenian, Mitos yang terbakukan, Kesenian dalam tiga kategori, dan Rekomendasi dalam perbincangan.
Meskipun seni berada pada segala bentuk sentuhan manusia, maka pada gilirannya perbincangan tentang seni akan merambah juga ke semua aspek. Sehingga ketika kebudayaan disebut-sebut, tentulah dalam pengertiannya yang luas, kebudayaan dapat dikatakan sebagai situs perjuangan ideologis, sebagai tempat makna saling disodokkan dalam pernyataan hak atas kebenaran (claim) berbagai kelompok dalam khalayak, tempat kelompok terbawahkan akan melawan beban makna dalam wacana kelompok dominan.
Leave a Reply