Search

Supersemar, Suku Anak Dalam dan Ironi Reformasi

Bernas Jogja, Selasa 11 Maret 2014

Oleh Suryo Adi Pramono

Selama Era Reformasi banyak orang mungkin telah lupa dengan tanggal 11 Maret. Euforia demokratisasi  telah membuat banyak orang asyik dengan agenda barunya. Sementara banyak generasi muda barangkali sangat sedikit  mengetahui peristiwa  tanggal itu tahun 1966. Padahal peristiwa itu sungguh menjadi titik tolak pengubah sejarah bangsa, oleh karena kemudian Barat menyambut datangnya seorang pemimpin baru di Asia, yang disebutnya dengan “secercah harapan dari Asia”. Frase dimuat di dalam film “Shadow Play”,  menggambarkan bagaimana Indonesia menjadi ajang rebutan pengaruh ideologi Blok Barat dan Timur selama Perang Dingin 1960-an. Perebutan pengaruh  dimenangkan oleh Blok Barat dengan kejatuhan Bung Karno dan naiknya Pak Harto ke tampuk tertinggi pemerintahan republik yang menjadi motor Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok (GNB).

Setelah Pak Harto berhasil menyingkirkan Bung Karno melalui “kudeta merangkak” delegasi Indonesia mulai berkeliling di Amerika Serikat untuk menawarkan investasi asing di negeri yang dicintainya. Disertasi Mohtar Mas’oed dengan gamblang menjelaskan peranan Adam Malik dan Sri Sultan HB IX dalam menggalang dana Jepang dan Eropa untuk memulai pembangunan Indonesia. Ironisnya, di kemudian waktu diketahui bahwa pembangunan berbasis hutang ini menjadi penyebab lemahnya fundamental ekonomi, yang tak kuat terhadap gempuran Krisis Moneter (Krismon) 1998. Seperti menuai “karma”, Pak Harto harus menyatakan diri “berhenti” dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dengan Supersemar, Pak Harto mulai menghabisi PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah PKC dan PKUS, secara bertahap dan kemudian meminggirkan kaum Soekarnois dari kabinet dan parlemen. Setelahnya, Bung Karno yang menjadi pemberi perintah Supersemar pun menjadi sasaran peminggiran. Setelah pidatonya yang berjudul “Nawaksara”, dan kemudian dilengkapi dengan pidato berikutnya “Pelengkap Nawaksara” ditolak  parlemen yang dipimpin Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Karno secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. MPRS lalu mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pengganti Bung Karno.

Bung Karno sebenarnya melakukan perlawanan terhadap “penyalahgunaan” Supersemar oleh Pak Harto. Pada 12 Maret 1966 Bung Karno berpidato berapi-api bahwa Supersemar bukanlah “transfer of souvereignity, of authority”, dan menyerukan diberhentikannya pembunuhan di sejumlah daerah. Namun Si Bung tak bisa menghentikan aksi Pak Harto yang menggerakkan tentara dengan dukungan milisi dan elemen-elemen rakyat yang anti-komunis. Angka kurban beraneka menurut berbagai sumber, mulai dari 500.000, 2 juta sampai dengan 3 juta orang yang dibunuh. Suatu angka yang fantastis pada sebuah negeri yang sebelumnya mencanangkan “nation and character building”. Seruan ini ternyata benar,  karena memang bangsa ini belum benar-benar terbangun, demikian pula karakternya. Bangsa ini mudah (di)pecah dan karakternya penuh dendam dan kejam melalui aneka kekerasan politik pada waktu itu.

Mendasarkan diri pada Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), Rezim Orde Baru membangun Indonesia dengan dukungan IGGI, lembaga keuangan internasional lain, dan relasi mesra dengan Barat dan Jepang. Kita menyaksikan  era 32 tahun pemerintahan Pak Harto Indonesia mencapai kemajuan ekonomi pesat. Kita berhasil menekan laju kelahiran dengan program Keluarga Berencana, transmigrasi, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk mencapai swasembada pangan, infrastruktur, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Banyak analis internasional menilai Indonesia akan menyusul Korea, Hongkong, Singapura, dan Taiwan sebagai New Industrial Countries (NICs). Konsep pembangunan ekonomi yang serba terukur dan terencana berbasis pada manajemen kependudukan itu dirancang oleh  Widjojo Nitisastro. GBHN, PJP, Repelita dan implementasi pembangunan yang konsisten menjadi tulang punggung keberhasilan pembangunan ekonomi itu.

Sumber daya alam (SDA) menjadi salah satu hal penting  dijadikan penopang ekonomi rezim ini. Migas, perkebunan, perkayuan, dan aneka jenis SDA lain menjadi tumpuan  menyiapkan sumberdaya ekonomi negeri.

Upaya ini tentu bukan tanpa kurban. Pembukaan lahan di Kalimantan dan Sumatra telah meminta kurban para penduduk asli dan pemangku adat ketika SDA nenek moyang mereka beralih ke dalam pangkuan manajemen negara berdasarkan aturan hukum formal. Meskipun negara  secara resmi mengambil-alih, namun tidak tertutup kemungkinan aneka kepentingan bisnis di dalamnya pun turut memanfaatkan kemudahan yang diberikan oleh penguasa. Semboyan “Ekonomi sebagai Panglima” telah melahirkan praktek kekuasaan represif bagi anak negeri yang bersinggungan dengan sumber pendanaan rezim ini dan kekuatan ekonomi yang bekerja di dalamnya. Stabilitas keamanan menjadi basis praksis represi di dalam negeri untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Suku Anak Dalam

Salah satu kurban represi kekuasaan ekonomi-politik Orde Baru adalah Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi. Mereka yang mengaku masih keturunan para tentara Kerajaan Singasari dalam Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Lembu Anabrang di abad 12 ini pada akhir tahun 1970-an telah kehilangan hak adat dalam mengelola lahan nenek moyang. Hak mereka dikalahkan  aturan resmi dari Jakarta yang memberikan hak penguasaan lahan tanah adat SAD ini kepada sebuah perusahaan nasional.

Setelah Era Reformasi, SAD berjuang  mendapatkan kembali hak adat mereka atas tanah leluhur. Mereka berdemonstrasi di Kantor Gubernur Jambi. Mereka pun berhasil menemukan peta lama jaman Hindia Belanda di mana tanah leluhur  terpetakan jelas. Berdasarkan peta yang dimiliki, mereka ingin meminta kembali tanah itu untuk bertempat tinggal. Cukup sudah mereka berdiaspora ke berbagai daerah di Jambi dan propinsi tetangga. Namun Era Reformasi belumlah menjadi era di mana rakyat berhak atas hak adatnya.

SAD terancam hak asasinya sebagai manusia. Sebuah koran nasional Jumat lalu (8/3) memberitakan jatuhnya kurban meninggal dari kalangan warga SAD. Pembukaan UUD 1945 yang mencanangkan “melindungi segenap Bangsa Indonesia” ternyata telah diabaikan, kalau bukan dikhianati, oleh aparatus negara yang melindungi kepentingan korporasi. Jalan dialog, negosiasi, dan perundingan damai telah dicederai oleh tindakan kekerasan. Apakah ini menandakan masih bercokolnya “ideologi kekerasan” Orde Baru pada nalar aparatus keamanan di Era Reformasi?

 

Ironi Reformasi

Bila Era Reformasi adalah kritik terhadap otoritarianisme Orde Baru, maka praktek kekerasan terhadap SAD dapat ditafsirkan sebagai “penghadiran kembali” otoritarianisme Orde Baru. Bila demikian halnya, maka ini adalah suatu ironi. Otonomi Daerah yang lahir sejak UU No. 22 Tahun 1999 disahkan ternyata tidak mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya. Kepentingan rakyat, dalam hal ini SAD, kiranya tidak dilayani dengan baik. Alih-alih dicek dasar klaim SAD, dibicarakan dengan dingin, diteliti kebenarannya, lalu diputuskan sesuai dengan kebenaran itu dengan berbasis dialog multi-pihak, tetapi dalam realita terakhir justru pemerintah daerah tidak dapat berbuat maksimal terhadap penyelesaian sengketa itu. Hak adat SAD atas lahan sengketa yang dengan gigih diperjuangkan, bahkan dengan long march dari Jambi ke Istana Merdeka, masih terus diperjuangkan entah sampai kapan.

Meminjam gagasan Taylor, ironi reformasi ini mungkin perlu “diruwat” dengan “revolusi mental menyeluruh” para pelakunya. Apabila tidak, era bisa saja berganti, rezim pun datang dan pergi, namun ideologi kekuasaan dan represi sebagaimana dipraktekkan Orde Baru kiranya masih hidup di Era Reformasi. Tentu banyak hal baik dalam Era Reformasi, namun kekerasan terhadap SAD tetaplah “hal buruk” yang tak dapat diterima oleh akal sehat.

Piye le…isih penak jamanku to? Bila kita tak berbenah, maka Pak Harto akan tersenyum dengan bangga akan kemenangannya. Meskipun ia telah berpulang, rezimnya pun telah tumbang, namun logika kekuasaan dan kekerasan yang hidup pada jamannya tetaplah “abadi”. Bagi SAD, dan kurban-kurban “pembangunan” lain, Jaman Pak Harto dan Jaman Reformasi pun sama saja: tak ada jaman yang penak.

*Penulis adalah dosen Program Studi Sosiologi FISIP UAJY

Search
Categories