Search

Trotoar Malioboro

Bernas Jogja, Selasa 3 Juli 2012

Oleh Imma Indra Dewi W., SH., Mhum

Rencana penataan kawasan Malioboro oleh Pemerintah Kota Yogyakarta ternyata membuat para pedagang kaki lima (PKL) yang turut memanfaatkan trotoar untuk mengais rejeki merasa resah. Tak bisa dipungkiri sepanjang trotoar Malioboro telah berubah total menjadi kawasan kegiatan ekonomi rakyat. Karenanya Malioboro mampu menawarkan pesona khas bagi wisatawan. Malioboro menjadi ikon wisata kota Yogyakarta.

Selain menjadi kawasan kegiatan ekonomi rakyat, berbagai bangunan bersejarah terletak dan dapat dituju dengan menyusuri Malioboro. Gedung Agung, Benteng Vredenburg, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kantor Pos Besar, Taman Pintar, Monumen Tapak Tangan Pejabat, Pasar Beringharjo, semuanya dapat dituju lewat Malioboro. Sayangnya, kegiatan ini berdampak negatif. Malioboro jadi kumuh, kotor, macet, penuh polusi dan lekat dengan kriminalitas. Yang paling disayangkan  trotoar yang jadi hak pejalan kaki dan difabel   dirampas dan hilang fungsi aslinya.

Alih fungsi trotoar

Lihatlah sepanjang sisi kiri Malioboro, trotoar telah disulap menjadi area parkir sepeda motor, sementara sepanjang sisi kanan dikuasai para PKL. Akibatnya pejalan kaki harus berdesak-desakan dengan pejalan kaki lain sambil berhati-hati  agar jangan sampai merusakkan dagangan PKL. Para difabel lebih susah lagi karena hampir tak dapat menggunakan haknya untuk berjalan di area yang telah disediakan. Wisatawan pun dihantui kemungkinan ketidaknyamanan oleh kehadiran copet. Selain itu pejalan kaki perempuan kadang harus mendengarkan kata-kata tak pantas yang dilontarkan orang-orang tak bertanggungjawab yang nongkrong di seputaran lapak-lapak PKL Malioboro. Inikah rupa kawasan ikon wisata Kota Yogyakarta? Sebagai ikon wisata, mestinya Malioboro mampu memberi kenyamanan juga bagi pejalan kaki dan difabel.

Apa tindakan Pemerintah Kota Yogyakarta? Tidak ada. Paling hanya car free day selama beberapa jam. Itu bukan penyelesaian masalah utama. Apakah Pemkot tidak bisa lagi menjamin hak pejalan kaki dan difabel? Bila tidak, berarti Pemkot juga telah merampas hak rakyat. Meskipun begitu Pemkot telah melemparkan wacana penataan kawasan Malioboro dan baru  terdengar wacana tersebut sudah  muncul berbagai reaksi, terutama dari pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ekonomi di kawasan Malioboro. Mengingat teriakan kuat dari berbagai pihak, wacana ini dipertanyakan apakah dapat benar-benar diwujudkan? Jika para pelaku kegiatan ekonomi di kawasan Malioboro  digusur begitu saja, mereka juga akan berteriak: “Di mana hak kami dapat dijamin untuk mencari nafkah?”. Sebenarnya Pemkot juga pernah melakukan razia lapak PKL  tapi tak  lama kemudian mereka kembali karena ada “kekuasaan” yang mendukung dari belakang. Apakah Pemkot Yogyakarta yang nota bene mempunyai kekuasaan legal selalu kalah dengan “kekuasaan” ilegal yang ada di belakang PKL? Artinya  tindakan seperti ini juga tidak efektif untuk menciptakan kawasan Malioboro sebagai jalur pedestrian.

Hak atas trotoar

Dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas diatur bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan. Salah satunya adalah fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat.  Dalam UU ini juga diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Pejalan kaki juga berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.

Menurut UU, pejalan kaki wajib menggunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau jalan yang paling tepi, atau menyeberang di tempat yang telah ditentukan. Pejalan kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali pengguna jalan lain. Bagaimana pejalan kaki dapat menjalankan hak dan kewajibannya jika trotoar digunakan untuk fungsi  lain?

Dalam UU Lalu Lintas juga diatur bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi fasilitas pejalan kaki dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00. Setiap orang yang merusak fasilitas pejalan kaki sehingga tidak berfungsi dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00. Pertanyaannya apakah ketentuan ini telah dijalankan? Sebenarnya berdasar ketentuan UU Lalu Lintas  Pemerintah Kota Yogyakarta dapat menjalankan tugasnya menata kawasan Malioboro, terutama fungsi trotoar, agar kembali pada fungsi semula. Pertanyaan yang muncul adalah jika dipertentangkan antara ketentuan hukum dan kepentingan sosial masyarakat lantas bagaimana? Seperti dalam hal penataan trotoar kawasan Malioboro, pasti akan ada PKL yang merasa haknya dirugikan.

Di sinilah Pemerintah Kota Yogyakarta harus arif menjalankan peran, menata kawasan tanpa melupakan hak orang lain. Sebagai pengambil kebijakan Pemkot harus bisa mencarikan tempat alternatif untuk parkir sepeda motor dan lapak PKL. Boleh saja hak mereka diperhatikan, tapi penuhi juga hak pejalan kaki dan difabel atas trotoar. Di seputaran Malioboro masih mungkin disiapkan area parkir kendaraan bermotor yang terpusat, begitu pula lapak PKL masih dapat dikonsentrasikan di satu titik tertentu. Sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku secara nasioal maka UU Lalu Lintas harus dilaksanakan secara nasional, termasuk oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Aturan-aturan hukum di bawahnya harus mengikut pada ketentuan UU Lalu Lintas. Jadi Pemkot dalam membuat ketentuan untuk PKL Malioboro juga tetap harus memperhatikan hak pejalan kaki dan difabel.

Kebijakan seperti ini telah dijalankan di daerah-daerah lain. Mengapa Kota Yogyakarta tidak bisa? Apa kesalahannya? Karena setiap muncul satu lapak PKL di suatu tempat yang baru, pemerintah tidak pernah langsung menegurnya jika tempat itu memang tidak boleh digunakan. Jika terjadi hal seperti itu Pemerintah cenderung mendiamkan. Pemerintah baru akan bertindak setelah kawasan tersebut berkembang jadi kawasan kegiatan ekonomi rakyat. Bahkan tak jarang dilakukan dengan tindakan represif. Apakah hal ini terjadi karena kekuasaan legal pemerintah tak kuasa lagi menghadapi kekuasaan ilegal? Sangat disayangkan. Jika Pemerintah Daerah  lain bisa melindungi hak pejalan kaki dan difabel, mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta tidak bisa?

*Imma Indra Dewi W., SH., Mhum, dosen FH UAJY

 

Search
Categories