Search

Warna Ungu dan Bias Gender

Bernas Jogja, Selasa 2 Juli 2013

Oleh Amelberga Vita Astuti

Desember 2012 saya dan beberapa teman di fakultas iseng-iseng mencanangkan hari Rabu sebagai Rabu Ungu. Kegiatannya sederhana, kami, penyuka warna ungu, memakai baju bernuansa ungu pada hari tersebut. Karena saya sedang bertugas studi di Australia, maka kami saling meng-upload foto di Facebook untuk pembuktian Rabu Ungu ini. Komentar dari teman-teman lain di Facebook yang melihat foto-foto tersebut sangat menarik diamati karena memancing isu bias gender yang merugikan wanita. Komentar kebanyakan datang dari wanita dan mahasiswi.

Saya mengira tidak banyak orang yang suka ungu. Ketika kami dengan terbuka dan terang-terangan memakai baju warna ungu dan mengunggahnya ke jejaring media sosial, terungkap banyak wanita menyukai warna ungu. Beberapa dari mereka sebelumnya tidak merasa nyaman mengakuinya.

Anehnya, tidak ada pria yang menyatakan suka dengan warna tersebut. Artikel saya yang berjudul “Buat yang Suka Ungu: Jacaranda di Perth” (Kompasiana, 24/11/2012) menjadi headline dengan jumlah pembaca hampir mencapai 500 dalam sehari, dan dari 14 pembaca yang menilai artikel saya menarik, 11 (hampir 80 persen) di antaranya adalah wanita. Tiga pembaca pria adalah saudara dan sahabat saya, jadi agak bias penilaiannya. Ini temuan menarik.

Satu komentar dari teman pria di Facebook menambah rasa penasaran. Di bawah foto saya yang berbaju ungu, dia menulis,”Ada apa kok kamu pakai baju ungu?” Ketika saya tanya balik apakah ada yang salah, teman wanita lain menjelaskan, warna ungu identik dengan warna janda, mungkin komentar tersebut ada hubungannya dengan mitos itu. Lalu saya menyatakan bahwa saya berbaju ungu karena saya suka, bukan karena saya janda. Mengapa ada mitos demikian?

Makna
Pemilihan warna bisa dikaji melalui gender dan budaya. Radeloff (1990) menemukan, wanita lebih banyak mempunyai warna favorit daripada pria. Penelitian Hallock (2003) menunjukkan, 23 persen wanita menyukai warna ungu setelah warna biru (35 persen). Dari responden yang berasal dari 22 negara ini, tak satu pria pun memilih warna ungu sebagai warna favorit. Penelitian Hurlbert dan Ling (2007) mengungkapkan, pria hanya punya satu nama untuk suatu warna. Jadi warna ungu hanya disebut ungu saja, tidak ada varian lain. Sedangkan bagi wanita, warna ungu bisa mempunyai banyak sebutan yang identik dengan warna buah atau bunga, misalnya ungu anggur, terong, lavender atau anggrek. Perbedaan penyebutan warna ini karena wanita lebih banyak memakai baju berwarna-warni daripada pria.

Warna ungu sering dianggap warna buatan atau artifisial karena jarang ditemukan di alam, terutama di Indonesia. Untuk industri, pembuatan warna ini menjadi mahal karena sulit menemukan bahan dasar ungu dari bahan alami. Maka warna ungu dimaknai simbol kemewahan, bahkan supranatural karena keunikannya (Bourn, 2011). Di Australia, mungkin karena ada empat musim, banyak ditemukan tanaman berbunga ungu, seperti jacaranda, lavender, dan aster, serta beberapa nama tanaman yang tidak bisa tumbuh di Indonesia. Benda-benda berwarna ungu pun sangat umum ditemukan di negara kangguru ini, dari kaos tangan, pagar, sampai seragam sekolah, seperti di Wesley College di Melbourne.

Berikut ini berbagai makna warna ungu di seluruh dunia yang dikumpulkan seorang ahli warna, Kate Smith (2009). Di beberapa negara di Eropa, warna ungu melambangkan simbol kerajaan. Untuk suku Indian, warna ini melambangkan kebijaksanaan, penyembuhan dan rasa syukur. Di Jepang, menjadi simbol kekayaan dan kekuatan. Di Amerika, warna ini dipakai untuk penghargaan Purple Heart Award kepada para tentara yang terluka dalam tugasnya. Yang menarik, di Thailand, para janda memakai baju warna ungu untuk tanda berduka karena kematian suami mereka. Karena berhubungan dengan kematian, warna ini menjadi tabu sebagai warna baju yang dikenakan sehari-hari. Para wanita di Thailand menghindari pemilihan warna ini untuk baju pesta ataupun untuk acara pernikahan, menghindari kesan negatif. Selain di Thailand, warna ungu juga melambangkan kedukaan dan kesedihan di Italia dan Brazil.

Selain punya makna kultural, warna ungu juga mempunyai pengaruh psikologis pada manusia. Beberapa penelitian di bidang kesehatan, psikologi dan sastra menunjukkan pengaruh tersebut. Anderson (2008) menyampaikan, warna ini bisa mendorong kreativitas sehingga nuansa ungu sering dipakai presentasi untuk memancing daya inspirasi. Dari beberapa karya sastra best-seller (States News Service, 2011), warna ungu melambangan petualangan, imajinasi, ketrampilan dan kelucuan (Harold and the Purple Crayon karya Crockett Johnson dan The Purple Cow karya Gelett Burgess) serta perjuangan wanita dari berbagai tekanan sosial (The Color Purple karya Alice Walker). Sedangkan makna negatif selain lambang kedukaan adalah penyimpangan yang biasanya dihubungkan dengan homoseksualitas, kesombongan dan keangkuhan (Williams, 2012).

Persepsi Gender
Penelitian budaya dan warna menunjukkan bahwa persepsi terhadap warna juga dipengaruhi oleh konteks sosial. Menurut Montgomery (2012), masyarakat mengajarkan kita mengidentifikasi individu atau sekelompok orang tertentu sehingga kita bisa mengenali siapa mereka, masuk dalam kelompok apa dan terutama, status dalam masyarakat tersebut. Pengelompokkan individu ini biasanya sangat mempengaruhi persepsi berdasarkan suku, agama dan umur, termasuk gender. Sebagai contoh, warna biru dikenal untuk laki-laki dan merah muda atau pink untuk perempuan. Persepsi bahwa warna ungu adalah warna berpotensi negatif menjadi sangat kuat karena menurut konteks dan budaya Timur, ungu melambangkan kedukaan dan penderitaan. Walaupun demikian, persepsi bisa mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut dalam konteks sosial dan budaya tertentu.

Bila ungu dipercaya sebagai warna janda dan dianggap memberi pertanda buruk bagi wanita yang memakainya, ini menunjukkan adanya bias gender dalam masyarakat. Karena bias gender ini, para wanita pemakai baju ungu mengalami suatu bentuk ketidakadilan dengan pelabelan warna ungu tersebut. Mitos ini juga bentuk diskriminasi karena tidak berakibat sama terhadap pria. Melihat warna ungu yang bermakna luas sudah semestinya mitos ini diubah.

Perubahan sosial bisa terjadi dalam perubahan-perubahan nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat (Soemardjan, 2000). Internet sangat memungkinkan masyarakat dari budaya berbeda bisa saling belajar dan saling mempengaruhi. Menurut Scott-Kemmis, dengan internet yang mempermudah akses informasi, budaya Barat sudah mengadopsi pengunaan warna sesuai makna dari budaya Timur, demikian juga sebaliknya. Terjadi juga peninjauan kembali makna warna ungu di berbagai budaya dan negara. Persepsi bisa berubah dalam konteks sosial dan budaya tertentu, maka warna ungu yang bermakna negatif dan mengakibatkan bias gender terhadap wanita bisa diubah oleh masyarakat Indonesia yang sudah melek internet. Demikian juga dengan makna negatif untuk warna yang lain.

*Amelberga Vita Astuti, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, sedang studi lanjut di Monash University, Australia.

Search
Categories