Search

Yogya Tanpa Knalpot Bising

Analisis Kedaulatan Rakyat, Senin, 20 Januari 2014

Dr. Lukas S. Ispandriarno

JUDUL lengkap artikel ini ‘Tahun 2014 Yogya T anpa Knalpot Bising’. Bisakah ? Gagasan lama ini makin kuat menggumpal di benak karena pengalaman harian maupun terpaan media massa. Kita merasakan, makin hari kerap diterpa kebisingan jalanan dekat rumah, saat bertamu atau di jalan raya, dari knalpot sepeda motor macam-macam jenis dan merek.

Mulai dari motor baru dengan knalpot tak standar, bebek matik yang makin bejibun, bebek biasa yang terus berkurang, motor berselinder di atas 150 cc, motor gede, hingga motor tua berknalpot butut nan gaduh. Hampir semuanya merek Jepang rakitan Indonesia. Penunggangnya beragam, tidak diskriminatif jender ataupun etnik. Lelaki atau perempuan, Jawa (Yogya) dan luar Yogya, sama egoisnya. Penunggang terbanyak memang orang muda, anak sekolah, mahasiswa, pedagang, lalu pegawai dan militer. Ada penunggang spesial yaitu pekerja bengkel yang mengetes mesin motor, tapi saringan knalpot ikut dibuka. Meski tidak ada relasi antara mesin dengan kerasnya suara knalpot, tapi itulah kebiasaan buruk pekerja bengkel tak bermerek. Bisa diduga bengkel macam ini tak mengantongi izin gangguan, padahal keberadaannya terus menjamur dan berpraktik di sekitar permukiman.

Kegalauan semakin mendera karena hampir hampir tak ada yang peduli alias cuek bebek. Ketika bertamu di rumah tetangga dan saat itu melintas motor dengan suara amat sangat memekakkan telinga, tuan rumah cuma bergumam “Siapa sih dia?” Astaga, sebegitu permisif masyarakat kita! Sumber utama kebisingan, meminjam istilah Presiden, karena surplus kebebasan tapi defisit kepatuhan. Kebebasan dimiliki para perajin knalpot hingga menciptakan aneka model keren tapi mengeluarkan suara tidak standar. Kebebasan juga dimiliki penjual aksesoris motor dan pembeli. Bebas dan kreatif tentu boleh tapi melanggar kepatuhan mesti berhadapan dengan hukum, aturan atau etika. Sayangnya, hukum dan etika tidak dikenal perajin, penjual dan pesepeda motor dengan knalpot bising. Ajakan membebaskan Yogya dari kebisingan knalpot ditujukan kepada keluarga, komunitas, asrama, kos-kosan, juga kepada pimpinan sekolah, kampus, kantor, perusahaan, militer dan tentu para Ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Walikota hingga Gubernur. Caranya mudah.

Amati baik-baik penunggang motor setelah menghidupkan mesin, simak suara knalpot dan nyatakan, bahwa suaranya tidak lazim, tidak standar. Tak perlu pakai alat pengukur, manfaatkan saja telinga dengan cermat, niscaya bisa membedakan mana bunyi normal dan mana tidak. Beri waktu dia paling lama seminggu menormalkan suara knalpot. Bila tidak dipenuhi, silakan ambil tindakan, misalnya, mengistirahatkan motor, menghentikan uang bensin, hingga wajib memarkir motornya jauh-jauh dari tempat tinggal. Bila anda pimpinan kantor atau perusahaan, berikan cuti dengan tanggungan dia sendiri kepada pegawai dengan sepeda motor berknalpot bising sampai ia menormalkan suara knalpot motornya. Persuasi dan tindakan orang terdekat lebih manjur ketimbang pihak yang relasinya relatif jauh.
Jadi, pasal dalam UU Lalu Lintas Jalan Raya tak perlu diterapkan bila ayah, ibu, RT, pimpinan asrama, guru, direktur, bos perusahaan mau menindak mereka yang motornya berknalpot bising. Pendekatan model ini juga berlaku di komunitas atau klub motor. Bila seorang presiden klub motor sepakat dengan Presiden SBY bahwa kita kelebihan kebebasan tapi minim kepatuhan maka seimbangkanlah.

Gerakan serentak ini niscaya membebaskan Yogya dari teror knalpot bising, tak perlu menunggu hingga akhir 2014. Bupati, walikota, gubernur memberi dukungan berupa penghargaan kepada sekolah, kampung, asrama, perusahaan, lembaga, organisasi yang tidak memelihara satupun motor dengan knalpot bising. Silakan diberi award bertajuk ‘Pendukung Keistimewaan’ atau ‘The Most Honorable Citizen of Yogya Cultural City’ yang penting mereka harus diberi hadiah berupa sepeda onthel, bukan sepeda motor. Media massa tentu tetap memantau, namun keluhan warga dengan memberi julukan ‘The Most Crowded City of Yogyakarta’ ataupun ‘Yogya Berhenti Nyaman’ sudah tak ada lagi, lagi pula para jurnalis juga bersepeda motor dengan knalpot standar pabrik. (*)

Lukas S Ispandriarno

Dosen Fisip UAJY, Penggagas Komunitas Marka Jalan.

Search
Categories