Search

Bebaskan Anak-Anak dari Tayangan Kekerasan

Bernas Jogja, Selasa, 7 Mei 2013

Oleh Pupung Arifin

Fokus penggiat media di Indonesia, baik media mainstream seperti radio, surat kabar dan televisi, maupun media baru seperti internet dan segala bentuk turunannya sedang pada ranah euforia teknologi. Konvergensi media menjadi jamak sebagai wacana di banyak pendidikan tinggi ilmu komunikasi. Praktek di lapangan juga demikian adanya. Industri media massa terus melakukan penyesuaian atas perkembangan teknologi berbasis digital. Sudah tidak ada lagi media spesialis dalam konteks platform. Sebut saja media cetak di Indonesia yang sebagian besar sudah memiliki versi dotcom (website portal berita). Wartawan media online dituntut bisa melakukan reportase langsung sekaligus perekaman peristiwa dalam bentuk video.

Perhatian masyarakat seolah teralihkan oleh konvergensi ini. Lihat saja data yang dilansir oleh MarkPlus Insight, pada 2012 mayoritas pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu di dunia maya rata-rata 3 jam per hari. Dari jumlah tersebut 70% penggunanya, mengakses internet melalui smartphone. Berdasarkan data tersebut bisa disimpulkan awal bahwa internet sebagai dasar  konvergensi media memang sedang menjadi tren.

Pertanyaan, apakah memang masyarakat saat ini sudah siap menghadapi era konvergensi media? Apakah dengan 55 juta pengguna internet  menjadikan kita hanya mencurahkan energi untuk membahas internet berserta RUU Konvergensi Media yang saat ini sedang digarap draftnya. Terlebih, apakah  sudah saatnya kita melepaskan perhatian dan pengawasan industri televisi Indonesia yang dikatakan sudah aman karena ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?

Bagaimanapun media televisi saat ini masih menjadi preferensi pertama masyarakat. Dibuktikan dengan belanja iklan yang mendominasi, dengan prosentase mencapai 61% (Nielsen: 2011). Walaupun sudah tidak bisa lagi disebut sebagai media baru, dinamika industri media televisi  justru semakin menunjukkan geliatnya. Pemilik media besar di Indonesia saat ini didominasi oleh “kepemilikan” atas kanal frekuensi siaran televisi. Walaupun kata kepemilikan masih harus diberi catatan khusus karena pada prinsipnya kanal frekuensi udara yang selama ini dipakai industri penyiaran adalah milik rakyat.

Karena sifatnya yang hadir secara sukarela di rumah-rumah keluarga, tayangan televisi masih dianggap sebagai tayangan yang influental. Media dikatakan oleh McLuhan (1964) seharusnya menjadi extension of man yang seluruh kontennya ada di bawah kendali manusia itu sendiri. Premis tersebut  saat ini menjadi kenyataan, namun maknanya melenceng jauh dari yang diharapkan oleh McLuhan. Hanya sebagian manusia yang memegang kontrol konten media televisi. Sebagian manusia itu pula yang akhirnya bisa disebut memiliki kendali akan sebagian besar manusia lain.

Bulan ini masyarakat merayakan dua hari besar,  Hari Pendidikan Nasional  2 Mei dan hari Keluarga 29 Mei. Dua hari peringatan nasional tersebut bisa menjadi titik berangkat pembahasan tayangan televisi bagi pendidikan anak-anak dan peran keluarga di dalamnya.

Masih segar dalam ingatan YI – inisial seorang anak berusia delapan tahun yang tinggal di Bekasi – kejadian yang membuatnya menjadi pesakitan karena membunuh Nur Afis (6 tahun) teman sepermainannya. Mereka berpapasan ketika akan bermain di danau galian proyek pembangunan blok perumahan. Saat itu YI memaksa Nur Afis membayar hutang kepadanya sebesar seribu rupiah. Nur Afis menyanggah kalau dirinya punya hutang dan terjadilah perkelahian. YI menjerumuskan Nur Afis ke danau sedalam 80 sentimeter. Tidak berhenti sampai di situ, YI ikut terjun ke danau dan terus berupaya menenggelamkan Nur Afis. Melihat Nur Afis kehabisan nafas dan dari mulutnya keluar ludah berbusa bercampur darah, YI panik dan berupaya menyelamatkan korban dengan menekan dada untuk memicu jantung dan memberikan nafas buatan.

Polisi yang melakukan olah perkara mengatakan, dalam pemeriksaan YI mengaku mendapat inspirasi penganiyaan dari tayangan film. Memang kemudian diketahui alasan klasik kembali menyeruak. YI merupakan anak yang tumbuh dari keluarga yang tidak harmonis. Namun, tayangan media massa secara tidak langsung telah turut andil dalam hilangnya nyawa seseorang.

Lembaga pengawas media independen yang banyak mengkritisi dunia pertelevisian di Indonesia, Remotivi,  adalah salah satu yang menaruh perhatian kepada pengaruh tayangan televisi bagi anak-anak. Baru-baru ini Remotivi melansir laporan  hasil penelitian pada kurun waktu 24-30 Desember 2012 atas sinetron Si Biang Kerok Cilik (SBKC) yang tayang di stasiun SCTV. Remotivi menemukan ada 49 kekerasan fisik dan 85 kekerasan verbal pada tujuh episode yang diteliti. Kekerasan fisiknya sebagian besar tidak melibatkan alat atau senjata, misalnya memukul, meninju, mendorong, menjewer, menjambak dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan verbalnya lebih berupa hinaan, makian dan ancaman.

SBKC yang tayang pada jam premium, pukul enam sore sampai sepuluh malam memiliki asumsi disaksikan banyak anak-anak. Walaupun sinetron ini mengklasifikasikan diri sebagai tayangan untuk remaja dengan bimbingan orang tua (R-BO), namun sebagian besar tokoh dalam sinetron tersebut berada pada usia sekolah dasar. Menjadi lebih bahaya lagi, tokoh dewasa dalam sinetron SBKC ini, seperti guru dan orang tua justru ikut-ikutan menjadi agen yang melembagakan kekerasan verbal dan fisik. Tokoh dewasa yang seharusnya menjadi bagian dari fungsi media massa untuk mentransmisikan nilai-nilai moral dan etika, justru menjadi bahan tertawaan anak-anak.

Konsep Social Learning Theory yang dikemukakan Bandura (1986)  cocok untuk menjelaskan peristiwa kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan anak-anak. Setiap individu akan mengamati dan meniru segala hal yang terjadi di sekitarnya untuk kemudian menjadi standar perilakunya. Faktor kognisi, kebiasaan dan pengaruh lingkungan menjadi pembentuk perilaku manusia. Bandura (1994) kembali menekankan bahwa tindak kekerasan cenderung  lebih ditiru jika dimunculkan dengan justifikasi. Justifikasi yang kerap muncul dalam tindakan kekerasan adalah kemarahan. Riset Gerbner dkk (1994) menyimpulkan, kekerasan menjadi wajar dan dapat dimaklumi oleh penonton bila dibarengi dengan kemarahan.

Tayangan televisi akan lebih berbahaya bagi anak-anak karena Huesmann, Moise-Titus, Podolsky, dan Eron (1977 & 1992) mengatakan, tindakan kekerasan  cenderung lebih ditiru jika penonton mengidentifikasikan dirinya dengan aktor pelaku adegan kekerasan. Maka tayangan sinetron atau film anak-anak yang dibumbui kekerasan akan lebih berbahaya karena anak-anak cenderung lebih meniru karakter dalam televisi yang seumur dan berjenis kelamin sama dengan mereka.

Berkaca pada peristiwa yang terjadi pada YI dan Nur Afis, kita bisa melihat kekerasan menjadi mekanisme penyelesaian masalah seseorang. Hal ini pula  yang nampak pada hasil penelitian  Remotivi terhadap tayangan sinetron SBKC. Keadilan yang tidak bisa ditemukan dalam sebuah konflik, kemudian berujung pada penyelesaian dengan kekerasan. Perkelahian menjadi opsi dalam penyelesaian kasus yang terjadi dalam beberapa episode yang diteliti tersebut.

Figur orang tua yang diharapkan mampu memberikan contoh positif dalam kehidupan berkeluarga si anak ternyata juga gagal menjalankan perannya. Paling tidak demikian yang muncul dalam sinetron SBKC bahwa guru sebagai pemegang otoritas panutan justru tidak dihargai  anak-anak dalam karakter sinetron tersebut. Ada 23 adegan yang menunjukkan ketidakhormatan murid kepada gurunya. Guru justru melembagakan kekerasan dengan memberi hukuman fisik kepada murid yang dianggap bersalah, tanpa ada upaya dialogis sebelumnya.

Penelitian Huesmann, Moise-Titus, Podolsky, dan Eron (1977 & 1992) juga menunjukkan, terpaan konten kekerasan yang disaksikan  anak-anak pada masa kecilnya cenderung menjadi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan pada masa dewasa. Anak-anak yang cenderung melakukan imitasi tokoh atau karakter pujaan mereka di televisi beranggapan  tindakan kekerasan  oleh tokoh tersebut mendekati apa yang terjadi sehari-hari di masyarakat.

Berdasarkan peristiwa pembunuhan di Bekasi dan hasil riset  Remotivi  kita menjadi semakin paham bahwa industri televisi di Indonesia masih harus terus dikawal dan diawasi. Pembuatan sinetron dan segala bentuk tayangan televisi lainnya harus dengan tegas dibuat semata-mata demi baiknya tumbuh kembang si anak. Standar Program Siaran (SPS) Pasal 15 Ayat 1 menyatakan, program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan atau remaja. Bahkan SPS pasal 24 Ayat 1 dan 2 juga  dengan tegas melarang  adegan kasar verbal maupun non verbal menggunakan bahasa Indonesia, daerah ataupun asing.

Tindakan tegas KPI sangat diharapkan untuk  berani menegur bahkan menghentikan sementara ijin siaran program-program acara yang sarat muatan kekerasan. Pasal 10 UU Perlindungan Anak menyatakan, setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Kiranya segala regulasi yang ada, bukan hanya manis dan tegas di atas kertas, namun juga benar diterapkan di kehidupan sehari-hari.

*Pupung Arifin, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Search
Categories