Search

Lagi, Anak dan Tayangan Kekerasan di Televisi

Bernas Jogja, Selasa, 14 Mei 2013

Oleh Amelberga Vita Astuti

Sinetron “Si Biang Kerok Cilik” di SCTV ramai diperbincangkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta stasiun televisi menghentikan tayangan yang mengajarkan kekerasan pada anak (AntaraNews, 26/4).

Di negeri ini televisi masih merupakan media hiburan utama yang digunakan anak-anak selain game, komputer dan internet (Hendriyani dkk, 2012). Maka,  tayangan kekerasan dalam acara televisi sungguh mengkhawatirkan. Apalagi bila tayangan tersebut muncul dalam program untuk anak. Biasanya program ini dalam bentuk sinetron tentang anak atau program lain, seperti berita dan reality show, yang ditayangkan pada jam tertentu ketika anak-anak masih memungkinkan menonton. Lalu, bagaimana pengaruh tayangan kekerasan ini pada anak-anak? Bagaimana negara lain menanggapi hal ini?

Program hiburan dan berita

Kekerasan bisa dibagi dalam dua kategori besar,  kekerasan fisik dan verbal. Dalam tayangan televisi, kita bisa menemukan kekerasan fisik yang terlihat dalam bentuk pukulan, tendangan dan tindakan fisik yang menyakitkan bahkan melukai orang lain. Kekerasan verbal muncul ketika seseorang marah-marah atau mengucapkan kata-kata kasar dan bentuk dialog lain yang menimbulkan perasaan negatif.

Tayangan program hiburan anak yang menunjukkan kekerasan hadir dalam bentuk sinetron atau kartun. Yang marak dibicarakan  pemerhati televisi saat ini adalah tayangan sinetron “Si Biang Kerok Cilik” di SCTV. Nurvina Alifa dari Remotivi melaporkan pantauan pada tujuh episode di bulan Desember 2012. Sinetron ini menayangkan murid-murid yang menertawakan gurunya, bahkan gurunya sendiri juga melakukan tindakan kekerasan dalam memberi hukuman (Remotivi, 24/4 dan Tabloid Bintang, 25/4).

Program kartun Crayon Sinchan dan Spongebob sebagai tontonan anak-anak cukup banyak memperlihatkan tayangan kekerasan (Atin Yakutin, 2011). Dalam Crayon Sinchan, kekerasan verbal muncul dalam bentuk ejekan yang dilakukan  teman Sinchan. Lebih parah lagi, pernah ada adegan ibu Sinchan  memukul kepala Sinchan. Figur ibu yang seharusnya menjadi contoh perilaku baik orang dewasa telah dirusak dengan tayangan ini. Spongebob sebenarnya tontonan yang kurang cocok untuk anak-anak karena kepolosannya.Terlebih lagi posisinya yang selalu menjadi korban bullying melibatkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh karakter lain. Misalnya, ketika Spongebob dicapit oleh Mister Crab, juga ketika diejek dan ditendang teman baiknya, Patrick. Hubungan pekerjaan  dan persahabatan yang diwujudkan dalam tindak kekerasan sungguh bukan inspirasi yang bagus buat anak-anak.

Selain program hiburan, acara berita juga menarik perhatian anak-anak sebagai tontonan televisi. Program berita dan reality show adalah program yang seharusnya mendapat perhatian serius dalam tayangannya karena bobot fakta yang dipercaya kejadiannya oleh publik (anak-anak)  yang masih terbatas pemahamannya. Tayangan kekerasan yang kerap muncul adalah berita kriminal yang sering diulas dengan lebih mendalam dan rinci. Breaking Newspun sering menampilkan gambar-gambar yang berhubungan dengan kekerasan. Tambahan lagi, banyaknya stasiun televisi membuat persaingan untuk menyajikan tayangan yang istimewa dan ekslusif yang akhirnya melupakan pentingnya menghindari tayangan kekerasan.

Reality show, yang artinya menyajikan kejadian nyata, sering dalam episodenya menghadirkan  tayangan kekerasan. Entah akhirnya menjadi adegan rekayasa atau tidak, kekerasan fisik dan verbal selalu hadir sehingga menuai protes publik dan menjadi perhatian KPI. Salah satu protes ditujukan pada reality show “Tukar Nasib” di Indosiar.  Episode  Minggu (21/4) menampilkan adegan marah-marah karena pesanan yang salah dan orang tersebut membanting barang di depan anak kecil di bawah umur (Epriliana, 2013).

Pengaruh pada anak

Masa anak-anak adalah usia yang labil dan dalam proses pencarian identitas diri sehingga sikap meniru menempati porsi tertinggi dalam kehidupan mereka (Marwan, 2008). Dengan melihat tayangan kekerasan di program hiburan dan berita, anak-anak cenderung menganggap tindakan itu patut ditiru bila tidak ada pendampingan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Namun karena kesibukan orang tua, kadang anak-anak dibiarkan menonton sendirian dengan kekuasan penuh atas remote yang membebaskan mereka memilih saluran.  Berdasarkan teori pembelajaran sosial, anak belajar melalui pengamatan dan permodelan, yang ditawarkan  gratis oleh televisi.

Penelitian di Inggris (Hough dan Erwin, 1997) menunjukkan,  menonton kekerasan di televisi meningkatkan sifat agresif pada anak. Selain tindakan meniru, penelitian ini juga menemukan, anak-anak yang menonton kekerasan akan kehilangan rasa nyaman dan aman, selalu curiga dan tidak percaya diri. Selain itu tayangan kekerasan bisa membentuk perilaku stereotip anak pada kelompok masyarakat tertentu.

Beberapa kasus pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada anak sudah ditemukan di Indonesia. Seorang anak berumur delapan tahun melempar gelas dan piring karena mencontoh ulah Joshua dalam sinetron “Anak Ajaib” (Intisari, 2005). Di tahun 2006, seorang anak tewas di Bandung karena mempraktekkan program televisi Smackdown. Anak usia 12 tahun meninggal diduga karena mempraktekkan trik sulap yang ada di televisi (Kompas, 2009). Kasus-kasus ini sebatas gunung es, hanya sedikit yang terpublikasi. Kejadian dalam masyarakat sehari-hari pasti banyak yang belum terungkap.

Program televisi di negara lain

Di Indonesia stasiun televisi khusus untuk anak hanya ditemukan di saluran TV kabel berbayar. Para keluarga di Australia beruntung karena ada stasiun televisi nasional untuk anak yang bisa ditonton gratis. Pada tahun 2009, The Australian Broadcasting Coorporation(ABC), mendirikan stasiun televisi khusus untuk anak bernama ABC3 untuk usia 6-15 tahun dan ABC4Kids untuk usia pra-sekolah. Jenis acaranya beragam, dari komedi sampai sejarah. Anak-anak bisa menonton saluran ini dengan aman karena aturan program televisi di Australia sangat ketat, hanya mengijinkan tayangan untuk anak berdasarkan klasifikasi Bimbingan Orang tua (Parental Guidance) dan Semua Umur (General)  saja.

Aturan penayangan dengan kategori BO dan SU juga berlaku pada jam keluarga bagi saluran televisi umum yang lain di Australia, termasuk di Inggris, Amerika dan Eropa. Negara-negara ini juga menyediakan fasilitas parental lock atau parental censorship dalam mesin khusus yang dihubungkan dengan televisi. Namun fasilitas ini bukan solusi terbaik karena anak-anak bisa pergi menonton televisi di rumah teman atau berusaha mengubah mesin ketika orang tua tidak di rumah.

Ketika orang tua tidak berdaya dengan bombardir  tayangan kekerasan di televisi, terutama dalam program anak, dan fasilitas sensor tidak cukup membantu, peran masyarakat yang menanggapi tayangan ini dan mengangkatnya menjadi bahan diskusi sangat penting. Adanya LSM, seperti Remotivi, dan website yang menerima pengaduan masyarakat untuk diteruskan ke KPI diharapkan bisa mengurangi tayangan yang tidak mendidik. Selain itu, pihak orang tua bisa memberi pemahaman langsung pada anak-anak tentang kekerasan yang tidak sengaja ditonton. Metode ini bisa menjadi ajang pembelajaran anak-anak untuk berpikir kritis terhadap tayangan yang mendidik bagi mereka sendiri. Pihak sekolah juga bisa memberi ruang diskusi di kelas tentang program televisi yang bisa mendukung perkembangan kognitif. Anak-anakpun lebih percaya diri dalam memilih tayangan yang baik bagi mereka sendiri.

Amelberga Vita Astuti, dosen Prodi  Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, sedang belajar di School of English, Communications and Performance Studies Faculty of Arts Monash University.

Search
Categories