Search

Pertaruhan Etika Jurnalistik di Era Media Siber

Bernas Jogja, Selasa 21 Februari 2012

Oleh Pupung Arifin

Pengesahan Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) oleh Dewan Pers dan Komunitas Pers (Jumat, 3/2/2012) menjadi jawaban Dewan Pers atas kemajuan teknologi informasi dan media massa di Indonesia. Lahirnya pedoman ini dapat dimaknai sebagai pra regulasi baru terkait konten digital media siber yang muncul dengan berbagai bentuk dan format.

Munculnya pedoman ini menarik pula bila dikaitkan dengan proses penyusunan RUU Konvergensi Media yang sedang digodok oleh pemerintah bersama praktisi media dan kalangan akademisi. RUU ini pada hakekatnya sebagai bentuk penggabungan antara UU Penyiaran, UU Telekomunikasi, UU Pers dan UU Perfilman. Akan menjadi lebih lengkap bila Pedoman Pemberitaan Media Siber ini menjadi salah satu bahan kajian pertimbangan. Apalagi, konsep konvergensi tentu tidak bisa dilepaskan dari dunia siber sebagai mediumnya.

Sasaran utama penyusunan pedoman pemberitaan media siber ini untuk mengembalikan roh jurnalistik dalam konten media massa siber. Bukan rahasia lagi, kekhawatiran besar yang dirasakan oleh regulator media bahwa semakin mudahnya penulisan dan beragamnya saluran media siber maka karakter dan kaidah penulisan jurnalistik akan makin dianggap tidak penting oleh banyak pihak, termasuk praktisi media itu sendiri.

Jurnalisme media siber dan etika

Setidaknya ada tiga pertanyaan penting terkait maraknya media siber. Pertama, masih relevankah ketika etika jurnalisme yang dibuat sejak euphoria industri media konvensional (printed media) dihadapkan dengan era media siber yang batasannya sudah tidak jelas lagi?  Menurut Ward (2009), konvergensi media mengubah budaya media massa saat ini menjadi layered journalism. Media cetak mau tak mau harus mengikuti perkembangan teknologi. Contoh paling nyata bisa dilihat dari Kompas, Media Indonesia, Tempo, Jawa Pos dan lain-lain yang membuat portal berita online. Pionir portal berita online di Indonesia, detik.com pun menelurkan inovasi baru yaitu membuat e-newspaper dan e-magazine, mengikuti tren maraknya tablet PC.

Kedua, siapakah yang disebut jurnalis? Saat ini siapapun bisa menjadi produsen berita. Seseorang bisa mengunggah artikel di blog, status di akun jejaring sosial, atau video di situs berbagi video. Semua itu bisa dianggap berita, seperti kejadian yang dialami rekan saya setahun lalu. Rekan ini sedang dalam perjalanan kereta api malam kelas bisnis dari Jakarta menuju Semarang untuk menghadiri pesta pernikahan kakak kelas kami di SMA. Kejadian bermula ketika kereta sedang berhenti di sebuah stasiun kecil di luar kota Tegal, karena bersimpangan dengan kereta lain. Ketika itu waktu menunjukkan pukul 02.00. Tiba-tiba seluruh penumpang dikagetkan dengan suara dan hentakan benturan sangat keras dari arah belakang kereta.

Belakangan diketahui kereta yang ditumpangi rekan ini ditabrak kereta lain dari arah belakang. Kereta yang menabrak tersebut salah mengambil jalur lintasan kereta api. Puji Tuhan dia tidak mengalami luka parah. Tak seperti penumpang selamat lain yang langsung mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang, dia memilih tetap tinggal di lokasi sembari menolong korban yang luka-luka parah. Sembari melakukan pertolongan, dia terus meng-update informasi kejadian kecelakaan kereta tersebut melalui Twitter dan menyertakan beberapa gambar di tempat kejadian perkara (TKP).

Karena lokasi kejadian yang berada di daerah pedesaan serta waktu kejadian dini hari, ketika itu belum ada media yang meliput ke lokasi. Alhasil, dalam beberapa waktu setelah kejadian, follower akun Twitternya langsung melonjak tajam, bahkan nyaris menyentuh angka 1.000 follower. Postingan soal kejadian kecelakaan yang terus diunggah ke akun Twitter-nya menjadi “berita” yang dinanti banyak pihak.

Berdasarkan peristiwa yang dialami rekan saya ini, dapat kita pahami bahwa dunia media massa saat ini sudah tidak lagi menjadi hak eksklusif wartawan. Siapapun bisa menjadi produsen berita, entah berita yang sesuai fakta dan akurat, atau hanya berita yang patut dipertanyakan reliabilitasnya.

Ketiga, akan dibawa ke mana etika jurnalisme di tengah perkembangan era multimedia dan jurnalisme global?

Meta ethics vs applied ethics

Kita perlu menelaah lebih jauh terkait konsep etika itu sendiri. Masyarakat Indonesia sendiri masih kerap melihat etika lebih dalam bentuk meta ethics, etika dalam tataran yang kurang kongkret. Etika abu-abu itu sudah menjadi panduan di dalam berbagai regulasi profesi, termasuk UU Pokok Pers. Tidak ada penjelasan lebih detail terkait isi dalam UU tersebut, sehingga rawan disalahartikan oleh banyak pihak.

Etika yang lebih bermanfaat adalah etika kongkret yang lebih aplikatif dengan redaksional yang lebih jelas. Bahkan etika yang baik tidak perlu ditulis atau ekstrimnya tidak perlu disahkan secara tertulis di dalam undang-undang. Applied ethics harus tertanam baik di dalam benak pikiran masyarakat sehingga memiliki kepekaan yang baik mengenai mana yang baik dan kurang baik; mana yang layak ditampilkan ataupun tidak. Terlebih mana yang bermanfaat bagi masyarakat luas atau tidak.

Sayangnya kepekaan seperti ini masih langka. Masyarakat masih memiliki konsepsi etika yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga akan kerap terjadi benturan diantara pemahaman masing-masing orang. Dewan Pers juga tidak bisa berdiam diri dengan hanya bermain aman dengan lebih mengambil peran sebagai mediator antara pihak yang berkonflik terkait pemberitaan pers.

RPM konten multimedia dan literasi

Dewan Pers harus kembali pada fitrahnya untuk bisa lebih tegas dan berani dalam mengawal regulasi dan etika media. Langkah nyata yang bisa dilakukan oleh Dewan Pers adalah mengambil alih penyusunan Rencana Peraturan Menteri (RPM) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang Konten Multimedia. RPM ini terus menuai kecaman publik karena memiliki pasal yang dianggap akan mengekang kebebasan berekspresi di ranah maya. Wajar saja, karena RPM ini disusun oleh birokrat yang berorientasi pada tindakan represif dan reaktif dan bukan atas semangat preventif dan visioner. Kebijakan yang dibuat oleh birokrat kita memang dibuat tanpa peraturan payung yang membawahi peraturan tururan di bawahnya.

Peran Dewan Pers untuk ikut mengambil peran dalam penyusunan regulasi terkait Konten Multimedia menjadi strategis dan sentral dalam kaitannya dengan pedoman pemberitaan media siber yang sudah disahkan tersebut. Regulasi Konten Multimedia diharapkan mampu menjadi contoh awal sebuah regulasi dibuat berangkat dari semangat untuk melindungi dan mengedukasi penggunanya, dan bukan mengekang kebebasan produsennya. Hal ini menjadi penting bila masyarakat sebagai pengguna sekaligus produsen produk jurnalistik ingin mulai dirangsang kesadarannya mengenai applied ethics yang sudah dibahas di awal.

Masyarakat sebagai penyerap dan konsumen dari produk-produk jurnalime, saat ini masih belum menjadi fokus perhatian utama dalam setiap pembuatan kebijakan. Produk regulasi lebih banyak berfokus untuk melindungi para pelaku media dari ancaman hukum pihak luar media yang secara otomatis akan mengatur pedoman perilaku kinerja pers. Namun para pembuat regulator terkesan abai kepada masyarakat sebagai konsumen akhir sebuah produk jurnalisme.

Literasi media menjadi penting terutama edukasi dalam mengkonsumsi dan memanfaatkan konten media secara bijak. Jangan sampai masyarakat memanfaatkan media siber dengan sembarangan, termasuk fenomena cyber bullying yang semakin meresahkan. Misalnya, kasus kecelakaan mobil di daerah Tugu Tani, Jakarta yang menewaskan belasan orang. Sang pelaku kemudian kerap dicaci habis-habisan secara bebas di media sosial tanpa memperhatikan kondisi psikologis yang bersangkutan dan keluarganya.

Kita berharap, dengan masyarakat paham tentang pemanfaatan media siber, maka regulasi yang dibuat kemudian oleh regulator media akan lebih mudah dipahami dan dilaksanakan. Literasi media tidak bisa berjalan sendiri tanpa dikawal oleh regulasi terkait jurnalisme media siber yang tidak bersikap reaktif terhadap perkembangan teknologi namun tetap mengawal roh jurnalisme pada jalurnya. Regulasi yang harus menggunakan kacamata perlindungan masyarakat sebagai pengguna sekaligus konsumen konten media siber. ***

Pupung Arifin, dosen Program Studi Ilmu KomunikasiUniversitas Atma Jaya Yogyakarta

Search
Categories