Search

Selamat Jalan Sang Jurnalis Cerdas!

Femi Adiningsih bisa dibilang seorang jurnalis-cum-aktivis. Ketika sekolah di SMA Van Lith Muntilan, ia kena drop out (DO), antara lain karena aktivitas dan sikap kritisnya menentang kebijakan-kebijakan sekolah, termasuk membolos sekolah untuk ikut demonstrasi di Jogja.

Sebagai mahasiswa baru Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, angkatan 1999, tulisan Femi Adiningsih telah muncul sebagai Epilog buku berjudul “Belajar untuk Hidup” yang diterbitkan oleh Unit Penerbitan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selama bergabung di SKM PASTI, ia terlibat dalam sejumlah liputan, termasuk menulis buku Menulis Mengubah Dunia, sebuah buku panduan pelatihan jurnalistik pers mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Berikut tulisan Femi di Epilog buku Belajar untuk Hidup:

Epilog

Sebuah Catatan Kecil

Oleh: Femi Adi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP angkatan 1999/2000

 

OSPeK hari pertama.

Cukup melelahkan juga dengan jadual yang bikin saya kelabakan. Kaget. Saya baca buku ini. Nggak sekadar baca, tapi saya menemukan satu red line dari ‘orang besar’ macam mereka. Hmmm… mungkin mereka nggak mau dibilang ‘orang besar’. Memang mereka terlalu merendah, seperti debu. Tapi mereka punya nilai, visi yang menghargai wong cilik. Karena itulah saya sebut mereka ‘orang besar’.

Bondan Nusantara, misalnya. Dia omong, “Diumpamakan sebuah rumah adalah negeri. Saya menyumbang satu batu bata saja sudah cukup. Saya tidak ingin menyumbang pintu atau jendela. Satu batu bata saja sudah cukup buat saya, karena saya hanya bisa menyumbang itu. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain saya belum ada apa-apanya. Saya nyumbang  satu bata saja sudah semampu saya, koq.”

Fred Wibowo berkata, “Aneh, kan? Perempuan! Karena saya dipersembahkan oleh ayah saya yang Katholiknya nyethek, dalam arti konvensional. Saya memahami realitas kejawaan dan spiritualitas, dalam konteks saya sendiri. Maka sulit ditafsirkan apakah saya seperti orang Katolik yang lain. Karena apresiasi dan kreativitas pribadi itu sangat menjiwai diri saya sendiri atau karena saya dekat dengan alam dan lain sebagainya.”

Sedangkan saya bilang, “… !“ Ah, enggak ah. Saya nggak bisa bilang apa-apa. Saya masih terlalu ingusan untuk bisa berkata-kata banyak tentang pengalaman hidup. Tentang hasil-hasil keringat yang bisa dibanggakan, juga tentang impian-impian. Saya juga masih terlalu pagi untuk memuntahkan petuah- petuah bijak.

Saya bukan tokoh yang sekali bicara bisa menggemparkan seisi dunia. Bukan pula selebriti yang kesana kemari selalu dibuntuti. Saya hanya cewek lulusan SMU—itu pun harus saya tempuh dalam waktu empat tahun!—yang belum ngerti apa-apa tentang hidup. Hidup mereka adalah hidup mereka, dan hidup saya adalah hidup saya. Dan, saya akan belajar untuk hidup dan mereka.

Saya pengin memulai belajar untuk hidup dari kampus ini. Tempat, di mana saya bisa berangkat dan kebebasan jiwa dan menolak pengekangan. Saya juga pengin bisa melintasi mitos-mitos yang nggak tentu. Kan banyak yang percaya dengan mitos, bahwa dengan pengetahuan kita akan bisa menguasai dunia. Tapi buat saya, pengetahuan bisa membebaskan dunia. Minimal bisa membebaskan diri saya.

Saya nggak ngerti, kejadian apa aja yang bakal saya alami dalam empat-lima tahun ke depan ini. Mungkin yang terjadi pada Butet Kartaredjasa—yang jebol di tengah jalan—bakal juga terjadi pada saya. Bisa juga yang terjadi pada Aristides Katoppo yang bosen dengan kuliah, lalu memilih jadi wartawan. Semuanya belum pasti, kan?!

Kadang kalau dipikir-pikir, saya juga pengin jadi seperti Tuhan yang ngerti apa yang bakal terjadi pada-Nya besok pagi! Tapi, paling enggak, saya bisa meramal kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Mungkin semester satu saya bakal shock dengan sistem kuliyah yang baru. Mungkin semester empat saya bakal bisa nyambi kuliyah sambil kerja. Mungkin juga nanti semester tujuh saya drop out … Siapa tahu? Ya itu semua rahasia langit!!!

***

OSPEK kedua udah saya lewati.

Lumayan, punya banyak kawan baru. Hari ini lebih capek dan yang kemarin. Mengerikan! Tapi tetap ada yang saya dapat hari ini walau cuma bermain-main di alam pikir: demonstrasi!

Generasi satu tahun yang lalu, mahasiswa boleh bangga. Mahasiswa jadi garda terdepan saat menggoyangkan rezim kapitalistik militeristik yang bernama ‘Orde Baru’. Dan kemudian rezim ini roboh. Heroik memang, sekaligus menyedihkan. Ada mahasiswa yang cedera, kena luka tembak, bahkan mati. Walo ada yang mesti jadi tumbal laler ijo alias militer, tapi penjuangan mereka toh nggak sia-sia. Banyak orang yang berdecak kagum dengan ‘Tim Sukses ngerobohin Soeharto’ (mahasiswa) yang dengan satu nyanyian “Gantung, gantung, gantung Soeharto! Gantung Soeharto di Silang Monas!”, bisa lengser seketika.

Kadang saya bermimpi bisa seheroik mahasiswa saat itu. Paling enggak, bisa ada cerita buat anak cucu besok. Angkatan saya nanti, ada apa? Goyangan SU MPR yang bakal deadlock ‘kali ‘ye! Atau mungkin Indonesia bakal perang, dan keheroikan itu barangkali akan saya dapat ketika Indonesia tenggelam.

Tapi kan kita sedang nggak lagi cari hero. Kita sedang lagi cari format —yang kata orang—masyarakat madani, atau format masyarakat intelektual atau format Indonesia baru. Masalah mahasiswa angkatan ‘99 bakal jadi hero atau enggak, itu urusan kemudian.

Indonesia punya Adam Malik, Bondan Nusantara, Operasi Rachman… dan banyak lagi yang lain. Indonesia ternyata kaya dengan orang-orang yang option for the poor—katanya UAJY juga, ya? Tapi sekadar ‘katanya’ lho! !—dan punya visi yang sip buat membangun sebuah kawah yang bernama ‘Indonesia’ ini.

Di belahan dunia yang lain, ada juga. Tengok saja Louis Mountbatten yang masih terhitung keturunan Kaisar Charlemagne. Ketika ia ditawari PM Churchil menjadi Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, ia menjawab tawaran itu dengan merendah. “Saya menderita kelemahan sejak lahir. Saya selalu punya anggapan, saya bisa melakukan apa saja.” Atau Gandhi, seperti dikatakan oleh pengarang Freedom of Midnight. Cita-cita Gandhi tentang cara hidup adalah sebuah cita-cita yang sempurna untuk manusia yang tak sempurna.

Dan kita, kamu dan saya, bisa memetik sedikit pelajaran tentang ‘generasi’ dan cerita Homerus, penyair Yunani kuno dalam Iliad “Sebagaimana generasi daun-daun, begitulah generasi manusia: suatu ketika angin mengguncang daunan hingga rontok ke tanah, tapi kemudian hutan yang rimbun melahirkan daun dan musim semi hadir Begitulah generasi manusia, yang berganti-ganti oleh datang dan pergi.”

Begitulah. Ada masa yang melahirkan Ernesto ‘Che’ Guevara di Kuba. Ada pula masa yang melahirkan Karl Marx di Jerman. Dan kemarin sore, Indonesia melahirkan Emanuel Subangun. Hari ini siapa yang dilahirkan lagi? Mungkin kamu, mungkin dia dan juga mungkin saya.

***

Okley! OSPEK udah finish!

Hari ini saya cuma mikir satu aja: saya nggak pengin hanya jadi ‘produk’ kampus ini yang nggak bernilai. Tiga puluh tahun yang akan datang, generasi Cornelis Lay akan rapuh, tapi juga sekaligus menjadi lebih berarti. Pada masa itu generasi saya akan lahir, bangkit dan ‘ada’ dengan semangat yang baru yang rendah hati bagai debu.

Dosen boleh mengajar Filsafat Ilmu Pengetahuan, Mekanika Teknik atau Ekonomi Makro, di ruang kuliah. Tapi bekal untuk ‘jadi orang’ bukanlah itu. Bukan segepok teori mati dan setumpuk rumus-rumus yang nggak berdaya. Yang lebih penting adalah proses jungkir balik kita di luar mata kuliah-mata kuliah itu.

KKN boleh ditanggalkan dari kurikulum. Yang penting ialah, bahwa kampus menjadi pijakan awal untuk ‘mencari’ dan membebaskan diri, menelanjangi pengetahuan dan memperkosa pendidikan. Kampus menjadi sebuah institusi pemberi ilham. Nantinya kampus nggak bisa menentukan gagal enggaknya hidup saya dan ia nggak berhak menjadi perumus masa depan saya.

Ada pepatah-petitih bilang, ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian….’ Salah satu kelinci eksperimennya adalah Gatotkaca yang harus digodhog di Kawah Candradimuka. Nggak ada sihir sim salabim yang tiba-tiba saya ‘jebrol’… jadi orang begitu aja tanpa bersusah payah berakrobat dengan hidup. Sampai nanti akhirnya kita akan bilang—seperti penyair Pablo Neruda bilang: Kok, aku capek jadi manusia. Secede que me canso de ser hombre.

***

Gedubrak! Saya terbangun dan tidur. Ya, ampun. Mimpi apa saya semalam? Bajigur, saya ikut OSPeK. Ternyata dalam mimpi. Hah!? Sudah jam 05.23. Gila, saya baru mau di-OSPeK  hari ini. Celaka! Saya kesiangan. Aku dihukum! Disuruh push up 20 kali!!!

Kali ini bukan mimpi…

 

 

Search
Categories