Bernas Jogja, Selasa 6 Maret 2012
Oleh Dhyah Ayu Retno Widyastuti
Kasus hukum yang melibatkan perempuan seiring waktu berjalan semakin bertambah jumlahnya. Berawal dari cerita Artalyta Suryani, seorang perempuan pengusaha yang terlibat dalam penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Perempuan yang dikenal dengan panggilan Ayin dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung dan menyebabkan mundur atau dipecatnya beberapa pejabat negara.
Selanjutnya, siapa yang tidak kenal nama Sri Mulyani Indrawati? Seorang perempuan yang masuk dalam daftar seratus (100) perempuan paling berpengaruh di Asia oleh Singapore Institute of International Affairs (SIIA) pada 2008. Perannya dalam memperbaiki performance ekonomi Indonesia membawanya pada posisi ke-23. Penghargaan itu mengantarkan pada beberapa penghargaan lain yaitu dipercaya menjadi anggota Komite Reformasi Internal IMF dan disusul pemberian Bung Hatta Anticorruption Award (BHACA).
Namun pada tahun 2009 citra positif yang terbangun dalam diri Sri Mulyani mulai diragukan publik terkait dengan terbongkarnya megaskandal dana talangan untuk Bank Century. Kebijakan Sri Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) masa itu, dalam pemberian bail out atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century, yang jelas sudah dinyatakan sebagai bank gagal hingga Rp 6,7 triliun dianggap sebagai tindak pidana. Tindakan yang selanjutnya membawa Sri Mulyani ke dalam kasus hukum. Meskipun hingga 2012 ini kelanjutan penanganan kasus hukum Bank Century belum bisa dipastikan kejelasannya, namun kasus ini telah berimplikasi pada ketidakpercayaan publik dengan komitmen Sri Mulyani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I tahun 2005.
April 2010 perempuan ini resmi mengundurkan diri dari jajaran kabinet kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun performance dan kapabilitasnya tidak diragukan oleh Bank Dunia terbukti dengan penunjukkan dirinya sebagai orang nomor dua di lembaga tersebut. Perempuan kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962 ini hingga saat ini menduduki posisi managing director Bank Dunia.
Perempuan selanjutnya yang menyusul dalam keterlibatan kasus hukum adalah Angelina Patricia Pingkan Sondakh. Kasus yang melibatkan puteri Indonesia 2001 ini hingga sekarang masih hangat dibicarakan dan disorot oleh berbagai media. Kepiawaian di kancah politik pun membawa perempuan yang akrab dengan sapaan Angie ini duduk di kursi legislatif pasca pemilu 2004. Ketenaran atas prestasi yang ia raih pun pudar sejak tersangka korupsi Wisma Atlet M. Nazaruddin, menyeret sejumlah nama, termasuk dirinya. Ia pun diminta memberi kesaksian di depan pengadilan, namun kesaksiannya diragukan, termasuk keterangan Angie yang mengatakan belum memiliki BlackBerry ketika berkomunikasi dengan Rosa. Padahal sesuai bukti-bukti, pada 2009 perempuan kelahiran Australia, 28 Desember 1977 ini sudah memiliki BB tipe Bold 9000.
Perpektif Feminis
Realitas di atas menggambarkan kondisi perempuan dari waktu ke waktu. Bagaimana perempuan berusaha mengaktualisasikan diri, mengisi peluang di area publik, berjuang di meja pengadilan demi kebebasannya untuk lepas dari jeratan hukum? Itulah realitas perempuan yang selanjutnya menggelitik untuk diulas dari kajian feminis.
Teori feminis liberal mengungkap adanya stereotype bahwa perempuan itu lemah dan hanya cocok untuk urusan keluarga. Penganut feminis liberal berpandangan bahwa perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Realitasnya, perempuan mampu mengekspresikan potensi dan kapabilitasnya di ranah publik. Perempuan memiliki kapasitas dalam memangku jabatan dalam perusahaan, memiliki sumber daya ekonomi seperti Artalyta Suryani, menduduki posisi penting di institusi internasional seperti Sri Mulyani. Hal ini berarti stereotype tersebut mengalami pergeseran. Perubahan yang menjadi tuntutan kaum feminis liberal mampu direalisasikan dengan keterlibatan perempuan dalam posisi sebagai pengambil kebijakan publik.
Kondisi lain terjadi ketika posisi maupun kiprah perempuan di ranah politik (formal) di Indonesia masih rendah. Affirmative action berupa kuota 30 persen perempuan di legislatif (UU Pemilu 2003) sebagai salah satu kesuksesan aksi politik gerakan perempuan tetap diperjuangkan pada pemilu 2009. Salah satu wujudnya adalah keterlibatan sejumlah perempuan di legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) meskipun tetap belum mencapai 30%. Termasuk dalam angka ini adalah keterlibatan Angelina Sondakh. Ia mampu menjadi wakil rakyat (wakil bagi perempuan lain), sementara dalam pandangan feminis liberal, perempuan cenderung berada di dalam negara (pemerintah) sebatas sebagai warga negara bukan sebagai pemangku atau pembuat kebijakan.
Realitas ini menggambarkan bagaimana perempuan mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Selanjutnya, perempuan harus mempersiapkan diri agar bisa berkompetisi di ranah publik. Ini adalah wujud kesetaraan gender di mana terdapat kesetaraan peran dan status sosial perempuan dan laki-laki di masyarakat. Figur perempuan seperti itu dapat menjadi cermin bagi perempuan yang lain untuk berjuang meningkatkan kapasitasnya di ruang publik.
Public Figure Perempuan?
Bila kita melihat dari sudut pandang berbeda tentunya terdapat pemaknaan yang berbeda pula. Benarkah kasus dan persoalan perempuan sebagaimana tergambar di atas tetap menempatkan cerminan perempuan sebagai seorang public figure? Public figure merupakan gambaran seorang yang telah mencapai tingkat ketenaran tertentu di ruang publik atas prestasi dan penghargaan yang diterimanya.
Menarik memang ketika menggali lebih jauh persoalan yang dialami perempuan. Kasus yang melibatkan perempuan masih tetap memunculkan pertanyaan, apakah perempuan menjadi pelaku utama atau justru korban utama. Terlepas dari benar atau salah, terlibat atau tidak, namun realitas yang muncul di berbagai media adalah bukan lagi citra positif perempuan yang terlihat, namun sebaliknya. Bahkan justru citra merugikan yang tertanam di benak masyarakat.
Pertama, Artalyta Suryani, cenderung diingat sebagai “Ratu Suap”, seorang perempuan yang terlibat kasus BLBI. Kedua, nama Sri Mulyani lebih familiar dalam kasus Bank Century yang tak kunjung selesai. Padahal fakta masih menyisakan sejumlah cerita yang seharusnya menjadi wacana bagi perempuan lain. Bagaimana sosok perempuan dengan kegigihan berjuang untuk tetap eksis di ruang publik hingga berakhir dengan posisi yang tetap bisa menjadi penguat citra positif perempuan, manajer Bank Dunia. Media asing memberi julukan Sri Mulyani sebagai “Indonesia’s hardliner”. Ketiga, Angelina Sondakh bukan lagi dikenal sebagai “Putri Indonesia” namun sebagai “Putri Pembohong Indonesia tahun 2012”. Kesaksian yang diberikan di pengadilan justru berdampak negatif pada nama baiknya. Sebuah realitas yang berbanding terbalik dengan perjuangan perempuan sebagaimana di awal. Perempuan yang memiliki potensi dan kapabilitas di ruang publik kini kredibilitasnya dipertanyakan sebagian besar masyarakat, bahkan tidak jarang ia dihujat. Figur perempuan yang mampu mempersuasi perempuan dalam mencapai dan meningkatkan kapasitas perempuan di ruang publik perlahan-lahan mengalami kemunduran.
Tentu realitas dan kasus perempuan yang terjadi hingga saat ini bukanlah pemicu memudarnya kepercayaan perempuan kepada public figure perempuan, tetapi menjadi suatu pijakan untuk proses ke depan yang lebih baik.***
Dhyah Ayu Retno Widyastuti, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta