Lagi, Revisi Undang-Undang Penyiaran

Bernas Jogja, Selasa 27 Maret 2012

Oleh Bonaventura S. Bharata

Bulan Maret 2012 perhatian masyarakat disibukkan oleh  rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) awal April.  Sontak rencana ini mendapatkan reaksi beragam dari elemen-elemen kemasyarakatan di Indonesia. Sebagian besar terlihat menolak rencana tersebut, namun terdapat pula pihak-pihak yang mendukung. Lepas dari realitas pro kontra kenaikan harga BBM penulis mencermati adanya satu permasalahan penting yang terselip, yang sebenarnya dapat berpengaruh pada kehidupan orang banyak. Permasalahan tersebut adalah rencana revisi Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 (UU Penyiaran).

Bila dicermati seksama, pemberitaan rencana revisi UU Penyiaran kalah ekspos dengan pemberitaan rencana kenaikan harga BBM. Bahkan kalah pula eksposure-nya bila dibandingkan maraknya berita Korupsi Wisma Atlet yang melibatkan Partai Demokrat dan kasus korupsi PNS muda di Direktorat Jenderal Pajak. Namun bila publik luput mencermati perkembangan ini, pengaruhnya tidak kalah menggegerkan dengan rencana kenaikan harga BBM, kasus korupsi Wisma Atlet, dan kasus korupsi PNS muda. Disadari atau tidak, eksistensi penyiaran mampu mempengaruhi kehidupan orang banyak (publik). Dari sisi pemanfaatan teknologi, penyiaran menggunakan saluran frekuensi atau gelombang elektromagnetik di ranah publik. Karenanya publik harusnya memberikan perhatian serius  pada masalah ini.

Rencana revisi UU Penyiaran sebenarnya bukan pembicaraan baru. Beberapa tahun terakhir, hal ini sudah ramai diperbincangkan. Pada awal Maret 2012, DPR RI bahkan secara khusus mengadakan public hearing dengan sejumlah pihak untuk mendapatkan masukan mengenai perlunya melakukan perubahan atas UU ini.  Public hearing sendiri diselenggarakan dua tahap, yakni  1 dan 8 Maret 2012  lalu. Beberapa pihak tampaknya meyakini bahwa UU Penyiaran ini memang perlu untuk direvisi. Argumentasi yang diberikan di antaranya  karena UU Penyiaran yang disahkan DPR RI akhir November 2002 itu, sudah mulai tidak relevan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi yang ada. Alasan lain,  revisi UU Penyiaran diharapkan mampu membuat UU tersebut  sinergis dengan peraturan perundangan dan peraturan pemerintah yang ada. Argumentasi-argumentasi tersebut kesannya sangat logis, namun sebagai publik, ada baiknya kita turut mawas bahwa revisi UU Penyiaran tersebut juga tidak akan bebas dari banyak kepentingan. Apalagi tuntutan revisi  kian marak,  bahkan sangat mungkin akan makin menguat seiring pergantian waktu menjelang Pemilu 2014 mendatang.

Tentu masih terasa segar dalam ingatan kita pada sepuluh tahun yang lalu, ketika pro kontra mewarnai pengesahan RUU Penyiaran menjadi UU Penyiaran. Pihak yang kontra meyakini bahwa RUU Penyiaran merupakan bentuk baru dominasi pemerintah terhadap lembaga-lembaga penyiaran Indonesia. Pihak ini meyakini bahwa RUU Penyiaran  akan memberangus kebebasan berekspresi insan penyiaran di tanah air. Pendapat sebaliknya justru datang dari pihak pendukung lahirnya UU Penyiaran. Pihak ini berkeyakinan bahwa hadirnya UU Penyiaran justru mampu menjamin demokratisasi penyiaran berlangsung baik di tanah air Indonesia. Alotnya proses penyusunan di DPR RI yang memakan waktu lebih dari tiga tahun kala itu dan semua pro kontra yang mengiringi tentu menjadi isyarat sederhana  bahwa banyak pihak yang berkepentingan atas RUU ini.  Bukan tidak mungkin, realitas yang sama  terjadi saat DPR RI merencanakan revisi  kali ini.

Terdapat beberapa isu strategis yang harusnya menjadi titik-titik perhatian.  Pertama masalah lembaga regulator pengatur lembaga penyiaran,  dan kedua adalah masalah digitalisasi penyiaran (transisi penyiaran dari analog ke digital). Tentu masih banyak isu  strategis lainnya, seperti  pola siaran berjaringan yang harusnya sudah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir. Namun dalam  penulis memfokuskan pada kedua masalah di atas.

Mengenai lembaga regulator yang bertugas mengatur lembaga penyiaran, UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 sebenarnya telah mengamanatkan dengan jelas bahwa tugas dan wewenang tersebut diserahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI diyakini sebagai lembaga representasi  publik karena dipilih melalui proses seleksi oleh DPR dan dilantik oleh Presiden.  Dibentuknya KPI sebagai lembaga regulator tentu merupakan representasi salah satu semangat  UU Penyiaran yakni demokratisasi penyiaran. Artinya pengaturan lembaga penyiaran diserahkan sepenuhnya kepada publik yang direpresentasikan pada KPI.

Ini tentu berbeda dengan era sebelumnya yakni era Orde Baru, di mana tugas dan wewenang untuk mengatur lembaga media diserahkan pada Departemen Penerangan yang merupakan representasi pemerintah otoriter. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review dari beberapa organisasi penyiaran di Indonesia pada tahun 2004. Judicial review ini justru memotong otoritas KPI untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam keputusan judicial review dinyatakan, bahwa tugas dan wewenang  mengatur lembaga penyiaran diserahkan kembali kepada pemerintah. Ini tentu menjadi peristiwa yang unik. Masyarakat media Indonesia yang beberapa tahun sebelumnya turut andil untuk merobohkan rejim otoritarian Orde Baru untuk kemudian masuk  ke era masyarakat yang lebih demokratis, pada tahun 2004 melalui judicial review dengan sukarela menyerahkan kembali otoritas pengaturan media penyiaran kepada pihak pemerintah.

Ekses judicial review pun terasa. KPI menjadi lembaga yang mandul ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga penyiaran, khususnya lembaga penyiaran swasta yang berbasis di Jakarta. KPI benar-benar kehilangan taji ketika harus mengatur dan mengontrol lembaga penyiaran. Peringatan atau surat teguran KPI yang berbasis pada keluhan masyarakat sering sekali dianggap angin lalu.  Tidak jarang sanksi atau hukuman dari KPI pun diabaikan. Seperti ketika KPI melarang beberapa program siaran untuk diproduksi oleh lembaga penyiaran yang bersangkutan karena diyakini melakukan pelanggaran berat, justru program yang sama dengan nama yang berbeda tetap bisa muncul dengan mudah di layar kaca. Ketika hal ini terjadi, pemerintah pun tidak jarang hanya diam dan tidak bereaksi.

Ketidakjelasan lembaga regulator penyiaran  berimbas pada persoalan berikut  yang tidak kalah rumit, yakni masalah kewenangan dalam mengatur masalah kepemilikan media. Pasal 18 UU Penyiaran  menjelaskan bahwa  pemusatan kepemilkan media oleh orang atau lembaga tertentu dan  kepemilikan silang lembaga penyiaran dengan lembaga lain akan dibatasi. Ayat 3 dan 4 dalam Pasal 18 juga menyebutkan bahwa pengaturan kepemilikan media tersebut dilakukan bersama antara KPI dan Pemerintah. Memang benar sudah muncul Peraturan Pemerintah  No. 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaran Penyiaran Swasta sebagai ketentuan yang mengatur masalah ini. Namun apakah PP ini merupakan produk dialog bersama antara KPI dan pemerintah kala itu? Bila menilik dari format yang berupa PP, kecil kemungkinan terdapat interaksi bersama antara pemerintah dengan KPI dalam menyusun peraturan tersebut. Semua hal ini tentu bermuara pada sebuah pertanyaan besar, siapa sebenarnya yang berwenang untuk melakukan pengaturan lembaga-lembaga penyiaran tersebut? Dikembalikan kepada KPI, diserahkan kepada pemerintah, atau diatur oleh siapa?

Isu berikutnya adalah masalah digitalisasi penyiaran.  Seperti kita ketahui, pemerintah melalui  Departemen Komunikasi dan Informatika telah meluncurkan program migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital pada penyiaran televisi sejak 2008. Hal itu dilakukan untuk memenuhi ketentuan internasional tentang siaran televisi digital. International Telecommunication Union (ITU) atau otoritas telekomunikasi internasional telah memberi batas akhir (deadline) kepada seluruh negara di dunia, agar paling lambat, 17 Juni 2015 seluruh lembaga penyiaran melakukan penyiaran dengan digital. Ditargetkan pada tahun 2018  seluruh wilayah Indonesia menggunakan teknologi ini.

Berbagai kelebihan ditawarkan oleh teknologi ini, mulai dari suara yang jernih, gambar yang bening, sampai pada tersedianya banyak kanal untuk menyalurkan siaran televisi. Namun demikian, sejumlah problem pun muncul. Mulai dari yang sederhana berupa pengaturan kanal yang jumlahnya jauh lebih besar, sampai yang paling rumit yakni mengatur penyedia jaringan (network provider) dan penyedia konten siaran (content provider) yang akan turut bermain meramaikan dunia penyiaran tanah air. Tidak kalah pelik, adalah memikirkan bagaimana nasib para penyelenggara siaran televisi komunitas yang mungkin akan terseok-seok untuk ikut bermigrasi ke TV digital. Padahal kehadiran televisi komunitas dipandang penting untuk menjamin demokratisasi penyiaran, khususnya dari sisi keberagaman isi (diversity of content). Semua ini belum diatur oleh UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.

Tentu diharapkan revisi UU Penyiaran dapat membantu menjelaskan dua isu strategis ini. Semangat untuk tetap mengusung demokratisasi penyiaran harus tetap ada dalam proses revisi yang diprediksi sarat akan tarik-menarik kepentingan. Bagaimanapun dunia penyiaran tetap akan berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat banyak karena ranah publik yang digunakannya. Oleh karenanya, masyarakat sebagai publik diharapkan mengawal semua perkembangan ini sehingga proses revisi tetap memperhatikan kepentingan publik yang luas. Masyarakat tidak perlu terkaget-kaget bila UU Penyiaran versi  revisi ini akhirnya  disahkan karena luput dari pencermatan. ***

Bonaventura S. Bharata, SIP, M.Si., Dosen Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

 

Search

Pengumuman