Bernas Jogja, Selasa, 8 Mei 2012
Oleh Pupung Arifin
Tulisan saya di Bernas (21/2) membahas bagaimana posisi etika dalam karya kerja jurnalistik di portal berita media siber. Sebagai pembukaan saya menyinggung regulasi media di Indonesia yang dibuat secara reaktif, tanpa ada satu aturan payung besar yang menjadi tolak ukur regulasi yang dibuat selanjutnya. Saya mengkhawatirkan Pedoman Pemberitaan Media Siber yang baru saja disahkan oleh Dewan Pers tidak bertaji menghadapi perkembangan teknologi dalam portal berita siber. Pedoman pemberitaan yang baru disahkan 14 tahun setelah munculnya portal berita siber pertama di Indonesia ini, ternyata dalam implimentasinya tidak terlalu dihiraukan oleh awak media.
Masih terkait dengan regulasi, masyarakat pers kembali diusik dengan kesalahpahaman yang terjadi antara Dewan Pers dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menuding Dewan Pers telah melanggar batas-batas wewenang dalam kaitannya dengan penyusunan pedoman Kode Etik Jurnalistik bagi media penyiaran. KPI menilai pedoman yang disusun Dewan Pers tersebut bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012 yang telah disahkan oleh KPI.
Permasalahan ini bermula ketika KPI menyurati Dewan Pers yang dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan. Dewan Pers sesuai dengan UU Pers No. 40 tahun 1999 memang mempunyai peran mengawal praktik Kode Etik Jurnalistik di kalangan insan pers. Salah satu wujud pengawasan ini adalah dengan menyusun pedoman secara lebih jelas dan rinci, yang diturunkan dari UU Pers. Pedoman bagi kalangan pers di media penyiaran ini menyusul pedoman untuk etika jurnalistik di media siber yang sudah disahkan sebelumnya. KPI merasa, penjabaran etika jurnalistik yang dituangkan ke dalam pedoman etika jurnalistik untuk media siaran tersebut telah merampas hak dan wewenangnya sebagai regulator media penyiaran. Seperti diketahui KPI juga baru saja mengesahkan P3SPS 2012 dalam Rakornas di Surabaya. P3SPS yang disahkan oleh KPI ini secara legal formal juga kuat karena penyusunannya sebagai amanat dari UU Penyiaran No 32 tahun 2002. Dijelaskan pada pasal 8 ayat 2, bahwa KPI mempunyai wewenang untuk menetapkan standar program siaran, menetapkan pedoman perilaku penyiaran, dan fungsi pengawasan lainnya.
Berkaca pada kondisi tersebut, kita tidak perlu menunjuk siapa yang salah dan siapa yang benar. Kedua pihak memang berada pada posisi yang secara legal dapat menjalankan fungsi dan perannya, sehingga pembuatan regulasi yang dilakukan oleh keduanya sudah sesuai dengan amanat undang-undang. Justru yang menjadi fokus utama dalam peristiwa kisruh ini adalah pembuktian bahwa pihak regulator media massa di Indonesia masih tidak bisa lepas dari kepentingan politik.
Permasalahan yang timbul dari pihak regulator tidak berhenti sampai di situ saja. Pengesahan P3SPS 2012 oleh KPI ternyata masih menimbulkan beberapa pro dan kontra. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) berada pada garis depan sebagai pihak yang menolak hal itu. Hal ini mudah untuk dimafhumi karena kepentingan ekonomi dan politik televisi swasta cukup dibatasi dalam beberapa pasalnya. Pasal yang menjadi keberatan ATVSI berkutat seputar aturan siaran pemilihan umum dan siaran iklan. Bila jumlah iklan dibatasi, tentu akan mengurangi potensi pemasukan yang bisa diperoleh oleh media penyiaran. Sedangkan dalam pasal yang mengatur siaran pemilu, selain potensi pemasukan yang akan berkurang, keunggulan kapital untuk mengedepankan prevalensi politik yang dimiliki oleh media penyiaran menjadi tidak bisa dioptimalkan.
Kembali soal kemitraan antar regulator, dalam kasus P3SPS 2012 ini, ATVSI menempatkan KPI pada posisi yang dipersalahkan, namun mencoba mencari dukungan regulator atau lembaga independen lain sebagai backing mereka. Erick Thohir, ketua ATVSI seperti dikutip detikcom (03/04/2012) mengatakan bahwa dalam penyusunan P3SPS terkait siaran pemilu, KPI sebaiknya mengajak Dewan Pers dalam proses penyusunannya. Berdasarkan pernyataan itu saja dapat kita lihat bahwa televisi swasta mencoba mengetengahkan Dewan Pers sebagai pihak yang diharapkan mampu memberi sedikit angin segar kepada lembaga penyiaran. Dewan Pers sendiri tidak tinggal diam, dan langsung mengagendakan pertemuan dengan KPI untuk membahas P3SPS bidang jurnalistik.
Berangkat dari dua peristiwa di atas, bisa kita lihat bahwa belum terjalin sinergi antar regulator atau lembaga independen media untuk bersama-sama mengawal berjalannya proses bermedia di Indonesia. Setiap pihak merasa memiliki tugas dan wewenang masing-masing sehingga terkadang regulasi yang lahir bukan merupakan hasil kerja bersama.
Bila ditelaah jauh ke belakang, aspek politis regulator dalam pembuatan regulasi media masih cukup kental. Lihat saja proses penyusunan RUU Penyiaran yang dibahas pada awal tahun 2000, pemerintah tidak benar-benar memberi kewenangan penuh kepada KPI. Pemerintah masih berusaha memiliki kontrol atas ranah publik dalam usaha penyiaran. Permasalahan antara KPI dan Dewan Pers sebenarnya juga sebagai warisan keganjilan dalam penetapan UU Pers. UU Pers yang awalnya (dan seharusnya) hanya mengatur media cetak, namun dipaksakan untuk juga mengatur segala hal terkait jurnalistik di bentuk media apapun, termasuk dalam hal ini media penyiaran. Masih kentalnya aroma politis pemerintah, warisan perumusan regulasi di masa lalu dan kekurangpahaman antar regulator media inilah yang kemudian terancam untuk dimanfaatkan oleh pasar untuk turut melakukan kompromi terhadap regulasi, dalam hal ini regulasi penyiaran.
Deddy N. Hidayat (dalam Mufid, 2005:108) menjelaskan bahwa regulasi media di Indonesia sedang berada pada proses transformasi dari “state regulation” menuju “market regulation” di mana pemerintah tidak lagi memiliki peran yang signifikan dalam industri media, namun lebih kepada kekuatan pasar. Praktik neo-liberalisme yang terjadi ini akan membawa media kepada cara pandang kapital yang berfokus pada rasionalitas instrumental untuk memaksimalkan keuntungan finansial yang dapat diperoleh. Proses seperti ini kalau dibiarkan kemudian akan membuat publik menjadi terbiasa, atau menurut Berger (1990) akan terjadi proses habitualisasi realitas kapitalisme, sehingga bila gejala ini terus terjadi, hanya akan dianggap sebagai suatu keniscayaan.
Industri media seperti yang dikatakan Mosco (1996:30) semakin mengarah kepada ekonomi politik dengan bentuk komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi yang menempatkan masyarakat bukan lagi sebagai publik pemilik frekuensi yang harus diberdayakan, namun lebih kepada entitas ekonomi yang digunakan sebagai alat dari industri media untuk “dijual” kepada pengiklan.
Melihat semua gejala yang terjadi, maka sudah semestinya pihak regulator dan lembaga independen pengawas media, khususnya media penyiaran bisa menyatukan persepsi dan langkah. Hubungan baik antar regulator mutlak dibutuhkan, jika tidak ingin peran sentral diambil industri media yang menjadi agensi dominan atas struktur media penyiaran. Lebih bahaya lagi kalau ketidakharmonisan antar regulator ini kemudian dimanfaatkan oleh industri media untuk mencari pembenaran atas klaim-klaim yang diajukan oleh industri dalam upaya untuk berkelit dari regulasi yang sudah ada.
Aroma politis dalam setiap kerja regulator sudah harus dibuang jauh-jauh, karena memang keberpihakan utama mereka adalah kepada publik yang diwakilinya. Mufid (2005: 85) menawarkan tiga landasan utama ekonomi politik media yang demokratis. Pertama, tidak ada ketimpangan kepemilikan yang menghambat partisipasi masyarakat. Kedua, adanya kesadaran bersama (shared consciousness) untuk mengutamakan kepentingan publik di atas segalanya. Ketiga, sistem politik yang ada harus menjamin keterlibatan dan partisipasi tinggi publik dalam proses pembentukan kebijakan. Ketiga poin ini kalaupun berat diimplementasikan, kiranya dapat menjadi pengingat dan pengontrol setiap usaha dari regulator media untuk terus berjuang atas nama publik.
*Pupung Arifin, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta