Bernas Jogja, Selasa 15 Mei 2012
Oleh Theresia Diyah Wulandari
Beberapa hari terakhir, ada satu hal yang mengusik rasa kemanusiaan saya dalam hati yang tiba-tiba ingin diungkap dalam tulisan ini. Sejak mencuat kasus kecelakaan yang menimpa pesawat komersil buatan Rusia Sukhoi SuperJet 100 di Gunung Salak Bogor pada Selasa sore (8/5), seluruh mata kembali terhipnotis dengan berita-berita yang ditayangkan di televisi. Mereka ingin memantau tiap perkembangan berita jatuhnya Sukhoi SuperJet 100 itu melalui media massa.
Sebagian orang barangkali ingin memenuhi rasa penasaran mereka dengan tidak henti-hentinya mencermati tiap tampilan berita, gambar, dan petikan wawancara yang ditayangkan di layar kaca, atau mengakses berita-berita melalui internet ataupun media cetak. Semua ingin tahu bagaimana proses evakuasi ke-48 korban hingga indentifikasi, dan spekulasi sebab musabab kecelakaan.
Namun sayang, beberapa media massa justru tidak menonjolkan sisi empati mereka dalam kemasan berita. Sebagai mantan wartawan, saya bisa membayangkan bagaimana perasaan para tamu undangan (termasuk lima wartawan dari tiga media massa yang turut menjadi korban) yang turut serta menjajal perfotma pesawat komersil buatan Rusia itu. Betapa bangga dan senangnya hati saat mereka menjadi bagian dari kelompok orang-orang pertama yang menjajal pesawat yang konon katanya istimewa dibandingkan kelas sejenis. Apalagi pada penerbangan ujicoba perdana beberapa jam sebelumnya, pesawat berkapasitas 100 penumpang yang akan dipinang beberapa perusahaan maskapai nasional ini tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Hal ini tampak pada wajah-wajah cerah yang terekam melalui jepretan kamera Sergey Dolya, salah satu penumpang asal Rusia yang sudah menjajal pesawat pada penerbangan perdana melalui laman pribadinya. Bukan itu saja, menurut keterangan salah satu keluarga korban Ismiyati, sang reporter Trans TV, pengalamannya menjadi penumpang Sukhoi adalah pengalaman pertamanya naik pesawat. Tidak heran larangan sang ibu diabaikannya meski nasib naas akhirnya menimpa Ismi bersama ke-47 korban lainnya. Pesawat menabrak badan Gunung Salak di Kabupaten Bogor.
Dalam gambar yang diabadikan Dolya, tampak wajah berseri-seri para kru pesawat yang terdiri dari para pramugari asal Indonesia dan pilot asal Rusia, berfoto dan bergaya dengan latar belakang Sukhoi SuperJet 100 yang dalam sejarahnya terbang perdana pada 19 Mei 2008. Namum sungguh mengejutkan judul berita yang dipilih salah satu media online di Indonesia, Pramugari-pramugari Cantik di Sukhoi Naas. Dalam kaedah penulisan bahasa Indonesia, judul tersebut memang tidak memiliki kesalahan dalam hal penulisan ataupun struktur kalimatnya. Namun berdasarkan nilai rasa kemanusiaan, judul tersebut seakan menonjolkan sisi ketidakempatian sebuah pemberitaan media massa terhadap para korban, berikut keluarganya. Tidak heran muncul komentar beragam dalam situs jejaring sosial. Ada nada miring yang justru semakin menonjolkan reaksi sarkasme, ada juga beberapa komentar yang mengatakan bahwa foto-foto tersebut tidak layak tayang di tengah suasana duka.
Bukan hanya itu, beberapa media online dan siar juga menayangkan foto korban. Foto Jenazah Diduga Korban Sukhoi Beredar di Internet, demikian salah satu judul di media online. Meski ditampilkan dengan beberapa sisi gambar tampak buram, tayangan semacam itu seakan mengikis rasa empati para pekerja media terhadap sebuah peristiwa tragis, apalagi jika gambar tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dua media siar lain juga sempat menayangkan gambar serupa, meski disebutkan sebagai sebuah gambar yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Kalau tidak dapat dipertanggungjawankan kebenarannya, kenapa tetap ditayangkan?
Barangkali alasan utama penayangan tersebut hanyalah dilatarbelakangi aspek ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan keluarga para korban. Asal berita laku dan ditonton banyak orang, tidak peduli etika gambar, judul, dan naskah yang ditampilkan, media seakan bebas merdeka menayangkan apa saja.
Para pekerja media ini mungkin lupa, setiap dari mereka harus mengikuti kode etik jurnalistik yang wajib dipatuhi. Kode etik jurnalistik memuat nilai-nilai kesopanan dan rasa keadilan bagi narasumber berita, bukan hanya sekedar keharusan pekerja media tidak boleh menjiplak, memfitnah, berbohong, dan menerima amplop saja. Salah satu maklumat Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang termaktub pada 6 Agustus 2009 dan ditandatangani oleh 26 organisasi wartawan Indonesia menyebutkan salah satu tujuan kode etik ini untuk melindungi masyarakat luas dari kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kontruksi realitas para pekerja media, sehingga integritas dan reputasinya tetap terjaga.
Secara lebih khusus kode etik ini berlaku untuk pemberitaan yang di dalamnya memuat isu kekerasan. Kekerasan dalam hal ini bukan hanya dalam arti kekerasan fisik, karena menurut Haryatmoko dalam Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (2007) kekerasan merupakan suatu tindakan yang di dalamnya terdapat unsur dominasi suatu pihak kepada pihak lain dan muncul dalam berbagai bentuk seperti fisik, moral, psikologis, hingga gambar. Apalagi tayangan gambar tersebut dikemas dalam paket acara yang penuh nuansa hiperbola dan hiperrealitas, hanya akan menyesatkan publik dan menyakiti keluarga korban.
Artini Suparmo (2009) juga menguatkan pendapat bahwa kesantunan dalam menuturkan berita sangatlah penting karena berita di media massa merupakan bentuk dialog dengan masyarakat untuk ikut mengatasi masalah kekerasan dalam masyarakat. Secara teoritis, menurut Onong Uhcjana Effendy dalam Komunikasi Massa Suatu Pengantar, ada tiga fungsi komunikasi massa yakni fungsi informasi yang diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi, fungsi pendidikan di mana media massa menjadi sarana pendidikan bagi khalayaknya, dan fungsi memengaruhi. Namun di sisi lain, sebuah tayangan media massa sejatinya juga memunculkan sisi empati oleh setiap pekerja dan penggerak media massa.
Sebuah status seorang kawan melalui situs jejaring sosial membuat saya kembali sadar bahwa media massa di Indonesia barangkali sedang mengalami krisis empati. Saat TVOne dan Metro TV gencar mengabarkan perkembangan evakuasi korban, upaya identifikasi mayat yang ditemukan, hingga spekulasi seputar penyebab kecelakaan, Trans TV justru menayangkan paket acara hiburan. Padahal publik pastinya sudah mengetahui bahwa dua wartawan Trans TV yaitu reporter Ismiyati Sunarto dan kamerawan Aditya Sukardi turut menjadi korban dalam peristiwa kecelakaan tersebut.
Berbeda dengan stasiun televisi lain, siaran mereka dipenuhi dengan tayangan gambar perhelatan akbar pernikahan artis yang glamour dan penuh ajang pesta. Lalu, di mana sisi empati mereka di tengah duka mendalam para korban? Apa kata dunia jika realitas media massa di Indonesia justru bersebarangan dalam menyikapi sebuah kecelakaan tragis yang melibatkan hubungan diplomasi dua negara? Tentunya hanya mereka sajalah yang bisa menjawab. ***
Theresia Diyah Wulandari, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta