Gerakan Anti Rokok Vs Iklan Rokok

Bernas Jogja, Selasa 29 Mei 2012

Oleh Dhyah Ayu Retno Widyastuti

Dunia periklanan di Indonesia kini semakin menunjukkan perkembangan yang pesat baik melalui media massa maupun media online. Periklanan merupakan salah satu strategi yang dilakukan guna menghadapi persaingan produk jasa maupun barang. Secara signifikan iklan mampu memengaruhi khalayak. Dalam hitungan detik iklan menyampaikan informasi untuk mengubah cara pandang calon konsumen dalam membuat suatu keputusan. Salah satu iklan yang cukup kuat memengaruhi khalayak dan banyak diperbincangkan di dunia periklanan adalah iklan rokok.

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan. Realitasnya iklan rokok cukup banyak hadir di masyarakat dan jumlah konsumen rokok pun tinggi. Jelas bahwa mengonsumsi rokok berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat sebagai perokok aktif, bahkan juga bagi orang di sekitarnya.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 perokok terbanyak adalah orang dewasa, di samping anak-anak. Data Riskesdas 2010 menunjukkan 19 persen remaja (15-19 tahun)  merokok. Perokok kategori anak-anak mengalami peningkatan pada tahun 2007 mencapai 426.214 orang dibandingkan  tahun 1995 (71.126 orang). Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa angka kematian karena rokok di Indonesia  berada di  urutan ketiga setelah China dan India. Persebaran  tinggi berada di pulau Jawa secara berurutan mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, disusul 26 wilayah lainnya. Data The Tobacco Atlas 4th Edition tahun 2011 menunjukkan  600.000 individu meninggal karena merokok dan 75 persen angka kematian adalah perempuan dan anak-anak. (www.tobaccoatlas.org).

Kepedulian Pemerintah

Seiring dengan perubahan yang cenderung cepat dan lebih transparan membuat masyarakat semakin menghendaki materi maupun tuntutan hidup yang lain, tidak terkecuali tuntutan kesehatan sebagai akibat dari konsumsi rokok. Harapan ini seolah gayung bersambut dengan  kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di antaranya adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 38  Tahun 2000 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan; Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang disahkan tahun 1996 terkait aturan dan etika yang membatasi gerak promosi  produsen rokok.

Kini yang tengah dipersiapkan adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau.  Seperti yang diwacanakan,  RPP Tembakau di antaranya mempertegas peringatan kesehatan pada kemasan rokok, pengaturan iklan rokok, serta menertibkan kawasan bebas rokok. Rapat RPP Tembakau yang digelar  April 2012 sepakat agar setiap kemasan rokok wajib memuat peringatan tulisan, atau gambar yang besarnya 40 persen dari kotak kemasan. Selain itu, pada penayangan iklan tidak boleh lagi ada visualisasi bentuk rokok. Iklan rokok di ruang terbuka pun dibatasi maksimal hanya seluas 72 meter persegi.

Meskipun sudah cukup lama menjadi wacana namun hingga saat ini RPP pengendalian iklan rokok belum menjadi ketetapan yang sah. Namun beberapa wilayah sudah mulai  mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) seperti di wilayah Bali, Balikpapan, Jawa Timur, dan beberapa wilayah lainnya. Langkah ini bisa dimaknai sebagai gerakan anti rokok.

Seiring dengan upaya pengesahan peraturan, diperbincangkan pula implikasi pemberlakuan pengaturan iklan rokok. Misalnya saat Perda KTR yang mengatur pelarangan pemasangan iklan rokok di sejumlah kawasan yang sudah diwacanakan di Makasar, diperkirakan akan berimplikasi pada penurunan pendapatan asli daerah dari sektor retribusi pajak reklame. Implikasi ini pun  akan merambah wilayah lain pula.

Eksistensi iklan rokok

Sementara pemerintah mengusahakan gerakan anti rokok kepada masyarakat, iklan rokok makin menggeliat memberi kesan kepada khalayak. Secara umum, keberadaan iklan rokok masih cenderung dinikmati oleh khalayak melalui daya tarik pengemasan iklan dengan appeals yang beragam sedangkan secara substansi memperoleh perhatian terbatas. Iklan mampu mengonstruksi image produk secara objektif. Televisi yang notabene menjadi media yang efektif untuk  beriklan menyajikan bermacam iklan rokok dalam berbagai varian. Iklan Dji Sam Soe menggambarkan realitas cita rasa legendaris. Iklan yang mengusung tema menuju perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan sukses seperti iklan rokok New Dunhill Mild dengan tag lineTime to Change. Iklan rokok Surya 16 dengan tag lineDrive for Success’. Image produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik verbal maupun non verbal (visual). Realitas bahasa yang digunakan dalam iklan TVC mampu memberi kesan yang kuat kepada khalayak.

Contoh lain, iklan rokok Wismilak, Djarum Super, dan Bentoel Merah yang menampilkan adegan pejuang yang menakjubkan. Iklan-iklan itu  mampu membawa penonton kepada kesan dunia lain melalui adegan-adegan maupun kesan realistis yang dibangun. Selain itu iklan rokok cenderung mengusung bahasa dan simbol-simbol yang hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu, misalnya iklan berwajah simbolis pada iklan rokok Sampoerna “Bukan Basa Basi”.

Pemilihan televisi sebagai media iklan rokok mampu menciptakan rekayasa optimal. Iklan berupaya meninggalkan kesan tertentu yang bersifat umum. Tidak dipungkiri bahwa iklan rokok mengarahkan pada kesan spektakuler karena produk rokok dekat dengan segmen pasar seperti remaja yang cenderung mengagumi peristiwa spektakuler (Bungin, 2011: 117). Selain itu latar dan konteks sosial dalam iklan dengan mengusung berbagai macam tema merupakan bagian dalam perencanaan iklan yang menunjukkan di mana cerita-cerita itu dibangun. Bagian ini mampu mempertegas image produk meskipun tanpa menampilkan wujud produk yang diusung.

Gambaran ini hanyalah sebagian kecil dari iklan yang hadir di media televisi. Sedangkan exposure iklan rokok dengan kreatifnya di media cetak juga memiliki intensitas tinggi. Modifikasi iklan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan kreativitas pencipta iklan itu sendiri terlebih dengan perkembangan media di era berbasis internet ini.

Berkembangnya penggunaan internet dalam campaign periklanan turut merambah iklan rokok. Facebook, twitter, kaskus dijadikan media iklan rokok. Secara empiris Kaskus sempat muncul dengan iklan Marloboro hingga akhirnya mendapat kritik karena ada kekhawatiran konsumen media jaringan ini termasuk anak  di bawah 18 tahun. Akun twitter di jejaring sosial sempat menampilkan brand rokok, satu di antaranya @diplomatsukses dengan menampilkan Wismilak pada halaman profile.

Realitas  ini tentu  menantang kerja keras  menuju terwujudnya gerakan anti rokok. Kesadaran masing-masing individu untuk peduli terhadap kesehatan turut menjadi kunci tercapainya tujuan ini.***

Dhyah Ayu Retno Widyastuti, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman