Pariwisata di Tengah Persoalan Bangsa

Bernas Jogja, 12 Juni 2012

Oleh: Lucinda

Berbagai masalah terkait bahan bakar minyak akhir-akhir ini menguakkan realita mengejutkan bahwa cadangan minyak Indonesia tersisa hanya untuk pemakaian beberapa puluh tahun ke depan. Kenyataan ini membuat Indonesia harus memikirkan alternatif lain untuk kepentingan cadangan devisa yang selama ini sangat tergantung pada sumber daya alam seperti migas. Sementara negara-negara maju dan beberapa negara berkembang lebih mengandalkan sektor jasa untuk kepentingan devisa mereka.

Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari potensi besar di bidang pariwisata karena  pariwisata sudah memberikan kontribusi besar bagi penerimaan devisa  walau pengelolaannya belum maksimal. Pariwisata menjadi lima besar penyumbang devisa terbanyak pada  beberapa tahun terakhir. Dengan kemampuan mencetak sejumlah besar devisa, industri pariwisata sangat menjanjikan secara ekonomi karena memberikan kontribusi besar bagi pendanaan pembangunan. Pariwisata dapat dikembangkan demi kesejahteraan sebuah bangsa.

Dalam pertemuan menteri-menteri G-20 bidang pariwisata di Meksiko Mei 2012, United Nations World Tourism Organization (UNWTO) memprediksi lebih dari satu miliar wisatawan (atau sepertujuh penduduk dunia) akan melakukan perjalanan melintasi batas internasional tahun 2012. Jumlah luar biasa ini tentu akan berdampak luar biasa pula bagi perekonomian negara-negara tujuan wisata. Pariwisata yang terus tumbuh diharapkan akan menjadi solusi bagi penciptaan lapangan kerja dan pemulihan ekonomi dunia. Apalagi 30 persen ekspor jasa di dunia berasal dari pariwisata. Bahkan Sekjen UNWTO dalam konferensi internasional pariwisata di Yordania awal Juni 2012 tetap yakin sektor pariwisata akan terus tumbuh sekalipun krisis ekonomi melanda Eropa dan Amerika. Data UNWTO menunjukkan tahun 2012 pariwisata dunia diharapkan akan berkontribusi sebesar 6 triliun dolar Amerika terhadap produk domestik bruto (PDB) global. Pariwisata menyumbang 9 persen terhadap PDB dunia dengan pertumbuhan global sebesar 4,6 persen  tahun 2011. Dan diperkirakan satu dari 12 pekerjaan di dunia berada di sektor pariwisata (Kompas, 7/6/).

Tahun 2011 pemerintah  menargetkan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 7,7 juta orang, walau realisasinya hanya tercapai 7,64 juta. Walau tidak mencapai target, realisasi tersebut tumbuh 9,14 persen dibandingkan realisasi jumlah wisman 2010 sebanyak 7 juta orang. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengemukakan bahwa pemerintah  tahun 2012 menargetkan 8 juta kunjungan wisman ke Indonesia. Menurut Kemenparekraf, kontribusi langsung pariwisata terhadap PDB  adalah sekitar 4 persen dan secara tidak langsung berkisar 9 persen. Tahun 2011, pariwisata menjadi penyumbang kelima terbesar devisa negara yaitu $ 8,6 miliar setelah migas, batubara, CPO dan karet olahan. Pertumbuhan pariwisata Indonesia berkisar sekitar 9,5% tahun 2012. Penyerapan tenaga kerja  oleh sektor pariwisata adalah 7 persen. Prospek pariwisata yang tetap cerah membuat Indonesia semakin percaya diri untuk semakin gencar mempromosikan dan mengembangkan pariwisata demi menjaring wisman yang lebih banyak. Apalagi dengan masuknya Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Alam 2012.

Demarketing Pariwisata

            Pariwisata memiliki dampak besar yang disebut dengan multiplier effect atau efek pengganda, dalam arti berefek langsung dan tidak langsung pada seluruh pihak yang terlibat dalam prosesnya. Ini juga berarti bahwa pariwisata sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bidang atau sektor lain. Sebagai sebuah industri yang sangat rentan, apa yang terjadi di sebuah negara akan berpengaruh kepada pariwisata, khususnya kunjungan wisatawan. Aspek yang berpengaruh besar pada pariwisata adalah aspek keamanan.

Oka A. Yoeti (2008: 16) mengatakan kesuksesan sebuah destinasi pariwisata sangat tergantung pada 3A (Atraction, Accessibility, Amenity). Atraksi menyangkut atraksi wisata berupa alam, budaya, atau hal menarik lainnya. Aksesibilitas terutama terkait transportasi beserta sarana dan prasaranya. Sedangkan amenitas mencakup akomodasi, fasilitas komunikasi dan hiburan, serta keamanan. Isu keamanan selama ini cukup mengganggu citra pariwisata Indonesia sehingga Indonesia harus mampu memberikan jaminan tentang aspek ini.

Isu ancaman serangan teroris menjadi momok bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Indonesia. Isu teror, apa pun bentuknya, akan meningkatkan resiko keamanan yang sangat memengaruhi kunjungan wisatawan. Indonesia sudah berkali-kali mendapatkan travel warning dari beberapa negara akibat situasi sosial dan politik yang dianggap dapat mengancam keselamatan dan keamanan wisman. Tahun 2002 pemerintah Inggris dan Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya yang ingin ke Indonesia sebagai imbas peristiwa Bom Bali 1. Tahun 2008, Bom Bali 2 juga mengakibatkan travel warning dari pemerintah Australia, Amerika, dan beberapa negara Eropa. Tahun 2009 pemerintah Australia mengeluarkan travel warning ke Indonesia menyusul ledakan hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Tahun 2012 pemerintah Australia mengeluarkan Travel Advisory yang berisi nasihat kepada warganegaranya untuk mempertimbangkan kembali perjalanan ke Indonesia, karena mengkhawatirkan situasi keamanan Indonesia secara umum.

Travel warning mengakibatkan kerugian cukup besar. Peristiwa Bom Bali 1 (2002) membuat Indonesia kehilangan devisa sekitar US$ 850 juta dari sektor pariwisata, belum termasuk kerugian yang diderita masyarakat sebagai dampak efek berantai peristiwa tersebut. Tiga negara memberlakukan travel ban, yaitu Amerika Serikat, Australia dan Inggris, padahal wisatawan dari ketiga negara tersebut mencapai 17 persen dari total wisman yang berkunjung di Indonesia. Bom Bali 2 tahun 2008 menurunkan devisa pariwisata sebesar US$1-1,25 miliar.

Kasus-kasus di Indonesia beberapa tahun terakhir membuat wajah Indonesia kembali tercoreng. Banyaknya konflik antar kelompok membuat beberapa kalangan meragukan situasi keamanan di Indonesia. Kasus yang melibatkan pihak luar seperti pembubaran paksa diskusi buku Irshad Manji dan batalnya konser Lady Gaga semakin memojokkan Indonesia. Kasus-kasus seperti penembakan warga sipil di Papua, pemblokiran tempat ibadah di beberapa daerah, tawuran antar warga dan antar suporter bola membuat Indonesia mulai disebut sebagai bangsa yang intoleran. Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil bangsa ini semakin kurang toleran.

Batalnya konser Lady Gaga dan sebutan Indonesia sebagai negeri antah berantah (random country) oleh penyanyi Justin Bieber membuat banyak media asing memberitakannya dan mengaitkan situasi tersebut dengan berbagai persoalan di dalam negeri Indonesia. Walau tidak langsung berdampak pada pariwisata Indonesia, perlu diingat bahwa pariwisata adalah bisnis yang sangat tergantung pada citra. Selama ini Indonesia selalu menjual citra ke dunia internasional sebagai negara yang aman, memiliki keindahan flora, fauna juga memiliki rakyat yang ramah, bersahabat dan toleran. Bila tidak diselesaikan dengan baik, berbagai peroalan bangsa akan berpengaruh pada minat wisman potensial untuk berkunjung ke Indonesia. Konflik sosial dan komentar yang sedikit negatif dari artis terkenal dunia dikhawatirkan akan mempengaruhi citra Indonesia di mata internasional.

Kebijakan dan Penegakan Hukum       

Kebijakan pariwisata sampai saat ini masih sering berdiri sendiri, dalam arti belum terpadu dengan kebijakan instansi lain. Konser Lady Gaga sudah mengantongi izin dari Kemenparekraf dan Kementerian Tenaga Kerja, namun instansi kepolisian tidak memberikan izin. Kasus ini menunjukkan belum terpadunya kebijakan antar instansi. Kemenparekraf memberikan izin konser Lady Gaga dengan pertimbangan bahwa kedatangan artis dunia dan suksesnya acara konser akan memberikan citra positif bagi dunia pariwisata Indonesia sekaligus menunjukkan amannya negara ini. Namun pihak kepolisian mempertimbangkan ancaman terjadinya konflik horisontal yang akan menimbulkan korban jiwa.

Kasus di atas hanya satu contoh bagaimana pertimbangan yang berbeda akan menghasilkan kebijakan yang berbeda. Bila pariwisata Indonesia akan dijadikan ujung tombak dalam memperoleh devisa, perlu ada keterpaduan antar kebijakan dari instansi yang berbeda. Perlu ada kesepakatan dan kejelasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh sehingga tidak terjadi kebijakan yang saling bertentangan. Kebijakan pariwisata tidak akan berhasil bila tidak didukung kebijakan senada dari instansi lain. Nilai-nilai kehidupan masyarakat juga harus dihormati, perlu ada kesepakatan bersama tentang aspek-aspek yang diterima atau yang harus ditolak oleh semua instansi. Penegakan hukum juga harus tegas, siapa pun yang melanggar aturan harus ditindak tegas sehingga tercipta rasa aman, tidak hanya bagi bangsa Indonesia sendiri tapi juga bagi tamu yang berkunjung ke sini.

Pariwisata bisa sangat menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak ada perasaan aman dan nyaman yang mampu diberikan kepada wisatawan. Pemerintah dan rakyat Indonesia harus bekerja keras untuk menciptakan realita sesuai dengan citra yang selalu didengungkan. Kita harus membuktikan bahwa Indonesia adalah betul-betul surga bagi pariwisata dunia.

*Lucinda, Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman