Analisis Kedaulatan Rakyat, Rabu 22 Agustus 2012
Oleh Lukas S. Ispandriarno
Siapa pun tak ingin menerima kabar kecelakaan, apalagi di saat lebaran. Lebaran adalah waktu di mana keluarga berkumpul, bersilaturahim, maaf memaafkan atas segala kesalahan, kealpaaan setelah sebulan bermati raga. Ini adalah saat-saat bahagia. Situasi sebaliknya terjadi ketika ada sanak saudara yang mendapat celaka, bahkan meninggal ketika berada di jalan raya. Itulah yang digambarkan media saat lebaran, ceria namun juga sedih, paradoks. Sehari sebelum Idul Fitri harian ini mengabarkan “Kecelakaan di Jalur Mudik, 5 Orang Tewas” (Kedaulatan Rakyat, 18/8). Tiga pemudik tewas mengenaskan, Marimin (37), Desi (36) dan Alma (12). Ketiganya tergolong kelompok umur muda bahkan remaja yang produktif namun meninggal karena kealpaan sopir yang mengantuk dan kelelahan.
Setiap tahun media elektronik, online, cetak, mengabarkan mobilitas warga di seputar lebaran, kemacetan, kepadatan manusia di stasiun, bandar udara, pelabuhan, dan terjadinya kecelakaan. Laporan seperti ini bahkan mendapat sponsor dari perusahaan tertentu. Individu, lembaga swasta dan pemerintah terlihat berusaha membantu agar mobilitas lebih lancar, manusiawi. Pemerintah menjadi penanggungjawab utama dan perlu menjalin kerjasama dengan produsen sepeda motor yang selama ini mengeruk keuntungan. Di usia 67 tahun kemerdekaan, pemerintah pusat maupun daerah seharusnya paham dan insaf bahwa lebaran adalah peristiwa kemanusiaan tahunan dan sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia, maka penyediaan fasilitas yang memudahkan mobilitas warga seharusnya semakin tahun semakin baik. Pemandangan kasat mata menunjukkan sebagian perbaikan dilakukan sebulan atau dua minggu sebelum lebaran sehingga yang ada justru ketidaknyamanan serta bahaya karena fasilitas transportasi dan jalan raya tidak beres.
Bagaimana media mengusung berita kecelakaan? Media telah berusaha menempatkan kecelakaan sebagai peristiwa yang bisa dihindari. Pernyataan narasumber pemerintah seperti Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Perhubungan, Kepala Kepolisian senantiasa dikutip. Semua mengatakan, berhati-hatilah di jalan raya. Menkominfo Tifatul Sembiring bersama operator telekomunikasi mengkampanyekan “Stop Berponsel Sambil Berkendara”. Memang, merujuk data Polda Metro Jakarta, kecelakaan yang dipicu penggunaan telepon selular ketika berkendaraan meningkat 1.200 persen.
Media senantiasa menunjuk catatan Markas Besar Kepolisian bahwa korban tewas terus bertambah. Hingga 17 Agustus, tercatat sebanyak 1.995 kasus kecelakaan dan menyebabkan 340 orang meninggal serta 487 luka berat. Di Yogyakarta, Gunung Kidul adalah daerah rawan karena tingginya mobilitas warga sebagai konsekuensi budaya merantau dan mudik saat lebaran. Polres Gunungkidul melaporkan, sampai Juli 2012 terjadi 252 kecelakaan, korban meninggal 23 orang, luka berat 66 orang serta luka ringan sebanyak 295 orang.
Sejauh ini kecelakaan di jalan raya belum menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Buktinya, dari tahun ke tahun angkanya semakin meroket. Badan Pusat Statistik 1992-2010 mengutip sumber Kepolisian mencatat, jumlah kecelakaan tahun 1992 sebanyak 19.920 dengan korban meninggal 9.818 orang sedangkan tahun 2010 terdapat 66.488 kecelakaan dan 19.873 manusia tewas. Tentu ada sejumlah faktor mengapa kecelakaan dan kematian terus meningkat namun jelaslah bahwa faktor utamanya adalah manusia. Punyakah manusia Indonesia budaya berhati-hati, waspada, teliti, disiplin, dan beretika saat berkendaraan? Barangkali belum ada riset tentang ini tapi pengalaman mengatakan nilai-nilai ini jauh dari komitmen kita. Baik di keluarga, di komunitas, di lingkup pendidikan, dan pemerintahan, nilai-nilai tersebut tidak sungguh-sungguh diajarkan dan dirawat. Sejumlah orang dewasa tampak gagap mengendarai motor di jalanan dan anak-anak malah memakainya sebagai tunggangan penghibur sepulang sekolah. Perilaku jalan pintas agar cepat tiba di tujuan meski berbahaya lazim kita jumpai.
Lihatlah kebiasaan mlipir, mengambil jalan berlawanan arah dibiarkan berlangsung setiap saat. Hal yang kelihatan sepele ini dilakukan pula oleh warga di sekitar ringroad yang sebagian gelap dan pengendara cenderung memacu kendaraan dengan cepat. Memang, kesembronoan pengendara motor di Jakarta jauh lebih parah dibanding di kota ini. Pengendara adalah “raja,” menaiki trotoar dan berhenti di depan zebra cross bersama angkutan umum.
Media dapat memberitakan dengan lebih bermakna bahwa bukan hanya kecelakaan yang bisa dihindari tetapi juga kematian. Bila kehati-hatian menjadi habitus warga Indonesia niscaya jumlah kecelakaan akan berkurang dan dengan sendirinya kematian karena kecelakaan tidak terus bertambah. Tentu ada faktor di luar manusia seperti kelengkapan dan keamanan kendaraan, fasilitas dan kondisi jalan raya, kontur, rambu-rambu, penerangan. Ada usulan agar pemerintah membatasi silider mesin sepeda motor di bawah 100 cc seperti di Jepang dan Cina (KOMPAS.com, 18/8), tapi pedulikah pemerintah di tengah gencarnya produsen motor memompa produksinya hingga 10 juta di tahun 2014? Taklukkah pemerintah pada para kapitalis produsen motor dan mobil?
Penanaman sikap berhati-hati, disiplin, dan beretika yaitu menghormati diri sendiri dan sesama dalam berkendaraan memang bukan tugas media. Ini tugas semua manusia Indonesia dan pemerintah menjadi agen utama agar nilai-nilai ini ditekuni melalui pendidikan di sekolah dan kampus. Pemerintah Provinsi dan Dinas Pendidikan DIY telah mengawali dengan pendidikan etika berlalulintas di sekolah.
Meningkatnya kecelakaan dan kematian di jalan raya, apalagi saat lebaran, seharusnya juga menggugah berbagai kalangan masyarakat untuk segera turun tangan menggalang pemberdayaan dan pendampingan bagi kelompok-kelompok yang rentan terutama kalangan muda.
Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.