Media Melawan Korupsi

Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat, 27 September 2012

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Pengin diberitakan media? Mari korupsi! Maka foto atau tayangan  dengan segala gerak gerik kita akan muncul di beragam media, cetak, elektronik, online, juga jadi  buah bibir. Kita akan menjadi “tenar” karena  diberitakan setiap hari, bahkan setiap detik oleh media online. Tenar? Pasti tidak. Kemungkinan besar  kita akan tertekan, stres, pura-pura sakit, muntah-muntah, menangis, pakai tutup kepala, duduk di kursi roda, pingsan, masuk mobil ambulans atau mobil tahanan.

Semakin  “aneh” tingkah polah koruptor ketika berada di ruang publik, semakin banyak awak media yang meliputnya karena koruptor dan berbagai hal yang melekat di sekililingnya adalah nilai berita (news value). Apalagi kalau ia pernah atau sedang menduduki jabatan penting, terkenal, pengusaha besar, maka semakin banyak nilai berita yang dimiliki. Berita korupsi semacam ini memenuhi asas prominence atau keterkenalan sumber berita.

Sayang sekali,  media massa memburu koruptor atau “terduga” koruptor bukan untuk “menaikkan” popularitas seseorang. Sebaliknya, pemberitaan soal koruptor dilakukan begitu luas, massif, bersambung, karena media memiliki tugas penting yaitu melawan korupsi.

Tahun 2011 sebuah media di Jakarta melakukan jajak pendapat untuk melihat kepuasan khalayak terhadap media pasca pemerintahan Orde Baru. Temuan terpenting mengatakan bahwa media kini lebih dipercaya publik ketimbang tiga cabang kekuasaan politik lain. Popularitas dan peran media mengalahkan lembaga eksekutif, legislatif maupun yudisial. Temuan menarik lainnya, media cetak lebih dipercaya ketimbang media massa lainnya. Alasannya, karena media cetak menyajikan cerita lebih dalam, lebih bermakna, lebih teliti sedangkan media elektronik dan online acapkali kali ceroboh, sembrono, tidak akurat kendati cakupannya sangat luas.

September ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa pemberitaan korupsi meningkat tajam. Kata korupsi merupakan kosa kata yang tak pernah lepas dari media. Anda boleh membuktikannya sendiri, ada berapa puluh kata “korupsi” di teks berita halaman depan sebuah koran? Berapa puluh kali seorang pembawa berita mengucapkan kata ini setiap hari? Kata korupsi benar-benar mengelilingi kita, membanjir di sekitar kita dan menerobos masuk ke ruang-ruang pribadi kita, di telepon genggam, di televisi kamar tamu, dan di radio dalam mobil. Kata korupsi disemprotkan media setiap hari, setiap detik, tapi kapokkah para koruptor? Makin sedikitkah jumlah pejabat  yang tertangkap KPK dan dijebloskan ke penjara?

David Hill, seorang dosen dan peneliti media dari Universitas Murdock Australia mengatakan bahwa alam demokrasi di Indonesia akan terus berjalan menuju perbaikan karena media di Indonesia masih mampu menjalankan perannya dengan baik. Pers masih berperan penting dan menjadi salah satu penentu sistem demokrasi. Lalu, mengapa negara kita tidak juga beranjak status dari negara pemegang urutan teratas dalam perkara korupsi?  Mengapa demokrasi tidak juga membuat rakyat sejahtera?  Kita sepakat bahwa demokrasi masih dikuasai kaum elit, golongan atas, kasta terdidik. Demokrasi mestinya dimiliki rakyat kebanyakan, kalangan akar rumput, para bakul di pasar tradisional, petani di desa-desa, dan warga terpencil di pelosok tak terjangkau transportasi dan komunikasi.

Demokrasi hendaklah mengajak masyarakat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat diajak berembuk mengapa harga bensin akan dinaikkan, mengapa jalan raya harus dilebarkan, mengapa pengendara motor mesti  berperilaku  sopan dan tidak memasang knalpot bersuara  bising. Mengajak berembuk berarti memberi hormat, menyediakan ruang untuk bertemu dan berbicara, berbagi perasaan, kesulitan dan derita. Apabila banyak pemimpin di negeri ini menganut rumus ini niscaya masyarakat akan mudah diajak melakukan perubahan, termasuk mengubah tradisi, kebiasaan, dan sikap tidak jujur. Semakin banyak pejabat turun ke bawah, berdialog, maka media juga suka meliputnya dan tentu saja foto dan pernyataan sang pejabat akan tampil di mana-mana. Dengan demikian media menjalankan peran dasarnya yaitu menyebarkan informasi dan media masih harus melakukan peran lain yakni mendidik  warga masyarakat, pembaca, penonton, pengakses.

Mendidik apa lagi? Kembali ke topik perbincangan ini, media bertugas  mendidik warga dan khalayaknya untuk senantiasa bersikap jujur, mau memantau korupsi, melaporkan korupsi.  Dengan demikian perlawanan media terhadap korupsi makin bertenaga karena didukung oleh masyarakat, kalangan bawah selain kaum cerdik pandai.

*Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman