Menggugat Kepekaan Nurani Pengelola Televisi

Bernas Jogja, Selasa 12 Desember 2012

Oleh Bonaventura Satya Bharata

Akhir bulan November 2012, publik penikmat televisi Indonesia digegerkan dengan kasus sebuah acara reality show di salah satu televisi swasta yakni Supertrap Minggu. Tayangan acara ini pada Minggu malam (25/11/2012) mendapat teguran keras dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada tayangan acara tersebut, Supertrap Minggu melakukan penjebakan terhadap beberapa orang awam di sebuah toilet umum. Karena konsepnya didesain untuk menjebak orang yang akan menggunakan toilet umum, rekayasa terhadap toilet dilakukan  sedemikian rupa (menggunakan teknik hidrolik) sehingga bisa digerakkan. Bila pemirsa menonton tayangan tersebut, ada kesan penjebakan tersebut berhasil. Orang-orang yang menggunakan toilet tersebut pun banyak yang terkejut. Parahnya bahkan ada seorang target, yang karena terkejut, belum sempat membenahi penampilannya pada saat meninggalkan toilet tersebut. Adegan ini bahkan sempat direkam dan ditampilkan pada tayangan di Minggu malam tersebut. Protes masyarakat pun berdatangan. Mereka mengkritik keras lolosnya adegan tersebut ke layar kaca.

KPI menyatakan bahwa tayangan reality show ini melakukan beberapa pelanggaran yaitu pelanggaran atas norma kesopanan, hak privasi, dan penggolongan program siaran. KPI Pusat menerima aduan masyarakat sebanyak 1.109 buah  (melalui email, SMS, telepon, dan media jejaring sosial twitter) sampai dengan tanggal 27 November 2012 pukul 16.00 WIB (www.kpi.go.id diakses  8/12/2012). Masalahnya, keterkejutan pemirsa televisi tidak hanya berhenti sampai di sini. Dalam pertemuan dengan KPI, pengelola program acara berkilah, bahwa acara tersebut tidak  mengganggu privasi bahkan tidak membahayakan orang yang menjadi target penjebakan. Ini karena tayangan tersebut hanyalah rekayasa belaka. Orang-orang yang menjadi target adalah aktor atau pemain yang dibayar dan bersedia untuk menjadi korban penjebakan.

Justru inilah yang menjadi persoalan. Bagaimana mungkin sebuah acara reality show, yang seharusnya menyajikan realitas yang sesungguhnya, kemudian didesain untuk menjadi sebuah acara rekayasa belaka? John Vivian (2005 : 203) dalam bukunya The Media of Mass Communication menjelaskan bahwa reality show merupakan program acara yang dibintangi oleh orang-orang biasa (bukan aktor/aktris terkenal) yang berada dalam setting cerita yang sebenarnya (tidak direncanakan), walau masih diatur dalam sebuah skenario yang ditulis oleh produser. Menilik definisi ini tentu kita sebagai publik pemirsa dapat mempertanyakan apakah tayangan Supertrap Minggu  masih dapat disebut sebagai reality show? Apakah ini bukan pembohongan publik?

Perilaku pengelola televisi seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan. Publik tentu masih ingat narasumber bayaran untuk  makelar kasus (markus) di Mabes POLRI yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi berita sekitar  Maret dua tahun yang lalu. Oleh pengelola televisi berita yang bersangkutan, narasumber bayaran ini diminta mengaku sebagai salah satu pelaku makelar kasus di Mabes POLRI yang sudah berpengalaman lebih dari dua belas tahun. Untungnya, pihak kepolisian Indonesia berhasil membekuk narasumber palsu ini. Narasumber ini akhirnya memberikan pengakuan bahwa dirinya dibayar 1,5 juta rupiah untuk memberikan kesaksian palsu di televisi. Bila dibandingkan dengan kasus Supertrap, kasus narasumber bayaran ini tentu lebih parah karena dilakukan untuk talk show di tengah-tengah acara siaran berita. Ashadi Siregar (2010 : 2) menyatakan bahwa berita sebagai karya jurnalistik, tentu harus berbasis pada fakta, bukan fiksi.  Sebagai karya jurnalistik, tidaklah pada tempatnya untuk mengangkat fakta atau narasumber palsu (fiksi), karena perilaku ini masuk dalam kategori pembohongan publik.

Publik pemirsa bisa bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan tayangan kotak ajaib    kita? Mengapa televisi ‘tega’  membohongi pemirsanya sendiri? Untuk menjawab ini, kita perlu memahami konteks sosial yang melingkupi dunia pertelevisian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak akhir dasa warsa tahun 80-an, sebenarnya telah ada warna baru dari dunia televisi  Indonesia. Bila pada fase-fase sebelumnya televisi Indonesia hanya dihiasi oleh satu saluran saja (TVRI), maka pada tahun 1988, dimulailah siaran TV swasta pertama di Indonesia yakni RCTI. Berbeda dengan TVRI yang mengandalkan dana pemerintah melalui APBN, maka RCTI mendanai penyelenggaraan siarannya berbasis pada siaran iklan komersial. Karakter industri ini  mendominasi warna perkembangan televisi Indonesia di masa-masa berikutnya. Pasca lahirnya RCTI, disusul kemudian lahirnya SCTV (1990), TPI (1991), ANTV (1993), dan Indosiar (1995). Layar kaca pun semakin semarak dengan berbagai suguhan tayangan yang disiarkan oleh televisi-televisi ini.

Pada perkembangan berikutnya, dunia TV swasta semakin meriah pasca Orde Baru, menyusul kelahiran Metro TV (2000), Global TV (2000), TV 7 (yang kemudian menjadi Trans 7 pada 2005), dan Trans TV (2001), hingga akhirnya TV One (2008).  Belum lagi dengan adanya kebijakan penyelenggaraan siaran melalui UU No. 32 tahun 2002, bermunculanlah televisi-televisi swasta di tingkat lokal (daerah). Di Yogyakarta misalnya, berdiri Jogja TV, RBTV, dan ADi TV. Demikian pula dengan daerah lain, Surabaya dengan JTV, Semarang dengan Semarang TV, Borobudur TV, dan TVKU, kemudian Bali dengan Bali TV-nya dan masih banyak lagi. Pada perkembangan berikutnya, beberapa televisi ini bahkan membentuk korporasi (perusahaan besar), seperti RCTI, Global TV, dan TPI (yang sekarang menjadi MNC TV) bergabung dalam satu pengelolaan di bawah payung MNC Group. Demikian pula Trans TV dan Trans 7 (Grup Para atau yang sekarang dikenal sebagai CT Grup) dan akhirnya SCTV dan Indosiar yang juga bergabung dalam satu korporasi.

Semua perusahaan televisi yang telah disebutkan di atas,  dan masih banyak lagi TV swasta lokal, memiliki desain sebagai industri, yakni mengandalkan pendapatan melalui iklan komersial. Di sini eksistensi televisi swasta sangat tergantung pada perkembangan sektor ekonomi.  Masalah kemudian muncul karena perkembangan ekonomi yang ada di Indonesia sebenarnya belum mampu menopang kehadiran seluruh lembaga penyiaran televisi. Kapasitas ekonomi Indonesia melalui pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6% per tahun belum cukup untuk menghidupi secara layak semua stasiun televisi yang ada. Belum lagi kalau kita memperhitungkan industri media yang lain (cetak dan interaktif) yang juga mengandalkan  pendapatan iklan dalam perbincangan konteks sosial televisi ini. Akibatnya tentu bisa diduga, yakni kompetisi yang sangat sengit di antara semua lembaga penyiaran televisi.

Tekanan kompetisi industri yang sangat kuat ini memaksa para pengelola televisi mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat tetap bertahan. Mulai dari membuat program sendiri, mengandalkan produk dari rumah poduksi, sampai dengan membeli program asing. Aksi tiru meniru program acara pun menjadi hal lumrah. Masih ingat dalam bayangan kita ketika satu televisi memperkenalkan opera sabun (soap opera) dari Amerika Latin di awal dasa warsa 90-an, televisi lain mengikutinya. Demikian pula dengan fenomena film India (Bollywood), film Hongkog (Mandarin), sinetron striping, infotainment, film televisi (FTV), sampai akhirnya kontes pencarian bakat, dan juga reality show. Logika industri akhirnya mewarnai penampilan layar kaca di Indonesia, apa yang sedang laku di satu layar kaca, pasti akan ditiru oleh layar kaca yang lain.

Kompetisi di program acara berita juga tidak kalah seru. Walau bukan tampil dalam bentuk tiru-meniru seperti program acara lain, program acara berita memiliki logikanya sendiri. Perhatikan acara-acara berita televisi kita! Rata-rata mengangkat peristiwa yang bernuansa konflik dan kekerasan, mulai dari KPK vs Polri, gerakan sparatis vs tentara Indonesia, teroris vs Densus 88, konflik antar etnis dan agama, PSSI vs KPSI, sampai pada demo buruh menuntut upah yang layak, demo mahasiswa menolak kebijakan pencabutan subsidi BBM, dan juga berita-berita kriminal lainnya. Seolah tidak ada kata ‘damai dan aman’ untuk tinggal di Indonesia. Tidak mengherankan bila kemudian  muncul semacam jargon di program acara berita televisi kita, yakni good news is not news, but bad news is good news. Semakin sensasional atau bombastis sebuah peristiwa, semakin besar kemungkinan untuk diberitakan.

Dengan melihat ini semua, tidaklah mengherankan bila pengelola televisi akhirnya nekat mengambil jalan pintas dengan memanipulasi  program siaran, termasuk merekayasa realitas demi meraih keuntungan. Inilah yang terjadi pada tayangan reality show Supertrap dan kasus narasumber makelar kasus palsu. Uniknya dari semua ini adalah adanya kesadaran dari para pekerja media televisi pada tayangannya. Artinya pekerja media sebenarnya menyadari bila tayangan-tayangan yang ditampilkan tidak berkualitas baik dan dikelola dengan cara-cara yang salah. Namun mereka tak mampu berbuat banyak. Kendali ekonomi (kompetisi) via pemilik dan manajemen media yang bersangkutan akan mendominasi keputusan untuk memilih, apa yang bisa (baca : laku) ditayangkan dan apa yang tidak. Bila pun menolak justru akan berakibat buruk bagi pekerja media yang bersangkutan. Titik ekstrim yang paling buruk bagi pekerja media ini adalah dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Ini yang dialami oleh Luviana, seperti yang dinarasikan di www.remotivi.or.id (diakses 8/12/2012). Luviana merupakan perempuan pekerja media  dari sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia. Pada awal tahun 2012, ia justru diberhentikan oleh  lembaga media tempatnya bekerja akibat menuntut beberapa hal, salah satu di antaranya adalah perbaikan kualitas tayangan televisi

Muara dari carut marut persoalan ini adalah publik yang dirugikan.  Pemirsa sebagai publik tidak mudah mendapatkan tayangan yang baik dan berkualitas. Semakin banyak saluran televisi, tidaklah menjamin pemirsa untuk dapat memilih dan menyaksikan  semakin beragam acara. Bila sudah sampai pada kondisi seperti ini, hanya etika yang diharapkan mampu mengambil peranan. Etika komunikasi menjadi landasan bagi para penyelenggara penyiaran televisi di Indonesia (baik di level pemilik maupun manajemen), yang harusnya menyadari betapa penting memberikan tayangan siaran yang baik dan berkualitas bagi publik.

Haryatmoko (2007: 38) menuturkan mengapa etika komunikasi menjadi penting dan mendesak untuk diperhatkan oleh penyelenggara siaran, yakni bahwa : 1) media, termasuk  televisi, memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar bagi pubik; 2) etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab; 3) etika komunikasi menjadi penting untuk mencegah kedangkalan berpikir penyelenggara media yang dapat mengabaikan nilai dan makna dalam komunikasi bermedia. Bila etika komunikasi ini mendapatkan perhatian yang memadai dari para penyelenggara siaran televisi, sedikit banyak publik bisa bernapas lega dengan mendapatkan garansi akan tayangan yang sehat, berkualitas, sekaligus layak dipercaya.

*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si., staf Pengajar Progam Studi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman