Quo Vadis Pariwisata Yogyakarta?

Bernas Jogja, Selasa, 9 Januari 2013

Oleh Lucinda

Liburan Natal dan Tahun Baru yang baru saja berlalu membuat warga Yogyakarta kembali menyaksikan banjir kunjungan wisatawan. Tidak hanya itu, Yogyakarta juga penuh sesak oleh kendaraan bermotor, baik bus maupun kendaraan pribadi pembawa  wisatawan dalam rombongan besar dan kecil. Jalan-jalan di Yogyakarta  menuju tempat wisata dan pusat perbelanjaan macet cukup panjang. Kemacetan diperparah dengan banyaknya kendaraan pribadi yang diparkir di badan jalan sekitar toko dan mal.

Pusat perbelanjaan yang semakin menjamur sebenarnya juga merupakan bagian dari berkembangnya pariwisata  yang ingin memberikan keleluasaan dan kemudahan untuk berbelanja. Sayangnya, banyak pusat perbelanjaan tidak menyediakan lahan parkir memadai sehingga kendaraan pengunjung diparkir di badan jalan yang menambah kemacetan, khususnya di masa liburan.

Data Dinas Pengelolaan Kas dan Aset Daerah DIY yang dimuat media lokal menunjukkan sampai bulan Oktober 2012 ada pertambahan sekitar 105 ribu unit kendaraan bermotor baru. Dengan jumlah jalan yang hampir tidak bertambah, bisa dibayangkan sesaknya jalan-jalan di Yogyakarta. Dalam kondisi normal,  banyak ruas jalan macet dipenuhi oleh kendaraan yang terus bertambah setiap tahunnya, terutama di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

Media cetak dan elektronik memaparkan bagaimana sesak dan macetnya Yogyakarta selama liburan lalu. Walau kemacetan dan antrian panjang kendaraan berpusat di tempat-tempat wisata dan pusat perbelanjaan, namun pertambahan kendaraan yang membawa rombongan wisatawan ke Yogyakarta membuat tidak nyaman warga dan wisatawan sendiri. Kemacetan di kota ini mulai menyerupai kemacetan di Jakarta, dan membayangkan Yogyakarta macet seperti Jakarta membuat miris, apalagi selama ini Yogyakarta terkenal dengan suasana nyaman, bagi warga maupun pendatang.

Hotel menambah masalah?

            Sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia, Yogyakarta selalu penuh dengan wisatawan terutama saat liburan. Hotel-hotel berbintang hingga hotel melati harus dipesan jauh hari  bila ingin menginap di Yogyakarta. Kamar penginapan tidak pernah cukup untuk menampung banjir wisatawan, bahkan karena kehabisan kamar pada liburan Natal dan Tahun Baru tahun 2011 dan 2012, ada wisatawan yang terpaksa menginap di mushala UPT Malioboro.

Tingginya jumlah wisatawan memunculkan homestay atau rumah yang berubah fungsi menjadi penginapan sederhana dengan hanya beberapa kamar seperti di Sleman dan Kota. Tidak tertampungnya seluruh wisatawan  juga menjadi alasan  dibangunnya hotel di DIY. Menurut data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Yogyakarta memiliki 42 hotel berbintang dan 382 hotel non-bintang dengan kapasitas 20 ribu kamar. Tahun 2013, para investor akan membangun lagi 10 hotel berbintang dan 12 hotel non-bintang dengan tambahan kamar sekitar delapan ribu buah.

Di satu sisi, bertambahnya hotel dan homestay merupakan hal yang baik bagi kenyamanan  akomodasi wisatawan. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran di kalangan PHRI bahwa jumlah hotel yang semakin banyak akan menimbulkan persaingan tidak sehat  terutama pada masa low season atau masa sepi pengunjung. Dalam masa ini tingkat hunian hotel  sangat rendah, sementara biaya operasional seperti gaji karyawan dan biaya pemeliharaan terus berjalan. Dalam kondisi seperti ini, pengusaha hotel akan memberikan penawaran harga yang sangat rendah untuk menjaring konsumen sehingga memunculkan perang tarif yang tidak sehat di kalangan mereka sendiri.

Kesimpulannya, membangun hotel baru dalam upaya menampung wisatawan dalam masa peak season mungkin bukanlah solusi yang tepat mengingat konsekuensi anggaran yang harus ditanggung pengusaha hotel pada masa low season. Selain perang tarif, cukup banyak hotel berbintang gencar melakukan promosi dan persuasi kepada lembaga dan individu agar anggotanya  dapat menikmati berbagai fasilitas hotel dengan imin-iming diskon dan fasilitas tertentu. Bisa jadi upaya ini adalah cara  untuk menutup biaya operasional hotel kala minim kunjungan wisatawan. Bisa dibayangkan bagaimana sengitnya persaingan hotel di Yogyakarta dengan penambahan 22 hotel baru pada tahun 2013.

Quo vadis?

Apa hubungan  kemacetan dan bertambahnya jumlah hotel di Yogyakarta? Jelas erat kaitannya karena pariwisata berkaitan dengan banyak sektor, termasuk perhubungan. Pembangunan hotel seharusnya mempertimbangkan ketersediaan jalan dan fasilitasnya. Dengan ruas jalan yang ada  di Yogyakarta, kita menyaksikan parahnya kemacetan  pada masa liburan. Penambahan hotel berarti juga penambahan kapasitas untuk wisatawan. Bertambahanya wisatawan berarti bertambahnya alat transportasi  keluar masuk DIY. Apakah Yogyakarta dan warganya siap dengan bertambahnya wisatawan dan kendaraan bermotor yang akan semakin menambah kemacetan dan kesesakan?

Walau tidak bisa dipungkiri kedatangan wisatawan memberikan dampak ekonomi yang besar, berbagai fasilitas pendukung dari  sektor lain seperti  jalan yang memadai dan lancar serta rambu yang jelas harus tersedia. Kemacetan dan kesesakan akibat melimpahnya wisawatan tidak hanya membuat mereka tidak nyaman dan tidak puas menikmati atraksi wisata di Yogyakarta karena kehilangan banyak waktu akibat macet, namun kondisi ini juga membuat warga  merasa tidak nyaman dengan kotanya sendiri ketika harus bepergian ke berbagai tempat. Resiko ketinggalan pesawat atau kereta api karena terhalang macet menuju bandara atau stasiun di masa liburan mulai menjadi menjadi momok bagi warga dan wisatawan.

Walau sudah ada upaya mengantisipasi kemacetan di musim liburan, seperti pengaturan dan pengalihan arus lalu lintas, kemacetan di Yogyakarta dari tahun ke tahun  semakin parah. Kemacetan  diperparah oleh banjir di berbagai ruas jalan utama dan bahkan jalan-jalan kampung. Beberapa tahun terakhir ini, banjir di berbagai jalan di Yogyakarta membuat jengkel dan tidak nyaman pengguna jalan. Hujan deras sebentar saja sudah cukup membuat genangan air besar di jalan. Liburan Natal dan akhir tahun lalu juga demikian, antrian kendaraan pengangkut wisatawan yang mengular masih ditambah bonus pemandangan genangan air di mana-mana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak jalan di Yogyakarta yang diperlebar dengan cara menutup selokan atau saluran air yang kemudian disemen atau diaspal sehingga hanya menyisakan lubang-lubang kecil yang tidak mampu mengalirkan air dengan cepat ke dalam drainase. Akibatnya terjadi banjir yang mempercepat kerusakan jalan dan kondisi  ini jelas tidak memberikan citra positif bagi pariwisata kota ini.

Pengelolaan pariwisata tidak bisa hanya ditangani pelaku wisata, tetapi terintegrasi dengan dinas atau sektor lain. Pembuat kebijakan  perlu berkoordinasi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) agar kebijakan yang diambil dapat diterapkan maksimal karena didukung  Dinas Perizinan, Perhubungan, Pekerjaan Umum. Kenyataan di lapangan  menunjukkan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri sehingga muncul berbagai persoalan yang seharusnya sudah bisa diantisipasi, seperti kemacetan dan kekurangan lahan parkir di masa-masa liburan, serta banjir dan jalan-jalan rusak. Tanpa koordinasi, pariwisata Yogyakarta akan terkena imbasnya karena salah satu aspek sukses pariwisata adalah mampu membuat  wisatawan merasa nyaman. Benarkah  Yogyakarta siap menjadi kota wisata yang nyaman bagi wisatawan dan juga warganya?

*Lucinda, staf Pengajar Prodi Sosiologi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saat ini sedang studi S3 Prodi Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada.

Search

Pengumuman