Kemana Semangat Fuad M.Syafruddin?

Lukas S. Ispandriarno

Bernas Jogja, Selasa, 6 Agustus 2013

Setiap bulan Agustus kalangan pers mengenang wafat Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Dari belasan buku yang ditulis menghormati kepergiannya (16/8/96), jurnalis harian Bernas ini disebut sebagai sosok jujur dan tekun menjalani profesi meski nyrempet-nyrempet bahaya. Ia menggali informasi di lembaga publik, di kantor kalurahan hingga kabupaten, dari kepolisian hingga pengadilan. Ia sosok wartawan dengan produktifitas tinggi, menghasilkan antara 100-200 berita per bulan (Marajo, 2007: 43). Udin dikenang sebagai jurnalis kritis, menyajikan informasi yang sebenarnya “biasa-biasa saja” namun terjadi di era Orde Baru yang represif, menindas, tidak enak. Memasuki 17 tahun penggelapan pengusutan kasus ini, masih adakah jurnalis yang bersemangat seperti Udin?

Dua tahun setelah kepergiannya, sistem politik republik ini berangsur-angsur berubah mengarah ke demokratik. Kemerdekaan pers makin dihargai, media massa dapat lebih menyuarakan berbagai persoalan warga masyarakat ataupun kebobrokan negara. Hampir-hampir tidak ada hambatan bagi pers dan media massa pada umumnya menjalankan fungsi penyalur informasi, penghibur, maupun penjaga nilai-nilai demokrasi yang masih belum sepenuhnya dimaknai dengan benar. Di era reformasi, hambatan terbesar justru datang dari kalangan internal media yaitu para pemilik dan redaksi. Di satu pihak pemilik menghendaki medianya semakin berkualitas dengan menyajikan informasi beragam dan mencerahkan khalayak. Di pihak lain, redaksi terus digoda menyuguhkan informasi instan, cepat, tidak bermutu, dangkal, sekadar menggugah sensasi sehingga laku diakses khalayak. Godaan lain datang dari kalangan industri, pemerintah dan politisi yang menyisipkan pesan dalam rupa iklan, berita, citra, ide, dan pengaruh.

Demokrasi, yang dinyatakan dalam wujud kemerdekaan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan menyatakan pendapat, kemerdekaan mendapatkan informasi, tidak ada di kala Udin bertugas. Pada waktu itu, khususnya tahun 1994-1996, disebut sebagai puncak keperkasaan Orba yang berarti era yang sangat represif, menekan, menindas. Tahun 1994 kalangan media dihebohkan pemberangusan tiga majalah, Detik, Editor dan khususnya Tempo. Masing-masing majalah dianggap memiliki kesalahan berbeda, dari sekadar administratif seperti perizinan hingga politis yaitu menyinggung simbol-simbol kenegaraan, nama baik Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie sekaligus Pimpinan Golkar dan wulu cumbu Presiden Suharto. Tempo dianggap bersalah memberitakan tenggelamnya kapal eks Jerman Timur dan menelisik riwayat pembelian kapal bikin Uni Soviet itu.

Dalam rentang waktu 1995 hingga Agustus 1996, terdapat tiga topik pemberitaan di harian Bernas yang berkenaan dengan liputan Udin. Ketiganya, permasalahan Desa, Mega Proyek Parangtritis dan Isu Politik Bantul memiliki derajat sensivitas cukup tinggi bagi subyek pemberitaan (Hendratmoko, 1977: 28). Mega proyek pembangunan sarana wisata komersial di kawasan pantai Parangtritis yang akan memakan areal 206 hektar melibatkan sumber-sumber informasi seperti Sekwilda, Bupati, anggota DPRD, Bappeda hingga pemilik penginapan maupun warga sekitar proyek. Udin menulis berita “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis” (Bernas, 16/8/95).

Dalam permasalahan desa Udin mengulas kerugian petani penyewa tanah sawah. Ia juga menulis derita petani dusun Kalangan, Bangunjiwo, Kasihan Bantul karena tanamannya yang berumur satu bulan dicabuti petugas (Bernas, 13/1/96). Harian ini (8/7/96) juga mengangkat judul hasil liputan Udin misalnya “Mantan Camat Banguntapan Diperkarakan.” Informasi yang digali Udin tidak hanya berkisar wilayah Bantul, namun juga Kulonprogro seperti berita bertajuk “Suara Calon Tunggal Di Bawah 50 persen, Pilkades Diulang” (Bernas, 19/1/96).

Dalam isu politik, khususnya pemilihan Bupati Bantul periode 1996-2001, liputan-liputan Udin menghiasi koran Bernas. Patut dicatat bahwa sebagai penyangga keperkasaan Orba, militer memegang kekuasaan politik di parlemen, selain di eksekutif. Kala itu dikenal istilah Dwi Fungsi ABRI, di mana angkatan bersenjata (termasuk kepolisian) memainkan dua peran sekaligus, di dunia militer (pertahanan dan keamanan) dan di dunia politik, bisa menjabat bupati, walikota, gubernur, menteri serta anggota DPR. Oleh karena itu berita pemilihan bupati memunculkan nama-nama dari kalangan militer. Perebutan kursi bupati Bantul melibatkan nama seperti Kolonel Iwan Supardji (Ketua DPRD Sragen), Kolonel Sugiharjo (Ketua DPRD Magelang), Kolonel Suryadi dari Kodam V/Diponegoro, bahkan muncul kembali nama Kolonel Sri Roso Sudarmo, yang sebenarnya tidak bisa dicalonkan lagi. Isu politik semakin panas ketika Bernas (29/5/96) menulis judul “DPRD Bantul Terima Surat Kaleng.” Intinya, seorang bakal calon yang tidak lain Sri Roso Sudarmo menyatakan sanggup membayar Rp 1 milyar kepada Yayasan Dharmais bila berhasil duduk kembali sebagai bupati (Hendratmoko, 1977:39-42).

Berita-berita itu tentu “bukan biasa-biasa saja” di era represif, nir kemerdekaan pers. Sebaliknya berita politik seperti itu sudah sangat jamak di era demokrasi saat ini. Hampir setiap hari kita membaca berita berisi kritik terhadap presiden, gubernur, bupati, walikota, camat. Juga kritik atas korupsi yang terjadi di DPRD, di partai politik, di pemerintahan kabupaten, di berbagai Kementrian dan Dinas, di Kepolisian dan Kemiliteran. Kendati demikian, dalam praktik, masih cukup banyak media yang tidak mampu bersikap kritis atas berbagai persoalan yang melibatkan lembaga tertentu, termasuk instansi militer. Dalam kasus penyerbuan lembaga pemasyarakatan Cebongan misalnya sejumlah berita media massa, termasuk Bernas, cenderung mendukung ide atau gagasan penyelesaian kejahatan dengan kejahatan atau kekerasan.

Dalam era demokrasi, penggunaan kekerasan (pembunuhan) oleh lembaga negara atas warga sipil sebagai sebuah bentuk penyelesaian masalah sama sekali tidak layak. Apabila cara-ara semacam ini terus menerus dipraktikkan, didukung dan disebarluaskan media massa, maka masyarakat akan menirunya. Ide dan praktik seperti ini hanya hidup di zaman otoriter. Sebagai bagian dari pilar penyangga demokrasi, para jurnalis era kini mesti meniru semangat Udin membela kebenaran, membela rakyat kecil dari kesewenang-wenangan.
Sebagai jurnalis, almarhum Udin dikenang sesama wartawan sebagai sosok beretos kerja mengagumkan.

Sobirin, seorang wartawan Kedaulatan Rakyat menyatakan kenangan tak terlupakan ketika ia harus memburu narasumber di kawasan Parangtritis. “Pakai saja motor ini daripada motormu macet di jalan” kata Udin menawarkan Honda Tiger 200 miliknya kepada Sobirin yang menggunakan Yamaha LS2 100 buatan 1977. Kesaksian lain dikemukaan Kolonel Kamil Sugema, Ketua DPRD II Bantul. “Udin tidak pernah membuat ulah dengan tulisan-tulisannya yang merepotkan dewan. Kalaupun ada yang salah karena mungkin pemotongan dari redakturnya, pagi harinya ia datang menjelaskan persoalannya. Dia meminta maaf kepada saya.” Sahlan Said SH, hakim di Bantul, menuturkan: “Udin tidak segan-segan bertanya kepada saya dalam penulisan materi pengadilan karena menyadari bukan seorang sarjana hukum. Yang perlu diungkapkan fakta, bukan opini.” (Prasetya dkk, 1999: 162-164).

Para jurnalis di harian ini serta kalangan media di manapun mesti belajar dari Udin untuk mengawal masa transisi menuju demokrasi yang lebih kuat, lebih terkonsolidasi. Kemerdekaan pers tidak ada artinya bila hanya dipakai menyokong ide-ide represif berwatak kekerasan.

*Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Koordinator Masyarakat Peduli Media (MPM) DIY.

Search

Pengumuman