Haruskah Citra Dipengaruhi Media?

Bernas Jogja, Selasa 19 November 2013


Oleh: Theresia D. Wulandari*

Minggu lalu (14/11/2013) media memberitakan kericuhan sidang  di Mahkamah Konstitusi (MK). Kericuhan yang dipicu oleh amuk massa itu terjadi di tengah  pengucapan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku tahun 2013.

Secara kronologis, siang itu majelis hakim membacakan amar putusan untuk tiga perkara yang didaftarkan pasangan Herman Adrian Koedoeboen-M Daud Sangadji dan melibatkan tiga pasangan calon, yaitu Abdullah Tuasikal-Hendrik Lewerissa (nomor urut 1), Jacobus F Puttileihalat-Arifin Tapi Oyihoe (2), dan Herman Adrian Koedoeboen-M Daud Sangadji (4). Pihak termohon dalam perkara PHPU adalah pasangan Abdullah Vanath-Marthin Jonas Maspaitella (3) dan pihak terkait adalah pasangan Said Assagaff-Zeth Sahuburua (5).

Saat sidang pengucapan putusan dilakukan Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva tepat  pukul 12.00, terjadi amuk massa yang diduga dilakukan kelompok pendukung pasangan Herman Adrian Koedoeboen-M Daud Sangadji. Menurut keterangan polisi, amuk massa yang disertai dengan pengerusakan ini disebabkan  ketidakpuasan massa pendukung pasangan Herman Adrian Koedoeboen-M Daud Sangadji terhadap gugatan yang ditolak MK. Kursi dijungkirbalikkan, kaca papan pengumuman dipecah,  tiga monitor di depan ruang sidang berantakan.

Beragam reaksi muncul menanggapi kejadian ini. Peristiwa yang menambah daftar hitam MK ini diduga sebagai imbas kasus suap Akil Mochtar. Akibatnya, citra lembaga tinggi negara buruk dan kinerjanya dianggap tidak bisa dipercaya lagi. Dengan kata lain, apapun putusan yang lahir dari hakim-hakim MK dicurigai tidak lagi obyektif  dan sarat praktek suap, sama seperti  dilakukan Akil Mochtar.

Namun Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan, skeptisisme terhadap kinerja MA tidak sepenuhnya dipengaruhi  kasus Akil Mochtar saja. Skeptisime  muncul akibat persepsi publik yang kadung dipengaruhi opini-opini yang muncul dari argumen para pengamat  di media massa. Akbar menilai, pasca kasus Akil Mochtar, banyak pengamat menghujat lembaga tinggi negara tersebut dan menimbulkan resistensi serta skeptisisme masif. Betulkah demikian?

Teori efek media yang salah satunya dikemukakan oleh bapak ilmu komunikasi Wilbur Schramm menyebutkan bahwa media massa turut memainkan peranan  penting dalam mempengaruhi audiens. Pengaruh itu bahkan mampu mengubah persepsi pemirsa terhadap realitas sosial yang dihadapi sebagai akibat paparan pesan-pesan komunikasi massa.
Paham inilah  banyak diadopsi  sejumlah pihak yang mengupayakan membangun citra lewat media massa. Terlebih menjelang suksesi 2014, banyak kandidat  beramai-ramai memanfaatkan peluang pencitraan melalui media massa. Iklan politik, website dan blog berita pribadi, bahkan program acara televisi, menjadi ajang pamer dan unjuk gigi para kandidat. Harapannya, pencitraan positif  akan berdampak pada
elektabilitas calon kandidat. 

Menilik sense extension theory yang digagas Marshall McLuhan, pengaruh media massa bukan hanya pada tataran kognitif (pengetahuan terhadap informasi yang disampaikan media), namun afektif (emosi, perasaan) dan behaviour (perilaku) pemirsanya. Asumsi ini muncul karena pemirsa banyak mencerna media massa melalui informasi yang dilaporkan media tersebut. Namun jangan lupa, salah satu faktor efek afeksi media massa adalah tingkat identifikasi khalayak dengan tokoh.

Persepsi publik terhadap informasi yang ditampilkan media massa ditransformasikan kepada pengetahuan mereka terhadap tokoh atau informasi yang tampil di media massa.
Salah satunya tercermin pada sosok Gubernur Provinsi Bali I Made Mangku Pastika. Meski mantan Ketua Tim Investigasi Bom Bali ini menjadi “musuh” salah satu media massa besar dan berpengaruh di provinsi tersebut, tidak memengaruhi elektabiltas Mangku Pastika pada Pilgub 2013. Sebuah hipotesa muncul,
elektabiltasMangku Pastika bukan karena paparan negatif media saja, namun kinerja yang sudah dia tunjukkan selama masih aktif berkarir di Polri maupun menjadi gubernur Bali periode sebelumnya.

Bisa jadi, apa yang dilakukan sejumlah tokoh demi mendongkrak popularitas mereka melalui pencitraan di media massa akan percuma saja. Selama publik skeptis dengan prestasi mereka, sosok yang minim prestasi dalam karir  sulit mendapat kepercayaan massa. Sebaliknya, sosok yang mencatat portofolio kerja baik, otomatis citranya baik di mata masyarakat.

Survei terbaru Pusat Data Bersatu (PDB) menyebutkan, Joko Widodo atau  yang akrab disapa Jokowi menempati urutan paling atas sebagai sosok yang pantas memimpin RI di 2014. Namanya kembali mencuat dalam survei Indonesia Network Election Survei (INES) yang memaparkan hasil survei Elektabilitas Parpol dan Capres Pemilu 2014 dan menyebut nama Jokowi sejajar dengan kandidat lain, yaitu Prabowo, Hatta Rajasa, dan Megawati.
Siapa tidak kenal Jokowi. Setelah sukses memimpin Solo, gebrakan mantan Walikota Solo ini tidak kalah sukses di Jakarta dengan menata kampung, waduk rusun, dan pasar. Maka tidak heran jika bukan hanya warga Jakarta saja yang puas dengan kinerja Jokowi, bangsa Indonesia seakan percaya dengan sosok kepemimpinannya.

Maka, menjadi pekerjaan rumah besar bagi MK jika ingin mengembalikan kepercayaan agar kinerjanya dipercaya publik. Bukan hanya sekedar membela diri atas banyak komentar negatif para pengamat, atau memasang pencitraan lewat iklan semata, namun MK harus dapat membuktikan bahwa kinerjanya memang dapat dipercaya. Sama halnya dengan KPK yang namanya sempat dilanda krisis kepercayaan pasca kasus yang melibatkan Antasari Azhar. Kini kepercayaan publik kembali pulih dengan banyak prestasi KPK membabat habis tindak pidana korupsi para pejabat publik. Lalu, bagaimana dengan MK?

* Theresia D. Wulandari, tenaga pengajar di bidang Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman