Berkendara yang Berbudaya

Bernas Jogja, Selasa, 3 Desember 2013

Oleh Amelberga Vita Astuti

Awal tahun ini, Lucinda menulis tentang kemacetan di Yogyakarta yang terutama disebabkan oleh berkembangnya pariwisata dan tidak adanya kesiapan fisik jalan di dalam kota (“Quo Vadis  Pariwisata Yogyakarta?”, Bernas, 9 Januari 2013). Namun, sampai penghujung tahun ini, kota Yogyakarta tetap macet secara keseharian, bukan karena dampak pariwisata saja. Tidak hanya ketika masa liburan sekolah dan libur panjang, hari-hari biasa pada jam sibuk pun kendaraan berduyun-duyun menjadi pemandangan rutin. Fisik kota yang tak banyak berubah dan naiknya jumlah kendaraan roda dua dan empat yang tidak bisa dielakkan membuat pengendara mempunyai solusi sendiri di tengah kemacetan tersebut, yaitu meningkatkan kegesitan berkendara yang cenderung menjadi ngawur. Apakah solusi ini bijak dan menyelesaikan masalah? Dalam hal kepentingan pribadi, tujuan bisa dikatakan tercapai, bagaimana dengan kepentingan umum? Saya mencoba membagi pengamatan saya ketika kembali ke Yogyakarta setelah tiga tahun meninggalkan negeri ini.

Setahun terakhir ini banyak ditawarkan berbagai analisa penyebab kemacetan Yogyakarta dan solusi yang sepertinya tidak menyelesaikan masalah. Pakar transportasi UGM, Prof. Dr. Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc. berpendapat bahwa banyaknya kendaraan pribadi menjadi salah satu faktor terbesar penyebab kemacetan. Ahmad menghitung kendaraan pribadi sejumlah 81 persen dan sepeda motor menempati porsi 74 persen sendiri, sedangkan kendaraan umum seperti bus hanya sejumlah 10 persen (Kompas, 08/03). Kabid Anggaran Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset DIY, Gamal Suwantoro mencatat, ada sekitar 1,4 juta kendaraan yang terdaftar di seluruh DIY  (Tribun Jogja, 21/09). Sepertinya kebijakan mobil murah pun akan menambah prosentase kendaraan pribadi tersebut (Suara Merdeka, 30/09).

Dengan perhitungan di atas, Ahmad mengusulkan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan berpindah ke kendaraan umum. Pakar transportasi ini juga menawarkan solusi dengan cara pemerintah menyediakan kantong-kantong parkir yang mengurangi pemakaian badan jalan. Saran penggunaan angkutan umum didukung oleh Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Windarto Koeswandono walaupun dia pesimis akan adanya perubahan budaya ini (Pikiran Rakyat, 26/09). Windarto bahkan menyarankan warga lokal harus cermat membaca kepadatan jalan untuk menghindari  kemacetan dengan cara mengamati jam-jam sibuk atau jalur-jalur sepi. Windarto juga menyampaikan bahwa kantor dinasnya akan mengoptimalkan penggunaan Area Traffic Control System (ATCS) yang bisa diatur secara terpusat. Senada dengan ini, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa Pemerintah Daerah akan menerapkan manajemen lalu lintas di Yogyakarta (Antaranews, 25/09). Contoh yang diberikan adalah penggunaan jembatan layang yang menyelesaikan masalah di kota Seoul, Korea Selatan.

Selain para pakar dan pejabat pemerintahan, masyarakat umum juga mengamati dan mencoba mencari solusi kemacetan di Yogyakarta. Cahya Tunshorin (Kompasiana, 25/10) menduga jalanan macet merata dari pagi, siang sampai malam dan sampai ke gang-gang kecil karena banyaknya event yang diselenggarakan pada malam hari. Dalam sehari banyak pengendara yang keluar rumah tidak hanya untuk bersekolah atau bekerja, tapi juga mencari hiburan. Menariknya, ada yang keluar rumah tidak punya tujuan yang jelas, “hanya muter-muter saja”. Bisa disimpulkan Yogyakarta sudah seperti New York, kota yang tak pernah tidur, sehingga plesetan nama “Newyorkarta” menjadi cocok. Cahya melihat penggunaan jalur jalan ring-road menjadi pilihan mencari kelancaran walau beresiko rute menjadi jauh. Keluhan Naillin Nafiah lain lagi. Karena penyempitan jalan dan penggunaan trotoar oleh pedagang kaki lima dan area parkir, menurutnya, ‘lalu lintas’ pejalan kaki juga ikut macet (Kompasiana, 08/10).

Ungkapan the penalty of popularity seakan juga sudah menjadi bagian dari kota Yogyakarta. Predikat sebagai Kota Wisata, Kota Budaya, Kota Pelajar dan Kota Pensiunan, menurut saya, menjadi kontribusi utama kemacetan selain semua penyebab teknis yang sudah diungkapkan sebelumnya. Selain banyak berkembangnya fasilitas bangunan yang mendukung predikat tersebut,seperti hotel dan mall, jumlah penduduk dan alat transportasi yang digunakan juga meningkat seiring dengan naiknya jumlah predikat yang ada.

Saya mengamati, arti semua predikat yang disandang kota Yogyakarta tersebut ironisnya tidak sebanding dengan tingkah laku pengendara di jalan. Seperti yang diungkapkan oleh Sartono Kusumaningrat (Tembi.org), Yogyakarta banyak dipenuhi pengendara yang sembrono, nekat dan ngawur yang malah memperparah kemacetan kota.  Kota menjadi tidak nyaman, pengendaranya banyak yang tidak berbudaya dan tidak menunjukkan sebagai kaum terpelajar. Apalagi walau dikatakan sebagai kota bagi para pensiunan, kedamaian di jalan sudah susah ditemukan.  

Karena fisik kota yang tidak bisa kita ubah dengan cepat dan murah, juga bertambahnya jumlah pengendara yang tidak bisa kita elakkan, saya berpendapat bahwa perubahan tingkah laku pengendara menjadi berbudaya dan berjiwa pemakai SIM resmi akan mengurangi kemacetan lalu lintas. Cara menjadi pengendara yang berbudaya sederhana saja. Hanya ada dua hal yang mendasar: berbudaya antri dan berbudaya saling menghormati dalam berlalu lintas. Berbudaya antri diwujudkan dengan berhenti di lampu merah sesuai marka dan tidak saling mendahului. Saling menghormati di jalan ditunjukkan dengan cara menghormati hak-hak orang lain dan mendahulukan kepentingan umum. Sederhana. Ini mengingatkan kita pada pelajaran SD bukan?

Sebagai contoh pengendara tidak berbudaya sering saya temui di perhentian palang kereta api. Ketika palang ditutup untuk kereta api lewat, badan jalan di kedua jalur selalu dipenuhi kendaraan satu jalur dan ketika palang dibuka, para pengendara saling berebut yang membuat lalu lintas semrawut dan tidak lancar. Saya berikan contoh pengendara yang berbudaya di kasus lain. Bila lampu masih hijau tetapi jalur di seberangnya penuh, pengendara harus tetap antri di area lampu lalu lintas, menunggu adanya ruang kosong di jalurnya, tidak tetap memaksa maju dan berhenti atau ”antri” di tengah perempatan untuk menunggu. Bila tengah perempatan tetap kosong, jalur pengendara lain yang mendapat lampu hijau tetap bisa berhak mendapatkan kesempatannya. Dengan “berbudaya antri dan saling menghormati dalam berlalu lintas” seperti ini, semua akan mendapat haknya dengan adil, sehingga lalu lintas tetap lancar.

Bila semua pengendara lulus mendapatkan SIM melalui ujian lengkap, tertulis dan praktek, dan tetap selalu menaati peraturan lalu lintas, kemacetan yang disebabkan oleh pengendara tidak seharusnya terjadi. Bila kita ingat, dalam ujian SIM tertulis terdapat soal bergambar yang menanyakan tentang kendaraan mana yang mendapat prioritas di perempatan untuk berjalan terlebih dahulu. Jawab yang benar adalah: pengemudi kendaraan yang berada pada lajur paling kanan. Satu hal kecil ini saja bila “semua” pengendara patuh pada aturan ini digabungkan dengan berkendara dengan berbudaya di atas, saya yakin lalu lintas akan menjadi lancar. Kadang lajur kanan terlalu panjang, tapi budaya saling menghormati akan membuat pengendara di lajur kanan peka dan pada saatnya akan berhenti untuk memberi kesempatan lajur kiri yang sudah terlalu lama menunggu.

Dengan demikian, sebaiknya pengendara meningkatkan kegesitannya untuk keamanan dan kelancaran bersama dalam berlalu lintas. Gesit yang santun, berbudaya dan tahu aturan. Niscaya, kota Yogyakarta bisa tetap menjadi Kota Wisata, Kota Budaya, Kota Pelajar dan Kota Pensiunan, yang lalu lintasnya indah, nyaman, tertib dan damai.

 

*Amelberga Vita Astuti, dosen Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, sedang studi lanjut doktoral di Monash University, Australia.

 

 

 

Search

Pengumuman