Wajah Sebagai Atribut Citra

Bernas Jogja, Selasa 10 Desember 2013

Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas*

 

Masih ramai dibicarakan berbagai media mengenai gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang dianggap memiliki wajah termahal di Indonesia. Bagaimana tidak? Wajah Ratu Atut saat ini disinyalir berharga Rp1 milyar. Harga tersebut merupakan penjumlahan serangkaian operasi plastik yang dijalani untuk memperoleh wajah sebagaimana  diharapkan siempunya. Tidaklah mengherankan manakala pada usia setengah abad, wajah Ratu Atut bak gadis belasan tahun tanpa kerutan, mulus tak bernoda.

Bukan hanya Ratu Atut yang sangat peduli dengan setiap inci bagian wajahnya, sebut saja raja pop legendaris dunia Michael Jackson, rutin melakukan operasi plastik wajah. Jackson bahkan menginginkan wajah yang sangat berbeda dengan realitas dirinya. Sebagai seorang Negro, Jackson tidak mengharapkan kulitnya berwarna hitam.

Bicara mengenai wajah barangkali bukan hanya Ratu Atut dan Michael Jackson yang berupaya keras melakukan metamorfosis, namun masih banyak  pribadi lain melakukan hal yang sama. Para pejabat tinggi negara, artis, masyarakat kebanyakan, bahkan  76% remaja  di negara Korea  telah melakukan operasi plastik wajah  di usia 20an.

Untuk mendapatkan hasil operasi plastik yang memuaskan  pada wajah,  dibutuhkan sejumlah harga spektakuler. Tidak hanya uang, namun juga kesakitan ragawi yang harus dilalui sebagai sebuah proses menuju kesempurnaan hasil. Belum lagi lamanya waktu pemulihan dan serangkaian pantangan yang harus dihadapi. Namun orang rela melakukan hal tersebut dan sangat sadar terhadap resiko-resiko yang harus dihadapi. Apa sebenarnya yang dicari? Semuanya berpulang  pada hakikat wajah yang memiliki beribu tanda dengan muatan nilai.

Nilai Sebuah Wajah

Lebih dari dua abad lalu, Blaise Pascal menulis,  tabiat manusia adalah bergerak dan  istirahat sempurna adalah kematian (Mulyana, 2005). Maka harus disadari bahwa manusia dan pergerakannya, berdiri dalam hutan semiotik sarat dengan tanda. Dalam konteks komunikasi, wajah sebagai bagian anggota tubuh dapat digunakan sebagai tanda dan isyarat gerak simbolik yang menunjukkan eksistensi. Wajah memiliki andil cukup dominan dalam proses komunikasi. Perubahan pola wajah sedikit saja akan memberikan  pengertian  berbeda. 

Wajah menjadi acuan dalam berkomunikasi, namun wajah pula yang dapat mengecoh keakuratan pesan. Berbagai komponen yang ada pada wajah melekat dan saling berelasi satu sama lain. Dahi, mata, hidung, mulut, dagu dan telinga memiliki andil dalam memberikan pesan. Tidak heran jika Ratu Atut mengoperasi plastik setiap komponen wajah seperti  kantung mata, pengecilan cuping hidung, serta pengangkatan tulang pipi dan dagu agar dapat memberikan kesan tersendiri pada wajahnya.

Dalam tradisi Cina, pada wajah melekat atribut sosial yang merupakan harga diri sebuah pribadi. Wajah menjadi  gambaran sebuah penghargaan masyarakat yang dimiliki secara individu. Dengan demikian wajah bukan lagi semata dalam artian fisik namun telah menjadi public image, atau dapat disebut pula sebagai  “harga diri” dalam pandangan masyarakat.

Citra Wajah ke Citra Diri

Citra dimaknai sebagai  keseluruhan impresi yang berada dalam benak seseorang berupa kepercayaan (belief) dan perasaan (feeling) terhadap entitas yang dinilai. Nilai yang melekat pada wajah pada akhirnya menjadi daya dukung pencitraan sebuah pribadi. Jika diibaratkan produk, maka kemasan atau tampilan produk menjadi salah satu daya tarik penting yang memberikan impresi awal bagi kesuksesan penjualan. Karena dianggap penting, maka orang bersedia mengorbankan banyak hal, hanya untuk menghasilkan citra  positif. Akhirnya  operasi plastik pada wajah dianggap memberikan jawaban atas upaya menciptakan atau meningkatkan citra positif.

Ratu Atut sebagai gubernur dituntut  menampilkan performa terbaiknya. Baginya, bisa wajah memiliki nilai paling tinggi dibanding indikator pembentuk citra lain. Begitupun Michael Jackson, sebagai raja pop, wajah merupakan daya jual yang sama tinggi dengan kualitas suaranya. Bahkan remaja  Korea melakukan operasi wajah agar mampu mendongkrak rasa percaya diri. Dengan kata lain, semua alasan mendasar keberanian memetamorfosis wajah adalah keinginan seseorang diterima  masyarakat dan lingkungan sosial, baik dalam cakupan sempit maupun luas.

Ukuran diterima atau tidaknya seseorang dalam kancah sosial sebenarnya bisa beranjak dari banyak faktor. Bisa diukur dari aktivitas sosial, kelayakan berbaur dalam masyarakat, dan logika sosial. Dalam hal ini yang perlu dipikirkan bukan hanya hitungan matematika untuk menambah jumlah penerimaan dalam masyarakat. Bukan pula sesederhana  perhitungan relasional dan fungsional belaka. Namun lebih dalam lagi bagaimana pribadi yang utuh diterima habitat yang beragam, dengan kemampuannya membaca peristiwa di luar dirinya, menggali dan meresponnya (Handoko, 2012). Kemampuan tersebut seharusnya menjadi spirit dasar Ratu Atut selaku Gubernur, untuk menelusur harapan mendasar masyarakat, bukan justru melemahkan kepercayaan yang sudah ada.

Pembentukan Citra

Selalu menantang jika seseorang cukup sensitif terhadap lingkungan sosial. Sensitif memiliki makna bahwa tuntutan untuk peduli terhadap masyarakat, tidak berarti seseorang harus mengikuti seluruh kemauan mereka. Harus ada keberanian memecahkan masalah yang ada di tengah masyarakat, walaupun resikonya berbeda pandangan. Intinya ada hal yang perlu digeluti dengan hati, bukan dengan kekuatan daya tarik fisik.

Pembentukan citra juga bukan sebuah proses singkat yang dapat dilakukan sekaligus. Harus disadari bahwa citra adalah komoditas yang rapuh (fragile commodity). Sesempurna Ratu Atut memoles wajahnya dengan serangkaian operasi, akhirnya harus mengalami peristiwa kejatuhan ketika menghanyutkan diri pada korupsi. Pencitraan diri seharusnya berjalan alami, bukan rekayasa pribadi, apalagi sosial. Pada dasarnya citra yang melekat pada pribadi justru  tumbuh berkembang sejalan dengan mutu dan kedewasaan pribadi seseorang.

Strategi  membentuk citra diri tidak lagi bertumpu pada kondisi fisik, khususnya wajah  namun akumulasi menyeluruh  segenap atribut dan perilaku  seseorang.  Ketika seseorang sedang berusaha membentuk citra diri, tanpa menafikan atribut wajah, ia perlu memperhatikan beberapa hal. Di antaranya adalah memiliki pembeda atau keunikan dengan pribadi lain, memiliki sikap dan kepribadian yang sopan, menyenangkan, berfalsafah hidup terpuji, berintegritas, memiliki kepedulian serta kepekaan  tinggi terhadap sesama.

Dengan atribut positif yang menyertai sebuah pribadi akan hadir cerminan citra diri seseorang. Pantulan itu tidak perlu didisain sedemikian rupa, namun akan dihadirkan oleh pribadi lain yang berinteraksi dan memiliki pengalaman positif bersamanya.

 

*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si., dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta 

 

 

 

 

 

 

Search

Pengumuman