Tantangan The New York Times

Bernas Jogja, Selasa, 21 Januari 2014

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Koran pagi terbesar kedua Amerika Serikat dengan tiras 1,87 juta,  The New York Times (NYT) menyentak sekaligus  menantang pemerintah dan warga Yogyakarta. Edisi dalam jaringan (online) 10 Januari 2014, memasang judul “52 Places to Go in 2014” di rubrik Perjalanan (Travel), dan pada urutan ke-20 tersebutlah “Yogyakarta, Indonesia.”

NYT,  juga disingkat the Times, didirikan tahun 1851 sebagai sebuah koran dengan harga terjangkau namun menjauhi sensasionalisme serta melaporkan berita dalam  gaya tenang terkendali dan obyektif. Kekuatan koran  terletak pada keistimewaan editorialnya. The Times menikmati sukses awal ketika para editor merancang gagasan ke depan dengan menyasar pembaca intelektual dan berbudaya ketimbang khalayak massa. Seperti pada umumnya perusahaan media, NYT  mengalami pasang surut dalam kompetisi yang keras dan kehilangan 1,000 dolar AS ketika  Adolp Simon Ochs membelinya  di tahun 1896 (global.britannica.com).

Adakah pengaruh “52 Places to Go in 2014”? Tentu warga Amerika khususnya New York, kota metropolis terpenting dengan penduduk  delapan juta jiwa  akan tergerak memikirkan  Yogyakarta sebagai tujuan pelancongan. Demikian pula warga AS pada umumnya, dan selanjutnya warga dunia pembaca nytimes.com, pembawa kabar ini. Boleh jadi, tahun 2014 ada lonjakan pelancong  ke Yogyakarta. Namun jangan takabur, sebagai koran global, NYT  mengabarkan berbagai peristiwa dunia bernilai berita tinggi dan patut dicermati yaitu korupsi pejabat pemerintah dan politisi Indonesia. Pada edisi 3 Oktober 2013 misalnya, versi daring koran ini memuat geger korupsi di Mahkamah Konstitusi yang dilakukan ketuanya, Akil Mochtar. Berita berjudul “Top Indonesian Judge Held in Corruption Case” yang ditulis Joe Cochrane, mengulas kasus-kasus memalukan lainnya. NYT menyebut nama Andi Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olah Raga dan Anas Urbaningrum, Ketua Partai Partai Demokrat  serta Luthfi Hasan Ishaag, Ketua  Partai Keadilan Keadilan Sejahtera yang telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kembali ke Yogyakarta sebagai kota nomor 20 dunia yang layak dikunjungi tahun 2014, siapkah kita menyambut  pelancong? Siapkah para pejabat dan warga DIY? Sebelum menyampaikan terima kasih atas dibangunnya 20 hotel berbintang,  Sanjay Surana, penulis artikel singkat ini  mengatakan, “but finding a decent room has never been easy, until now.” Hingga kini, tidak mudah mendapatkan kamar yang layak.

Tulisan ini ingin menegaskan berbagai masukan dan kritik atas memudarnya kenyamanan kota,  tercermin dalam berbagai aksi seperti “Mencari Haryadi,” “Jogja Ora Didol,” pameran foto bertajuk “Jogja Berhenti Nyaman” dan berbagai keluhan warga di media massa perihal meningkatnya kemacetan kota. Dalam berbagai diskusi di media, para penanggungjawab pariwisata di kota ini pada umumnya mengatakan bahwa kemacetan tidak harus dimaknai negatif. Sebab dalam kenyataan, kemacetan terutama di musim libur, merupakan bukti mengalirnya rejeki bagi warga dan pemerintah. Tentu kita sepakat dengan pandangan ini karena pelancong nusantara maupun mancanegara membawa rupiah, dolar, euro, dan berbagai mata uang negaranya untuk dibelanjakan di sini. Para pedagang kecil di Malioboro, pasar Beringharjo, toko cindera mata dan oleh-oleh menikmati keuntungan. Begitu pula pengelola biro perjalanan dan tentu saja kantor pajak mendapatkan pembayaran dari berbagai pembelanjaan tersebut.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dan warga masyarakat untuk mengembalikan Yogyakarta agar benar-benar nyaman tidak hanya bagi pelancong tetapi bagi warga sendiri. Salah satu keprihatinan yang belum mendapatkan perhatian  berbagai pihak adalah memburuknya perilaku berlalulintas warga. Dengan mudah kita menyaksikan bagaimana sebagian  pengendara  motor yang jumlah totalnya mendekati setengah penduduk DIY, memanjakan egoismenya ketimbang sopan santun dan toleransi. Di perhentian lampu lalulintas dengan tanda kawasan berhenti sepeda, tidak sedikit warga yang melanggarnya. Di tempat-tempat tertentu, seperti perempatan ring road utara ujung jalan Gejayan, pengendara motor berhenti di sisi kiri di luar jalur utama agar mendapat tempat di depan dan dengan cepat melaju ketika lampu menyala hijau. Di berbagai jalan utama, Malioboro maupun jalan Solo, pengendara kendaraan bermesin tidak memberikan jalan bagi penyeberang meski  berada di zebra cross. Ulah seperti ini sudah sering kita lihat dan alami  dilakukan pengendara di Jakarta dan banyak kota lain. Perilaku berkendaraan di Jogja tidak seistimewa predikat kotanya.

Ketidaknyamanan kota semakin kental karena perilaku  pengendara yang mengganti knalpot motornya dengan knalpot non standar. Tindakan seperti banyak dilakukan anak muda, pelajar, mahasiswa, juga pedagang, pegawai, anggota militer, bahkan anak-anak di bawah umur menunggang motor bertiga berkeliling kampung sambil menarik-narik gas agar suara bising knalpotnya  terdengar makin keras. Knalpot non standar digemari orang muda  karena keren. Knalpot model ini dengan mudah dibeli di toko aksesoris motor dengan harga terjangkau. Para pedagang  membelinya dari industri rumahan di Jawa Tengah dan  Jawa Barat. Mereka sering mendapat penghargaan karena menghidupi ekonomi rakyat namun tidak pernah dikritik atas ciptaan knalpotnya yang melanggar undang-undang lalu lintas dan kebisingan lingkungan.

Bila pelancong manca negara menyerbu kota Yogyakarta tahun ini, sudah semestinya pemerintah dan warga menyambutnya dengan gembira. Tentu tidak cukup sekadar menerima uang yang mereka belanjakan tanpa upaya serius mengembalikan Yogyakarta sebagai lingkungan  nyaman untuk warga sendiri dan para tamu. Para pejabat pemerintah, mulai Walikota, Bupati hingga Gubernur  memeriksa kembali ketentuan hukum mana saja yang dapat membantu masyarakat pengendara motor  tidak memasang knalpot non standar. Instruksi kepada para kepala sekolah, rektor, direktur yang membawahkan puluhan ribu siswa-siswi maupun mahasiswa-mahasiswi untuk tidak memasang knalpot bising di motor mereka merupakan sebuah kebijakan konkrit. Instruksi yang sama juga diberikan kepada para pimpinan kantor, perusahaan, berbagai organisasi dan komunitas. Apabila di Yogyakarta muncul  inisiatif membangun kampung agar “bebas asap rokok,” “hijau,” bahkan menyebut diri “Kampung Pancasila” sudah saatnya inisiatif  ditumbuhkan dengan membangun “Kampung Bebas Knalpot Mrebegi.”

Inilah pula saat yang tepat bagi pemerintah DIY  menggelontorkan dana keistimewaan bagi kampung-kampung yang berhasil membebaskan dari dari motor berknalpot memekakkan telinga. Hadiah dari danais  dipergunakan kelompok-kelompok masyarakat  membangun kembali budaya Yogyakarta yang sopan, toleran, peduli pada sesama. Niscaya penggelontoran danais  program ini terbebas dari peluang korupsi sehingga tidak perlu mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebagai koran internasional pengaruh NYT tidak bisa kita abaikan. Inilah konsekuensi kemajuan teknologi komunikasi sehingga media global diakses makin banyak khalayak. Warga dan pemerintah Yogyakarta adalah warga internasional yang  selayaknya berperilaku universal, berbudaya, beretika, hormat pada sesama manusia terutama mereka yang lemah.

 

*Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP UAJY, penggagas komunitas Marka Jalan.

Search

Pengumuman