Pemilu 2014: Memilih dengan Hati?

Bernas Jogja, Selasa 28 Januari 2014

Oleh: Yudi Perbawaningsih

Pemilihan Umum untuk memilih presiden dan anggota DPR  segera dilaksanakan  April 2014. Di media massa, iklan-iklan politik yang dibuat  partai-partai politik mulai marak seolah kampanye sudah mulai. Iklan-iklan ini memiliki tujuan sama, menawarkan calon pemimpin yang layak dipilih. Kriteria layak pilih itu pun nyaris sama yaitu pemimpin yang mau memperjuangkan dan menjadikan bangsanya sejahtera dan mengajak rakyat memilih dengan hati.

Memilih dengan hati. Tampaknya ini merupakan ajakan bijak. Memilih dengan hati, mungkin dimaksudkan sebagai perwujudan sebuah tindakan sungguh-sungguh, dan tidak semata merupakan tindakan yang dihasilkan dari proses sembrono dan terburu-buru. Memilih dengan hati kadang dikaitkan dengan suara hati nurani, atau ‘hati kecil’. Banyak orang percaya suara hati adalah suara paling benar dan murni  karena belum tercampur oleh pemikiran-pemikiran lain atau bujukan-bujukan dari luar hati. Tetapi apakah yang sebenarnya dimaksud dengan hati?

Hati = Perasaan = Afeksi = Emosi?

Hati sering diikuti dengan kata ‘nurani’. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, hati nurani diartikan sebagai cahaya dari Tuhan. Oleh karena itu, hati nurani bersifat keilahian dan benar, dan dapat menjadikan tuntunan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Hati dalam konteks ilmu sosial, termasuk dalam konteks pemilihan umum, bisa jadi dapat dikaitkan dengan  perasaan, sebagai lawan dari pikiran atau juga rasionalitas. Perasaan dapat diasosiasikan dengan afeksi, dimensi dari sikap, yang merujuk pada dorongan internal untuk bertindak, yang melibatkan dimensi “suka-tidak suka”, “baik-buruk,” atau “indah-tidak indah”. Ini merupakan evaluasi atas suatu objek pengamatan, tetapi tidak menggunakan logika dan tolok ukur pasti. Sehingga, evaluasi ini sering lebih bersifat subjektif, situasional dan dinamis. Jadi kata “memilih dengan hati” dapat diartikan tindakan memilih didasarkan pada perasaan atas objek atau evaluasi atas objek yang bersifat subjektif dan situasional. Evaluasi  mudah berubah ketika pengalaman atau suasana diri dan situasi lingkungan berubah. Jika demikian pemaknaannya, tepatkah dalam pemilu mendatang, kita memilih dengan hati?

Jika seseorang memilih karena dia menyukai, dan dia menyukai karena sosok yang dipilih itu menawan, maka ini merupakan pilihan hati. Tidak ada yang salah jika sebagian dari kita memilih calon presiden karena penampilannya menawan. Namun perlu diingat bahwa tindakan ini sangat rentan terhadap perubahan. Daya tarik fisik itu sangat rapuh, mudah tergerus waktu. Maka ketika daya tarik calon presiden mulai menurun, bisa jadi kita akan berubah perasaan, tidak lagi menyukai. Dan, ketika tidak menyukai lagi, maka cenderung akan menilai atau mengamati apa yang dilakukan sang pemimpin dalam ‘frame’  negatif. Maka, bukan tidak mungkin, pemilih menyesal atau kecewa di kemudian hari serta memutuskan  memilih sosok lain pada periode pemilihan berikutnya. Penampilan fisik hanyalah salah satu dari sekian aspek yang dapat menyentuh hati. Jadi, jika calon pemimpin mengandalkan penampilan diri dan mempengaruhi keputusan pemilih dengan pendekatan  “sentuhan hati dan emosi”, maka bersiap-siaplah menghadapi penurunan “loyalitas” atau kehilangan “suara” dari publik pengikutnya, bahkan dalam waktu pendek. Jadi, bagaimanakah mendapat pengikut yang loyal? Kampanye seperti apakah yang tepat?

Mengandalkan Rasionalitas

Cacioppo, ilmuwan yang membahas  model persuasi, menjelaskan ada dua cara atau dua rute audiens mencermati atau mengolah ‘pesan’ persuasi, yaitu rute pusat dan pinggiran. Rute pusat adalah rute yang ditempuh audiens dengan memperhatikan, mengolah, memikirkan, mencari logika atas argumentasi atau isi dari persuasi. Sedangkan, rute pinggiran adalah rute yang dilewati audiens dengan memperhatikan aspek-aspek di luar isi atau pesan atau argumentasi.

Contoh aspek pinggiran adalah kredibilitas nara sumber (komunikator), daya tarik fisik, kemasan pesan persuasi, kemampuan berkomunikasi. Banyak sekali kasus, keputusan diambil audiens dikarenakan terlena oleh daya tarik fisik, kelihaian berkomunikasi, tampak dapat dipercaya, keuntungan yang langsung diterima dari dari nara sumber. Pilihan atas rute ini menurut Cacioppo berakibat pada “ketahanan” atau endurance atas keputusan atau tindakannya. Pada rute sentral, keputusan bertahan lama sedangkan rute pinggiran keputusan bersifat sementara atau gampang berubah. Cara cepat mengambil keputusan adalah dengan menggunakan rute pinggiran.

Dalam konteks pemilihan umum, pemimpin membutuhkan dukungan publik, bukan hanya pada saat pemilihan umum, tetapi sepanjang kekuasaannya. Oleh karena itu, dalam berkampanye mestinya pemimpin harus menggunakan rute sentral yang berorientasi mempengaruhi logika atau rasionalitas pemilih, bukan hati, afeksi atau emosi. Cara paling tepat menyentuh rasionalitas dan logika pemilih yaitu dengan mengkonstruksi pesan kampanye  logis dan rasional. Yang menjadi bekal utama adalah argumentasi  logis dan rasional. Ini dapat lahir dari sosok pemimpin yang memiliki kemampuan dan intelektualitas tinggi di bidangnya. Selain itu, pemimpin harus juga memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi audiens  mengelaborasi argumentasinya, mengkritisi pesan kampanyenya dan kalau perlu melakukan “adu argumentasi”. Media massa sudah cukup memberikan wadah untuk rute sentral ini. Tentunya  diharapkan supaya pemilih belajar atau mempelajari argumentasi calon pemimpin dan menjadikannya sebagai modal mengambil keputusan memilih atau tidak memilih. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk melahirkan keputusan yang ‘tepat’, pemilih dan orang yang dipilih sama-sama harus mengandalkan rasionalitas dan logika, bukan pada sentuhan hati dan emosi.

Pemilih Tidak Rasional?

Sudah banyak penelitian dan asumsi publik yang menyebutkan pemilih Indonesia –bahkan dalam hal apa pun, tidak hanya dalam hal politik- bukanlah pemilih rasional. Saya sendiri berasumsi sama, tetapi ini tidak berlaku pada semua pemilih dan tidak pada semua situasi ‘pemilihan”. Terdapat kecenderungan pemilih sekarang lebih rasional dibanding sebelumnya. Penampilan fisik dan politik uang, tidak lagi besar pengaruhnya dalam pengambilkan keputusan memilih bagi sebagian orang. Bagi sebagian orang ini, keputusan memilih dihasilkan dari proses elaborasi dan pemikiran panjang atas argumentasi orang yang dipilih. Bagi sebagian orang ini, debat argumentasi atau debat politik para calon pemimpin menjadi peristiwa yang harus mereka hadiri atau tonton, pidato-pidato politik dalam kampanye harus mereka dengar dan baca, informasi latar belakang dan track record calon pemimpin harus dicermati untuk melihat koherensi antara fakta empiris dengan argumentasi yang disampaikan. Karena dari situlah mereka memperoleh materi untuk dipikirkan kembali, diolah dan dinilai. Tipe pemilih semacam ini ada di Indonesia, tetapi saya meyakini jumlahnya tidak banyak. Lebih banyak pemilih yang tidak peduli dengan argumentasi, apalagi menelusuri kejujuran atas argumentasi yang disampaikan dalam kampanye. Bagi pemilih tipe ini, pemilihan umum sekedar  sebuah “event” politik rutin dan tidak berjangka panjang oleh karena itu rute pinggiran lebih banyak digunakan untuk mendapatkan keputusan cepat. Tidak hanya itu, sebagian calon pemimpin Indonesia pun lebih tertarik menggunakan cara-cara menyentuh hati daripada menyentuh logika. Sayang sekali.

**Yudi Perbawaningsih, pengajar Mata Kuliah Persuasi, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman