Jokowi dan Perilaku Kampanye Pemilu

Bernas Jogja, Selasa 18 Maret 2014

 

Oleh Setio Budi HH

PDIP telah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden. Dalam kontestasi pemilu 2014, banyak orang lega dan mengapresiasi keputusan Megawati Soekarnoputri, sebagai keputusan tepat, “legowo” dan kedewasaan politik. Pada sisi lain banyak  politisi dan pendukungnya  was-was dan khawatir tentang peluang memenangkan pemilu dan pilpres 2014. Bagaimanapun berbagai survei sejak awal 2013 menunjukkan posisi Jokowi yang cenderung menguat dibandingkan calon presiden lain.

Kompetisi memenangkan pemilu berjalan sangat ketat beberapa faktor di antaranya adalah tidak adanya tokoh kuat sebagaimana ditunjukkan pada dua pemilu 2004 dan 2009. Pemilih melihat perilaku partai dan politisi di pusat maupun di daerah yang koruptif adalah faktor penting dalam keputusan memilih. Tokoh-tokoh partai yang sering muncul di media massa masih menggunakan pilihan kampanye normatif dan seragam, misalnya demi kesejahteraan rakyat, tanpa melihat jelas aspek konsep dan aplikasi jelas dan kongkrit. Lebih menyedihkan, tidak adanya kerangka ukuran kinerja dan acuan waktu yang jelas. Platform tokoh partai mungkin hanya dapat diakses oleh segelintir elit, termasuk penilaian minimnya alternatif kehadiran tokoh baru.

Amerikanisasi Kampanye Pemilu

Kampanye pemilu tahun 1999-2009, termasuk berbagai peristiwa dan pemberitaan kampanye pilkada di berbagai wilayah,  memberi pelajaran penting mahalnya ongkos pemilu. Para kandidat harus mengeluarkan kocek tidak sedikit untuk mendapatkan kursi legislatif. Demikian pula  kandidat presiden  harus menggelontorkan milyaran rupiah untuk mendapatkan suara signifikan. Terutama sejak tahun 2004, praktek kampanye pemilu dan pilpres berbiaya tinggi telah menjadi kenyataan di republik ini .

Menurut Deddy Nur Hidayat (2004), pemilu di Indonesia telah mengalami apa yang disebut sebagai  praktek Amerikanisasi kampanye. Disebut Amerikanisasi, karena meniru konsep, strategi, taktik dan praktek kampanye di Amerika Serikat yang menggunakan konsep dan metode “marketing” secara profesional. Dalam konteks ini konstituen partai adalah pelanggan dan konsumen dalam sebuah pasar politik yang harus ditundukkan melalui mesin pemasaran, sehingga bisa mendapatkan “market share”, “top brand” dan loyalitas. Prakteknya dapat dilihat pada frekuensi dan intensitas kandidat berkampanye melalui TV, media cetak dan radio,  baliho besar-besaran di jalanan utama dan berbagai spanduk, banner di berbagai tempat strategis, kesemuanya itu membutuhkan dana tidak sedikit. Menurut Hidayat, industralisasi kampanye pemilu dikhawatirkan akan menurunkan kualitas sebuah demokrasi, terutama karena berbiaya tinggi dan hanya menguntungkan kontestan berkocek tebal, memiliki dukungan finansial yang kuat, atau memiliki sponsor yang besar.

Apakah fenomena amerikanisasi  berarti ada profesionalitas manajemen kampanye? Jawabannya cenderung tidak, karena  kenyataannya ribuan spanduk, banner, poster diletakkan atau diiikat pada tiang Telkom, PLN bahkan lampu merah di perempatan jalan, tembok-tembok perumahan dan perkantoran. Termasuk juga  penempatan bendera, umbul-umbul di tempat umum, belum termasuk ribuan poster, banner yang diikat dan dipaku dipohon-pohon. Sampah visual tersebut, meminjam istilah  Sumbo Tinarbuko, mengotori ruang publik, mencemari keindahan tatanan ruang publik. Ini adalah musuh kedua setelah sampah visual komersial.

Pelanggaran atau penyalahgunaan media penting dicermati, terutama hubungan dengan kuasa pemilik, media yang frekuensinya milik publik digunakan untuk kepentingan pemilik yang sekaligus  kontestan pemilu 2014. Tercatat ANTV dan TV One (Aburizal Bakrie-Golkar), Jaringan MNC (Hary Tanusoedibyo-HANURA) dan Metro TV (Surya Paloh-NASDEM). Keterkaitan pemilik dan perilaku kampanye media adalah fenomena penting  untuk dicermati.

Pertanyaannya, apakah kemampuan finansial dan penguasaan media menjadi tanda kuatnya kandidat sebagai calon pemenang pemilu 2004? Jawabannya  terlalu dini klaim tersebut, terutama “market”,  pemilih semakin memiliki kedewasaan dan kecerdasan menentukan pilihan. Apabila dibagi dua, pertama “old market” telah memiliki pengalaman dan pengamatan atas perilaku partai dan kandidatnya, terutama pada isu kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan berbagai kebijakan publik lainnya, yaitu apakah mereka telah memenuhi janji, sebagaimana  telah dikoar-koarkan dalam pemilu sebelumnya.

Kedua  “new market”, para pemilih pemula dan yang sebelumnya golput, bagaimana bisa menterjemahkan kebutuhan dan keinginan mereka atas para wakil dan pemimpin yang mereka pilih. Selain itu ada semacam norma, para kandidat presiden yang tidak terpilih tidak akan mencalonkan kembali pada pilpres berikutnya, dalam konteks ini para petinggi partai harus banyak belajar  menjadi sosok bijaksana dan memiliki sikap kenegarawanan. Ini adalah tradisi  penting untuk dikembangkan.

Jokowi dan preferensi pemilih

Ada pelajaran penting yang ditulis Paul F Boller (2004) tentang bagaimana kandidat presiden bisa menang dalam pilpres di Amerika. Kuncinya ada di kemampuan  menawarkan konsep yang bisa memenangkan hati para pemilih, kemampuan  mengolah isu menjadi agenda publik, menawarkan dan menunjukkan visi-misi dan tujuan, yaitu perubahan apa yang akan terjadi pada pemerintahannya kelak. Boller mencatat, pelajaran penting lain adalah  kandidat yang muncul bukanlah seseorang yang datang tiba-tiba, namun telah mengalami perjalanan dan kematangan (pengalaman) berpolitik yang cukup, terutama telah menunjukkan kinerja, performa dan karya sebelumnya. Sebagai contoh, para presiden Amerika seperti Jimmy Carter (Gubernur Georgia), Goerge Bush (Wakil Presiden, era Reagen), Bill Clinton (Gubernur Arkansas), George W Bush (Gubernur Texas), dan sebagian besar dari mereka, termasuk Obama adalah “congressman”, anggota kongres untuk periode yang cukup. Masing-masing memiliki “track record” yang bisa diandalkan berkompetisi dalam pemilu.

Bagaimana dengan Indonesia dan pemilunya? Pemilu 1999 disebutkan sebagai pemilu transisi, sebagaimana tahun 2004 sampai saat ini, di mana wakil rakyat dan presiden dipilih langsung. Susilo Bambang Yudhoyono  adalah sosok  alternatif di tengah carut marut politik dan kejenuhan publik kandidat lain. Pemilu dan pilpres 2014? Jokowi bisa disebut sebagai calon alternatif, di tengah catatan buruk publik atas perilaku parpol, politisi, maupun pejabat hasil pilpres atau pilkada selama ini. Jokowi dinilai memiliki citra positif, ketika memimpin Solo, berhasil memenangkan pemilihan Gubernur Jakarta, dan “memenangkan” hati masyarakat dengan blusukannya.

Sebagian masyarakat umum dan lawan politik Jokowi tentu masih mempertanyakan  kinerja signifikan Jokowi sehingga layak menjadi presiden. Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia sadar dan paham benar, jikalau selama ini mereka lebih dilihat sebagai deretan angka dengan katagorisasi demografis dan psikografis  yang harus ditundukkan. Sebagaimana mereka semakin sadar bahwa “money politic”, selembar uang kertas biru tidaklah cukup membeli suara, harga diri dan nasib mereka lima tahun yang akan datang. Juga termasuk perilaku partai dan politisi yang hanya menyapa mereka  saat pemilu.

Bagaimana dengan pemilih pemula? Di tengah tekanan tingginya biaya hidup, biaya pendidikan dan masa depan yang belum sepenuhnya cerah untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan kekhawatiran lapangan pekerjaan ke depan, adalah isu penting bagi mereka. Termasuk berbagai problematika anak muda yang semakin tinggi intensitas dan kualitasnya: narkoba, seks bebas, pembunuhan, kriminalitas, kekerasan kolektif, adalah isu lain yang menjadi isu penting mereka.

Kembali ke Jokowi, betul di Solo berhasil melakukan pembenahan pedagang kaki lima dan penataan ruang publik, sebagaimana Jokowi mulai berhasil menata birokrasi di DKI. Namun Jokowi perlu ingat bahwa para pemilih, baik konstituen setianya, “old market” dan “new market” membutuhkan lebih dari itu. Secara makro para pemilih memerlukan konsep dan kebijakan yang jelas tantang aspek ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, pertahanan dan keamanan nasional, internasional dan seterusnya. Secara mikro para pemilih membutuhkan sikap dan aksi yang jelas atas aspek transportasi publik, energi, pendidikan, fasilitas dan pembiayaan kesehatan, penguatan ekonomi kerakyatan, kemandirian alutsista pertahanan dan profesionalisme TNI, jaminan keamanan sehari-hari, rumus menghilangkan korupsi dan seterusnya.

Jokowi menghadapi kompetisi ketat, baik soal suara legislatif partainya dan berbagai program dan strategi kampanye calon lain. Menghadapi “black campaign” dan kecurangan dalam pemilu. Jokowi harus membuktikan kualitasnya sebagai calon pemimpin alternatif otentik, membuktikan  sebagai pemimpin yang muncul bukan karena aspek kekuatan finansial yang besar, mampu memuaskan “konsumen dan pelanggannya” serta membangun spirit nasionalisme yang kuat, sehingga layak menjadi pemimpin Indonesia ke depan.

*Setio Budi HH, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

Search

Pengumuman