May Day dan Hak Buruh

Artikel  Selasa 6 Mei 2014

E. Imma Indra Dewi W, SH, MHum

Bulan Mei merupakan bulan penuh sejarah bagi buruh. Terutama  1 Mei 2014 dengan diresmikannya Hari Buruh Sedunia (HBS) atau May Day sebagai hari libur nasional. Peringatan HBS 2014  merupakan tahun pertama peringatan HBS yang diakui pasca rezim Orde Baru. Namun apakah cukup dengan mengakui sebagai hari libur nasional dengan memerahkan kalender? Tidak. Harus ada tindakan nyata  sebagai bukti penghargaan terhadap buruh di Indonesia.

Siapakah buruh?

Jika diamati, selama ini demo buruh selalu dilakukan  pekerja sektor formal,  biasanya pekerja sektor industri. Jadi  seolah-olah yang haknya dilanggar pekerja sektor formal. Sementara ada pula pekerja sektor lain yang perlu perlindungan namun dikesampingkan  berbagai pihak yaitu pekerja sektor informal. Padahal Undang Undang Ketenagakerjaan mengatakan  yang dimaksud buruh atau pekerja yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi  pekerja sektor informal dapat dicover perlindungan hak-haknya oleh UU ini. Namun selama ini definisi ini dipersempit penafsirannya sehingga yang tercakup  hanya pekerja sektor formal. UU juga tidak mempermasalahkan istilah buruh atau pekerja, keduanya sama.

Masalah buruh

Pada peringatan HBS 2014  para buruh se-Indonesia menuntut kenaikan UMP 30%, penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Pertanyaannya bagaimana sikap pemerintah? Mampukah pemerintah memenuhinya? Ini tuntutan klasik yang selalu dikumandangkan setiap kesempatan namun tak pernah ada tanggapan positif. Sikap pemerintah berkait dengan kemauan baiknya. Kondisi ekonomi dan politik negara selalu jadi  alasan pemerintah menunda membahasnya. Pertanyaannya, mengapa duet Pemerintahan Jokowi-Ahok  berani mengambil keputusan menaikkan UMP DKI Jakarta dengan peningkatan nominal yang amat besar, jika kondisi ekonomi menjadi penghambat penghapusan upah murah? Semua tinggal itikad baik pemegang kekuasaan. Ironisnya setiap menaikkan nominal upah minimum, pada saat yang bersamaan  pemerintah menandatangani dispensasi penundaan pembayaran upah sesuai upah minimum yang berlaku. Lantas bagaimana nasib buruh jika selalu ada persetujuan dispensasi?

Hal lain pada peringatan hari buruh  2014 adalah Gubernur DKI Jakarta mendapat kunjungan dari para PRT. Mereka menuntut perlindungan hak-haknya. Jawab sang calon presiden:”Kita lihat bagaimana aturannya? Ada tidak sanksinya, kalau belum ada aturannya ya diadakan.” Kunjungan ini mengingatkan kita seolah yang diakui keberadaannya dan diperjuangkan hak-haknya hanya buruh atau pekerja sektor formal. Lantas bagaimana dengan pekerja sektor informal? Mereka juga butuh perlindungan dan pengakuan. Jika pekerja sektor formal menuntut 3 (tiga) hal itu, maka pekerja sektor informal terutama yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga menuntut adanya UU PRT yang  akan melindungi mereka.

Berkaitan dengan pekerja anak, masyarakat dan pemerintah harusnya peduli pada mereka. Anak yang terpaksa bekerja atau sering disebut sebagai pekerja anak biasanya  bekerja di sektor informal, misalnya pada home industry, perusahaan tambang pasir dan batu yang dikelola masyarakat, perusahaan perikanan tengah laut, dan di banyak perusahaan lain serta di dalam rumah tangga. Pada sektor ini kebanyakan anak dipekerjakan dengan tidak mematuhi aturan yang berlaku. Sesuai ketentuan hukum, mempekerjakan anak tak boleh melebihi waktu 3 (tiga) jam dan tak boleh menghilangkan hak anak  menempuh pendidikan formal.

Pemerintah juga telah mencanangkan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun. Artinya minimal anak harus mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP. Namun banyak anak yang harus bekerja bahkan menjadi tulang punggung keluarga dengan mengabaikan hak ini. Sebagai contoh anak jermal yang harus memelihara ikan di perairan laut bebas. Sebanyak 24 (dua puluh empat) jam anak-anak ini harus bekerja di tengah laut,  bagaimana mungkin anak dapat menempuh pendidikan? Usia minimum anak boleh bekerja pun disimpangi. Jika dalam UU ditetapkan usia minimum anak boleh bekerja 13 (tiga belas) tahun,  kenyataannya ada anak-anak di bawah usia itu yang dipekerjakan. Alasan klasik  adalah tuntutan ekonomi namun tentu  bertentangan dengan semangat hari pendidikan nasional.

Masalah lain berkaitan dengan pemenuhan kuota bekerja penyandang disabilitas. Dalam PP No 43 Tahun 1998 diatur bahwa pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya. Kenyataannya kuota ini belum terpenuhi dan banyak alasan diungkapkan pengusaha berkaitan dengan penyediaan fasilitas kerja dan aksesibilitas kerja penyandang disabilitas.

Tanggung jawab bersama

Paparan di atas menunjukkan adanya hal-hal yang masih tercecer dalam dunia perburuhan Indonesia. Ceceran-ceceran itu bukan yang positif namun negatif. Permasalahan perburuhan ternyata tak sekadar seperti dituntutkan, yang belum terungkapkan  masih banyak. Misalnya sektor pekerja informal dan pekerja anak. Begitu pula dengan implementasi hak bekerja bagi penyandang disabilitas. Belum banyak pihak yang mengungkapkan permasalahannya dan memperjuangkannya. Jika demikian siapa yang bertanggung jawab? Sebenarnya tanggung jawab perlindungan hak pekerja tak hanya dipikul oleh pemerintah, ada juga kewajiban masyarakat,  termasuk di dalamnya  pengusaha, majikan, serikat pekerja  dan keluarga. Peran apa yang dapat dimainkan oleh masyarakat?

Dalam hubungan industrial, pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah telah diberikan peran masing-masing oleh UU. Pemerintah bertugas menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, melakukan penindakan. Pengusaha berperan menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan. Kemudian pekerja melalui serikatnya berperan menjalankan pekerjaan, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan. Jika masing-masing peran dimainkan sesuai porsinya maka  harapan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak buruh akan tercapai dengan baik.

Sebagai contoh dalam pemberian dispensasi penundaan pembayaran upah di bawah upah minimum yang berlaku. Alasan yang selalu diajukan sebagai bahan pertimbangan adalah kondisi perekonomian perusahaan. Jika pengusaha membayar sesuai ketentuan upah minimum yang berlaku akan bangkrut, dan imbasnya banyak pekerja yang diPHK. Artinya banyak pengangguran. Jadi disetujuilah dispensasi. Jika memang benar alasan yang dikemukakan tentu tidak masalah. Namun kadang ada perusahaan yang mampu tapi diijinkan membayar upah di bawah upah minimum. Bukan hanya itu, ada juga perusahaan yang setiap tahun mengajukan dispensasi penundaan pembayaran upah minimum dan dikabulkan. Lantas bagaimana nasib buruhnya? Kapan mereka menikmati hidup layak dan upah sesuai ketentuan? Mestinya toleransi pada pengusaha itu tidak boleh merugikan hak pekerja. Sehingga perlu diatur prosentase maksimal pembayaran upah di bawah upah minimum yang berlaku dan batasan maksimal suatu perusahaan boleh mengajukan dispensasi. Belum lagi banyak pengusaha mempekerjakan pekerja dengan membayar upah di bawah upah minimum namun tidak meminta dispensasi pemerintah. Dengan demikian fungsi pengawasan  berjalan sangat lemah. Selama ini pemerintah bekerja hanya berdasar laporan. Padahal peran pengawasan itu semestinya tidak hanya berjalan berdasar laporan. Jika demikian yang terjadi maka kesan pembiaran  nampak kuat.

Masyarakat yang mana lagi yang turut bertanggung jawab? Keluarga pekerja, terutama keluarga pekerja anak. Keluarga pekerja anak harus sadar bahwa anak pada dasarnya tak boleh dipekerjakan apalagi dieksploitasi secara ekonomi. Jadi menempatkan anak sebagai tulang punggung keluarga dan menghilangkan hak  memperoleh pendidikan layak adalah pelanggaran hukum baik UU Perlindungan Anak maupun UU ketengakaerjaan.

Begitu pula dengan pemenuhan kuota 1% mempekerjakan penyandang disabilitas setiap mempekerjakan 100 orang pekerja. Tentu dapat dipenuhi dengan memulai mempekerjakan penyandang disabilitas yang derajat kecacatannya paling mungkin   dipekerjakan serta aksebilitasnya paling mudah disediakan. Kebijakan ini  digunakan untuk menyiapkan aksesibilitas yang memungkinkan memperkerjakan penyandang disabilitas.

Bertolak dari masih banyaknya pelanggaran terhadap ketentuan hukum berkait dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas maka perlu dicari akar masalahnya. Ternyata lemahnya penegakan hukum merupakan kunci masih banyaknya pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi sekarang ini. Jadi semestinya seluruh masyarakat saling mendukung  terciptanya pemenuhan hak buruh.

*E. Imma Indra Dewi W, SH, Mhum, dosen FH UAJY

 

Search

Pengumuman