Analisis Kedaulatan Rakyat, Senin, 7 Juli 2014
Oleh Dr. Lukas S Ispandriarno
PEMILIHAN presiden secara langsung yang akan digelar 9 Juli tak hanya menjadi berita besar di dalam negeri namun juga mendapat sorotan masyarakat internasional. Ini adalah pilpres ketiga versi langsung pasca reformasi Mei 1998, salah satu penanda sistem demokrasi elektoral. Pemilu langsung merupakan sebuah sistem yang jauh berbeda ketimbang pemilu era Orde Baru. Proses transisi sistem otoriter ke demokratik melalui Pilpres 2014 menjadi pantauan dunia, tercermin di sejumlah pesan media internasional.
Akademisi dan media internasional memantau perkembangan politik dan Pilpres 2014 dengan memberikan analisis ataupun opini di berbagai forum dan media. Stephen Sherlock, akademisi Australian National University mengatakan, Indonesia telah menjalani transformasi mengagumkan dalam 15 tahun terakhir. Setelah berada di bawah personalisasi rezim Suharto saat Orba, kini Indonesia berubah menjadi negara demokratik fungsional di kawasan Asia Tenggara, mengalahkan Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Singapura khususnya dalam kompetisi politik sehat. Salah satu elemen perubahan adalah penarikan militer dari politik.
Komunikasi internasional dimanjakan kemajuan teknologi. Sehingga memudahkan terciptanya global village mendekatkan hubungan antara satu warga negara dunia dengan warga lainnya. Sorotan media internasional meliputi antara lain situasi pilpres di manca negara, aspek ekonomi, figur kandidat maupun pendukung, serta pemanfaatan media sosial. Pemilihan di luar negeri, misalnya di Uni Emirat Arab, diprediksi akan diikuti lebih banyak pencoblos ketimbang pada pemilu legislatif yang hanya diikuti 1.200 orang. Ini merupakan kesempatan bagi pemilih melantangkan suara perubahan. Bila pemilih apatis, siapa yang akan membuat perubahan? (gulfnews.com, 2/7).
Sebuah media berbasis di Inggris menyorot aspek ekonomi dengan menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Pilpres akan menentukan apakah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia terus bertumbuh dalam virtuous circle atau berakhir dengan dalam putaran menurun vicious circle’ Lingkaran yang baik (virtuous) berlangsung ketika pertumbuhan negara dan akumulasi tabungan menjadi dana simpanan yang mendorong modal dan pertumbuhan. Lingkaran jahat (vicious) terjadi saat negara miskin dan tidak menghasilkan cukup uang tabungan karena lebih banyak dibelanjakan (bbc.com, 1/7).
Seperti halnya media dalam negeri, media internasional juga menyorot figur kandidat dan ulah pendukungnya. Richard C Paddock menulis di The Wall Street Journal (wsj.com, 1/7), Prabowo (62 tahun) telah membangun kembali dirinya sebagai pengusaha yang sukses, temperamental dan pendiri sebuah parpol. Pesaingnya adalah Joko Widodo (53), Gubernur DKI Jakarta yang merakyat, sederhana, berbeda tajam dengan mantan jenderal yang kaya.
Sedikit kehebohan terjadi di media internasional ketika musisi Ahmad Dhani, pendukung Prabowo, memberikan penghormatan bertema Nazi melalui video Indonesia Bangkit’. Ini merupakan sebuah permintaan periode gelap sejarah negeri untuk tujuan politik oportunis. Dalam permohonan maafnya Dhani mengatakan, penggunaan seragam Nazi dilakukan tanpa berpikir panjang dan kini ia belajar dari ulahnya. Tapi, seolah lupa dengan permintaan maaf serta berbagai kritik dari dalam dan luar negeri Dhani malah menyerang media internasional dengan mengatakan ‘media Barat yang bodoh perlu pendidikan kebebasan dalam seni..apapun yang saya pakai adalah hak saya sebagai artis.’ (Tito Ambyo, theguardian.com, 1/7).
Media internasional juga menulis pemanfaatan media sosial oleh berbagai kalangan untuk mengkampanyekan masing-masing capres. Matt O’Neil menyebut telah terjadi ‘social media elections’ di mana kandidat presiden, para pelobi politik dan LSM menciptakan cara-cara inovatif menggunakan media sosial mempromosikan kepentingan dan bahkan mencegah korupsi (abc.net.au, 2/7). Kendati demikian, media sosial juga telah digunakan untuk menyebarkan kebencian kepada capres, selain kebencian pada warga negara yang berbeda latar belakang budaya, agama, kepercayaan, pendidikan, tingkat ekonomi.
Dunia internasional tentu menginginkan agar Indonesia terus meningkatkan demokrasi dan pembangunan martabat manusia agar sejajar dengan bangsa-bangsa maju. Pilpres mesti diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan bukan untuk main-main dengan berbagai pesan atau kampanye yang merusak kebersamaan, keberagaman, kebhinekaan.
(Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)