Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya

Bernas Jogja, Selasa 26 Agustus 2014

Oleh: Lukas Deni Setiawan

Beberapa waktu silam, Arsyad, 27 tahun, seorang aktivis antikorupsi memasang status BlackBerry Messenger (BBM) yang berisi pesan “No fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan Pilih Adik Koruptor.” Tak lama setelah itu, ia diadukan oleh Wahab Tahir, pengurus partai Golkar Makassar, ke polisi dan menjadi tersangka pencemaran nama baik Nurdin Halid dan keluarganya (Tempo.co, 10/9/2013). Meskipun akhirnya divonis bebas, Arsyad telah menjalani masa tahanan selama 95 hari di rutan kelas I Makassar dan seminggu di sel Mapolda setempat (News.detik.com, 25/5/2014).

Waktu lain, Benny Handoko, pemilik akun Twitter @benhan, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, setelah diadukan ke Polda Metro Jaya oleh mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Misbakhun, atas tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan (Tempo.co, 11/9/2013). Benny divonis enam bulan penjara dan satu tahun masa percobaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinilai secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dakwaan (Republika.co.id, 5/2/2014).

Dua cerita di atas juga diungkapkan oleh Donny BU (ICT Watch), salah satu narasumber dalam diskusi publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang membahas wacana pengubahan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Kamis, 21 Agustus 2014.  Pasal tersebut, menurut Donny dan beberapa kalangan lain, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan para pemerhati demokrasi, berpotensi mengancam prinsip kebebasan berekspresi. Pasal pelarangan yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” itu dikhawatirkan pula dapat menimbulkan chilling effect, yaitu ketakutan warga untuk mengritik atau sekadar berkomentar di dunia maya.

Pokok soalnya, pertama, sejauh mana kebebasan berekspresi dapat terancam oleh pasal tersebut? Kedua, apabila pasal tersebut dipertahankan, sejauh mana pasal tersebut tetap dapat menjamin setiap warga negara tidak kehilangan hak dan merasa takut atau khawatir untuk membagikan buah pikirnya di ruang publik?

Makna Kebebasan Berekspresi

Di alam demokrasi, hak publik untuk bebas berekspresi (public’s right to expression) menjadi salah satu penjamin sehatnya sistem. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari hal lain yang tak kalah penting, yaitu hak publik untuk tahu (public’s right to know). Keduanya merupakan syarat tegas yang harus dipenuhi apabila negara kita mengangankan kebebasan pers menjadi pilar demokrasi. Kedua hak tersebut juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pengakuan universal terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila salah satunya terancam, hal lain sulit berjalan. Apalah artinya jika setiap warga negara dapat menerima limpah ruah informasi, namun tak bebas dalam berekspresi dan/atau saling membagikan hasil olahan informasi itu?

Sekarang, kita hidup dalam dinamika lingkungan informasi mengagumkan. Bagi sebagian orang yang beruntung, oleh sebab internet, akses mereka terhadap informasi global hampir tak terbatas. Dalam hitungan menit bahkan detik, peristiwa di satu titik di permukaan bumi dapat diterima beritanya di belahan bumi yang lain. Demikian pula setiap opini, komentar, ataupun curahan hati kita baik dalam bentuk tulisan, suara, maupun gambar dapat kita unggah melalui blog, facebook, twitter, dan instagram saat kita berada di dalam kamar pribadi yang tertutup rapat sekalipun, sementara orang dari seluruh penjuru dunia dengan segera berpotensi mengetahuinya. Ini sungguh sebuah kehebatan teknologi informasi yang sulit dilakukan oleh moda komunikasi sebelumnya. Internet memberikan lebih banyak kesempatan bagi warga untuk memproduksi dan menyalurkan buah pikirnya. Oleh karena potensi besar itu, kesempatan untuk memenuhi hak untuk tahu dan berekspresi menjadi semakin terbuka.

Internet bukan milik siapapun—walaupun bagi sebagian besar warga di negara berkembang seperti Indonesia aksesnya masih sangat terbatas. Berkatnya, kita bisa mengalami kondisi surplus informasi. Kita berpotensi dapat mengontrol setiap kejadian di ruang publik melalui amatan komprehensif, analisis mendalam, opini, kritik, maupun komentar sekadarnya. Hal itu pun bisa kita lalukan dalam skala geografis yang mengagumkan. Bayangkan saja, kita bisa berkomentar mengenai salah satu kandidat calon presiden sambil tiduran di kasur, kamar mandi, warung, kantor, sekolah, halte, angkutan umum, bahkan sambil membonceng motor di jalan raya. Bila benar pemanfaatannya, surplus informasi ini seharusnya bisa berakselerasi menjadi surplus kontrol. Jika sebelumnya spirit watchdog berada terutama di pundak pers dan LSM, bisa jadi kini peran itu benar-benar menjadi milik setiap warga.

Chilling Effect

Pemerintah, selain harus segera menjamin pemerataan akses internet, juga harus menjamin ketenangan pikiran dan keselamatan jiwa setiap warga dalam memanfaatkannya. Setiap kebijakan pemerintah hendaknya tidak membuat warga justru takut dan khawatir saat mengemukakan setiap buah pikirnya. Potensi teknologi yang sangat menggembirakan di atas akan tampak percuma bila undang-undang membatasi. Pasal 27 ayat 3 UU ITE sangat berpotensi mengurungkan niat warga hanya untuk berkomentar di dunia maya. Ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda hingga satu miliar rupiah sangat menakutkan. Apalagi bila pasal ini dinilai oleh sebagian kalangan, terutama pejabat publik, dapat menjadi senjata aduan saat mereka merasa terhina dan dicemarkan nama baiknya oleh komentar-komentar warga yang mengritiknya.

Hampir setiap pejabat publik mengaku suka akan kritik dan terbuka terhadap komplain. Tetapi belum tentu bila yang datang adalah kritik pedas dan komplain panas. Kritik dan komplain warga biasa di dunia maya sudah terbukti dapat memobilisasi simpati banyak warga yang lain untuk bergerak memerjuangkan keadilan di dunia nyata. Prita Mulyasari, dalam kasusnya dengan Rumah Sakit Omni International, sudah mengalaminya. Demikian pula kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapat banyak dukungan warga sipil yang bergerak secara riil menyambung aspirasi mereka melalui media sosial. Warga negara (citizen) lebih mudah bergerak bersama karena lebih cepat terkoneksi. Gerakan swadaya ini sangat patut diapresiasi, baik Prita yang mulanya bergerak sendiri, maupun para pendukung KPK yang kolektif sejak semula. Kalau sudah demikian, sebenarnya tanggung jawab pemerintah lebih sederhana, yaitu memfasilitasi seluruh kegiatan tersebut dengan jaminan rasa aman bagi warga.

Pemerintah patut mendeteksi dan mengerti sejauh mana rasa aman warga perlahan-lahan tergerus mendengar banyak warga biasa diadukan ke polisi dan dituntut di pengadilan karena kiritik dan komentarnya di internet. Pemerintah harus mengubah mindset dalam menilai kebebasan berekspresi terlebih di dunia yang sudah semakin canggih ini. Apabila internet hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu potensi negatifnya, maka tak menutup kemungkinan terkesampingkannya potensi besar kebebasan berekspresi.

Pertimbangan Akal Sehat

Apabila masih ada pasal dalam UU ITE yang justru memberangus rasa aman, berarti kontraproduktif dengan prinsip demokrasi. Jika setiap warga merasa aman dan nyaman dalam berpendapat, maka setiap orang yang merasa dikritik—atau tersinggung—pun dapat mengeluarkan pendapat tandingan sebagai counter terhadap kritik yang ia rasa tidak benar itu. Budaya kritik dan counter kritik seperti ini memerlukan persiapan dan ‘latihan’ yang panjang. Bila bangsa kita semakin menghargai proses ini dan tak keluar dari koridor reformasi, maka akal sehat menjadi tumpuan setiap warga dalam mencari informasi dan mengekspresikan pikirannya. Hal ini akan membawa atmosfer positif bagi setiap pengguna ruang publik dalam menggapai shared values bersama.

Berdasarkan data Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet), jeratan pasal 27 ayat 3 sudah menyebabkan 40 kasus di Indonesia (id.savenetvoice.org, 15/4/2014). Hal ini cukup memprihatinkan sebab chilling effect yang dikhawatirkan bisa saja membesar. Bila demikian, jalan menuju demokrasi yang sudah kita gadang-gadang bersama bertambah terjal. Oleh karena itu, pihak-pihak yang mengusulkan pengubahan terhadap pasal ini, hendaknya mempertimbangkan mindset khusus mengenai ruang maya ini, yaitu potensi pelebaran kesempatan untuk berbagi ide dan kritik, bukan melulu potensi negatifnya.

*Lukas Deni Setiawan, dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

Search

Pengumuman