Redefinisi Relasi dan Famili di Dunia Maya

Oleh Dina Listiorini

Bernas Jogja, 17 Januari 2012

Carina Sui is in a relationship with Tom Raddick. Mila is single. Kata-kata dalam bahasa Inggris tersebut sangat jamak dijumpai di jejaring sosial Facebook. Salah satu informasi yang disediakan adalah status relasi seseorang. Ada beberapa pilihan yang tersedia, yakni single, married, engaged,  in a relationship with, dan its complicated. Kelima pilihan tersebut diyakini – setidaknya oleh pengguna Facebook sebagai status atau posisi personal seseorang. Status-status tersebut juga kerap dijadikan acuan ketika seseorang ingin menjalin relasi yang lebih intim dengan orang lain. Ia akan cenderung percaya bahwa ketika seseorang memilih status “married” atau menikah, hal tersebut berarti bahwa ia benar-benar menikah, sebaiknya tidak didekati lagi secara personal. Sebaiknya mendekati seseorang dengan status lain yang lebih aman:  single. Bahkan tak ada salahnya mencoba untuk mendekati seseorang dengan status in a relationship, engaged atau its complicated.

Mahasiswa saya yang laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Mahasiswa laki-laki berkata bahwa mereka tidak terlalu peduli dengan status personal di Facebook. Mereka akan mencoba mendekati siapapun yang mereka anggap menarik. “Bisa semuanya sih bu. Itu kan cuma tempelan di dunia maya. Bisa jadi mereka belum kawin dalam arti terikat yang sesungguhnya.” Mahasiswa laki-laki lainnya berkata, “In relationship itu kan belum tentu menikah. Bisa jadi masih pacaran atau tunangan. Meskipun ditulis engaged kan berarti juga belum menikah. Ya sebelum ada janur melengkung atau statusnya berubah jadi married kan masih mungkin dikejar, bu.” Mahasiswa perempuan mengatakan bahwa mereka cenderung malas mendekati seseorang dengan status married atau in a relationship with. “Itu kan berarti bahwa mereka punya hubungan dengan seseorang, bu. Mending cari yang single saja lah..”  Meski demikian, menarik untuk melihat bahwa mahasiswa perempuan berpendapat status its complicated juga memiliki peluang untuk didekati. “Menarik, bu soalnya.. its complicated kan berarti dia punya masalah dalam hubungannya dengan orang lain. Kalau tunangan atau pacaran kan bisa putus suatu saat. Kalau menikah kan bisa saja cerai.”

Pada awalnya saya memilih tidak menuliskan apapun sebagai status personal saya di Facebook. Sebulan kemudian saya menggantinya dengan married karena terlalu banyak “lamaran menikah” baik dari teman-teman yang saya kenal secara personal maupun teman-teman yang tidak terlalu saya kenal. Cara ini rupanya efektif. Tidak ada lagi yang mencoba mendekati atau melamar saya. Dalam hal ini mahasiswa perempuan saya benar. Orang akan malas mendekati seseorang yang berstatus married. Menarik bahwa saya mendapati begitu banyak komentar di bawah status personal saya tersebut. Banyak ucapan selamat baik yang diucapkan secara bercanda atau serius. Ada pula yang seolah-olah patah hati. Hal ini seolah menjadi selebrasi yang melimpah ruah dan sarat kebahagiaan. Namun mahasiswa laki-laki tidak sepenuhnya salah ketika mereka meragukan bahwa status married itu benar adanya di dunia maya. Beberapa orang nampaknya bermain-main dengan status personal mereka. Salah satu alasan yang diberikan adalah “Untuk apa serius di dunia maya? Kau bisa menjadi siapapun yang kau mau dan memilih berhubungan dengan siapapun yang kau suka. Siapa yang peduli kau menikah atau masih lajang”. Itu benar. Seorang teman gay saya menuliskan statusnya sebagai in relationship with saat pertama saya melihat status personalnya. Seminggu kemudian dia menggantinya dengan married. Sebulan kemudian menjadi Its complicated, dan tak lama sesudahnya menjadi single. Perubahan status yang begitu cepat tersebut ditanggapi dengan beragam komentar. Sebagian besar tentu saja menanggapinya secara bercanda. Secara tidak langsung masyarakat dunia nyata “dinasehati” untuk tidak mudah percaya dengan fenomena masyarakat dunia maya.

Penulisan status married agaknya juga dilakukan salah satunya untuk melindungi diri terutama dari permintaan pertemanan dengan orang yang tidak terlalu dikenal.  Salah satu adik ipar saya yang belum menikah pernah menuliskan statusnya sebagai married dengan kekasihnya. Ia menuliskannya demikian agar tidak “diganggu” dengan perkenalan atau perminatan khusus terhadap dirinya seandainya ia menuliskan statusnya sebagai “single”. Meski sebagian kerabat tidak terlalu mempedulikan, nyatanya ada beberapa anggota keluarga yang sangat keberatan dengan status tersebut. Mereka mempermasalahkannya hingga akhirnya ia menggantinya dengan “in relationship” yang bertahan hingga saat ini. Pernah suatu kali ia menuliskan status personalnya sebagai its complicated yang mengundang banyak sekali komentar. Sebagian besar berkomentar dengan nada simpati dan rasa kasihan yang mendalam.

Beberapa orang teman Facebook saya yang berasal dari daratan Eropa menuliskan status hubungannya “in relationship” yang berarti mereka belum menikah dan pada kenyataannya mereka memang belum (tidak) menikah. Namun mereka memiliki anak dari hubungan tersebut dan bangga karenanya. Hal itu nampak dari foto-foto yang diunggah di dinding facebook mereka. Foto-foto kehamilan sang ibu, pesta natal keluarga, upacara pembaptisan sang anak, dan masih banyak foto lainnya yang seolah menunjukkan bahwa mereka telah menikah padahal tidak/belum. Konteks “in a relationship” menurut versi masyarakat Barat agaknya berbeda dengan versi Timur. Memiliki anak menurut versi Timur seharusnya diletakkan dalam status married. Tidak hanya teman dari Indonesia yang menyatakan hal tersebut, beberapa teman dari Malaysia, Cina dan Persia berkomentar hal yang sama. Namun bagi beberapa teman homoseksual saya yang berasal dari Asia termasuk Indonesi, hal ini tidak terlalu penting. Beberapa teman lesbian menuliskan status in a relationship dan memiliki anak di kolom famili (keluarga). Tapi, tahukah bahwa yang disebut sebagai “anak” oleh mereka adalah seekor anjing pudel? Tidak ada komentar negatif, semua memuji kelucuan “anak” tersebut dengan kata-kata ‘so cute’, ‘adorable’, ‘sweet’ bahkan ‘lovely’. Si “anak” juga memiliki facebook sendiri dengan namanya seperti anak-anak manusia lainnya.

Manuel Castells dalam tulisannya berjudul The Rise of The Network Society (1996) menyatakan kekuatirannya bahwa teknologi internet selain menjadikan masyarakat terintegrasi dalam sebuah komunitas maya yang interaktif, juga menjadikan masyarakat berinteraksi karena mereka menjadi terhibur dalam sebuah pola entertainment dan bukannya menjalin interaksi yang sesungguhnya. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menurut Castells akan berdampak secara kultural jauh lebih besar dan radikal dibandingkan komunikasi demokratis. Hal ini agaknya terbukti dengan bagaimana orang memaknai sebuah relasi di jejaring sosial seperti Facebook. Sebagian orang sangat peduli ketika seseorang meninggalkan status dari menikah menjadi lajang. Sebagian hanya tertawa. Sebagian justru menggunakan status-status tersebut untuk memancing perhatian dan komentar. Relasi pertemanan di Facebook tidak harus dimaknai secara serius.

Hal lain tentang relasi yang menarik untuk dicermati adalah relasi “keluarga” yang terbentuk di Facebook. Definisi tentang keluarga menjadi sedemikian cair, tidak lagi berhubungan dengan fakta bahwa keluarga merupakan ‘institusi’ yang terbentuk karena adanya hubungan darah atau kekerabatan (kinship) seperti dikemukakan para antropolog dan sosiolog. Pada awalnya saya menolak ajakan dari seorang teman yang memasukkan saya sebagai saudara perempuannya (sister) ke dalam sistem family tree di Facebook karena menurut saya, itu hal aneh mengingat secara biologis ataupun kekerabatan ia tak ada hubungannya dengan saya. Namun lambat laun saya menemukan kenyataan, adalah hal yang sangat jamak untuk “merekrut” seseorang menjadi saudara, sepupu, paman, bibi termasuk ayah dan ibu sekalipun; meski di antara mereka sama sekali tidak memiliki ikatan atau hubungan apapun. Seorang teman perempuan Facebook saya yang berasal dari Saudi Arabia memiliki beberapa saudara laki-laki dan perempuan yang berasal dari Belanda, Turki, Amerika Serikat, Yunani dan bahkan Indonesia. Kolom familia atau keluarganya penuh dengan nama-nama orang dari berbagai negara. Saya pun ragu ketika melihat “ayah” dan “ibu”nya, apakah mereka benar-benar orang tuanya? Tidak perlu menelisik terlalu jauh untuk urusan di Facebook.

Pertanyaan selanjutnya bagi saya adalah bagaimana menentukan si A, si B atau si C menjadi sister, brother, cousin, nephew, aunt, uncle bahkan mother dan father? Saya pernah menanyakan hal tersebut ke beberapa teman facebook, baik teman-teman dari Indonesia, luar negeri maupun mahasiswa saya. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah kedekatan. Lalu bagaimana tolok ukur kedekatan itu sendiri? Mahasiswa saya menjawabnya dengan kualitas komunikasi. Saya mendapati seorang mahasiswa di satu angkatan memiliki sekian banyak brother dan sister yang notabene adalah teman-teman seangkatannya. “Kita kan gank sejak SMP bu” demikian ujarnya. Ia pun mencantumkan nama saudara kandung dan kerabatnya dalam sistem family tree di Facebook bercampur dengan teman-teman kuliahnya.

Lalu bagaimana dengan seseorang yang memiliki sister atau brother dari berbagai negara? Jawabannya pun sama. Kedekatan. Bila mahasiswa saya dekat secara fisik dengan teman-teman kuliahnya karena mereka saling bertemu; lalu bagaimana dengan orang-orang yang nyaris tak pernah bertemu secara fisik ini? Ternyata kedekatan dibangun dengan percakapan-percakapan yang intens. Sering berkomentar positif pada status, foto, notes, video, dan lainnya. Sering mendiskusikan sesuatu hal secara mendalam, bertukar pikiran. Hal ini terjadi pula pada saya yang akhirnya tidak keberatan “memiliki” sister dari Israel dan London, serta male cousin dari Mexico selain pencantuman nama-nama saudara yang memang kerabat.  Ketika seorang kolega saya pergi ke London untuk wisuda S2, saya menitipkan beberapa barang untuk “sister” saya itu yang kemudian dibalas dengan hadiah yang berlimpah serta sepucuk surat yang membuat saya tersenyum. Intinya, ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan “saudara perempuan” dari belahan dunia lain.

Relasi yang oleh Castells dikatakan sebagai interaksi yang dipicu oleh hiburan dan bukan interaksi yang sesungguhnya inilah yang banyak mendasari relasi-relasi di Facebook. Termasuk membuat sebuah jaringan keluarga. Anda bisa menentukan dengan mudah siapa  yang akan menjadi “sanak famili” anda tanpa perlu berpikir panjang apakah dia benar-benar famili kita dari garis darah atau kekerabatan. Tidak perlu dipikir secara serius. Bahkan tidak perlu bertemu secara fisik untuk kemudian menyepakati adanya sebuah relasi atau sebuah status keluarga. Siapa saja bisa menjadi paman atau bibi anda, atau ayah dan ibu anda, atau bahkan anak yang tidak pernah anda lahirkan atau adopsi. Seorang mahasiswa dari Papua “melamar” saya untuk menjadi ibunya. Sehingga kalau anda membuka facebook saya, akan tampak anak tersebut berstatus sebagai anak saya; atau saat anda membuka facebook mahasiswa saya itu, anda akan melihat saya berstatus sebagai ibunya. Tidak berlebihan, karena sebagai pengajar di kampus, saya juga bisa menjadi pengganti orang tuanya. Dia pun memanggil saya dengan “mama Dina”. Dia menuliskan ekspresi tertawa ketika temannya penasaran dengan menyatakan “Beneran po, bu Dina itu mamamu?” Saya pun menanggapi komentar tesebut di bawahnya dengan bercanda, “Beneeeerrr… hayooo, siapa lagi yang mau mendaftar menjadi anak saya?” Begitulah.

Lalu bagaimana? Tinggalkan Facebook untuk sesaat. Mari bertemu dengan orang-orang nyata di dunia yang nyata. ***

 

*Dina Listiorini, dosen di program studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman