Bernas Jogja, Selasa 15 Januari 2013
Oleh Lukas S. Ispandriarno
Kecelakaan mobil merah nan mewah Ferrari (listrik) “Tucuxi” senilai Rp 1,5 miliar milik Menteri BUMN Dahlan Iskan membikin gempar. Media massa Yogyakarta ikut menyantap lahap peristiwa ini karena sarat nilai berita. Ke mana arahnya?
Dahlan Iskan
Dalam jurnalisme, pejabat pemerintah seperti Dahlan Iskan (DI), menjadi nilai berita (news value) terpenting, apalagi ia adalah sosok tenar (prominence) di republik ini. Setelah sukses dengan koran Jawa Pos, DI diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara. Mungkin karena dianggap berhasil, iapun diangkat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan namanya makin melambung. Ia terus diincar media dan sedikitnya 10 buku telah diterbitkan termasuk “Tokoh Kontroversial,” “From Zero to Hero, ” hingga “Seandainya Dahlan Iskan Jadi Presiden.” Dahlan juga dikenal memiliki mobil Jaguar.
Sebelum mengalami kecelakaan atau “mengorbankan diri demi ilmu pengetahuan” ia sempat menggoyang politisi Senayan karena janji membeberkan 10 nama pelaku pemerasan BUMN. Akan tetapi sesumbar DI dianggap kegaduhan politik dan sekadar pencitraan karena tak ditepati. Hanya beberapa nama yang diungkap pada pertemuan dengan DPR, sebagian nama diralat. Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, Linda Megawati, Saidi Butar-butar, I Gusti Agung Wirajaya, dan M Hatta tidak terbukti melanggar kode etik DPR. Karena salah, dua nama lain, Andi Timo Pangeran dan M Ichlas El Qudsi tidak diproses Badan Kehormatan. Ulah DI disejajarkan dengan Dipo Alam yang juga kerap membikin gaduh dengan pernyataan kontroversialnya.
Liputan media lokal
Meski menamakan diri media lokal, namun pada umumnya media cetak Yogyakarta tetap mengusung peristiwa nasional di halaman depan. Di satu sisi redaksi menganggap isu nasional lebih penting dan laku ketimbang isu lokal. Di pihak lain hal ini menandakan media kurang percaya diri bahwa isu setempat itu penting dan bakal disantap khalayak. Peristiwa kecelakaan mobil Dahlan ditempatkan di headline (HL) halaman muka karena sejumlah faktor. Pertama, ketenaran sosok DI, kedua, ada keterkaitan antara peristiwa ini dengan konteks lokal (proximity) yaitu teknisi serta bengkel yang menangani kelistrikan “Tucuxi”.
Bernas Jogja misalnya membuat HL “Dosen UGM Bantah Terlibat” (7/1) dan menyebut nama Jayan Sentanuhady dan Eka Firmansyah, dosen Fakultas Teknik UGM. Pada hari yang sama Kedaulatan Rakyat menulis judul yang mirip di halaman depan meski bukan HL. Faktor kedekatan yang kerap disebut adalah perkara kelistrikan mobil “Tucuxi “yang digarap di bengkel Kupu-Kupu Malam (KKM) di Jalan Magelang. Isu ini bahkan bertaraf nasional karena bermuatan perselisihan (conflict), sebuah nilai berita yang tak kurang pentingnya. Media nasional mengangkat “perseteruan” antara Danet Suryatama pencipta awal mobil listrik “Tucuxi” dengan pemilik bengkel KKM.
Isu kedekatan semakin memantapkan media Yogyakarta mengangkat berita kecelakaan mobil merah nan mewah DI karena plat nomor DI 19 ternyata buatan kios di Jalan Tentara Pelajar, Bumijo. Menurut pembuatnya, KKM sudah sering meminta jasanya membuatkan plat nomor. Lucunya, tidak ada kode DI di republik ini.
Arah pemberitaan
Pada umumnya media cetak Yogyakarta menulis berita (kecelakaan) mobil “Tucuxi” Dahlan karena memenuhi nilai ketenaran dan kedekatan peristiwa dengan khalayak Yogyakarta. Belum terjawab, ke mana arah pemberitaan.
Dalam komunikasi massa, media dikelilingi sejumlah faktor (McQuail, 1992; Reese dan Shoemaker, 1996; Entman, 1993). Tiga ahli pertama menyebut faktor eksternal berada di seputar media seperti pemerintah, khalayak, pengiklan, politisi sedangkan Entman menambahkan faktor internal media antara lain pemilik dan jurnalis, serta situasi keseharian ruang media (news room). Kendati demikian, senantiasa terdapat hubungan antara faktor eksternal dan internal, misalnya bila sebuah berita cenderung membela (lembaga) pemerintah tentu hal itu disebabkan oleh situasi internal yang memengaruhinya, terutama kepentingan ekonomi politik pemilik dan pimpinan media.
Dalam berita kecelakaan mobil listrik DI, media lokal lebih banyak mengikuti alur nilai berita yang dianggap bisa menyedot rasa ingin tahu pembaca. Bila ditilik lebih dalam, media belum banyak menganalisis bagaimana sebenarnya posisi Dahlan, apakah ia melakukan pelanggaran, mencari sensasi, atau yang lain. Khalayak lebih banyak disuguhi informasi bahwa sesosok menteri mengalami kecelakaan dalam ujicoba mobil listrik karena remnya ”blong” sehingga harus menabrakkannya ke sebuah tebing.
Media perlu menulis lebih jauh bahwa ulah DI ini sebenarnya mengandung unsur kegaduhan dan pencitraan seperti ia lakukan ketika menebar janji membeberkan 10 nama politisi Senayan pemeras BUMN. Tindakan DI melakukan ujicoba mobil listrik jelas menyalahi ketentuan karena ia bukan orang yang tepat melakukan ujicoba mobil. Tambahan pula, percobaan dilakukan di jalan umum yang membahayakan dan hal itu telah terjadi karena sebuah mobil dan pengemudi Toyota Kijang menjadi korban.
Unsur utama yang belum diulas media adalah kemanfaatan mobil ini bagi rakyat bila akhirnya dinyatakan layak karena harga mobil yang sedemikian fantastis. Media belum mengulas dengan kritis bahwa DI ini sebenarnya sedang bermain-main dengan uang pribadinya di hadapan rakyat atas nama ujicoba mobil listrik. Dugaan mencari sensasi mencuat ketika ia menyebutkan bahwa mobil ini telah dipesan puluhan orang, termasuk SBY dan seorang dutabesar Eropa. Dugaan pencitraan muncul karena pada bulan Mei 2013 Presiden SBY akan mencanangkan atau meresmikan mobil listrik nasional. Bayangkan bila mobil yang direstui SBY adalah mobil “Tucuxi” seharga Rp 1,5 miliar yang ongkos pengadaan keseluruhannya mencapai Rp 3 miliar!
Menyimak sejumlah judul yang ditulis media lokal Yogyakarta dapat dibaca bahwa DI telah melakukan sejumlah pelanggaran antara lain, pelanggaran Undang-Undang Lalu Lintas (KR, 8/1), sehingga “Dahlan Bisa Jadi Tersangka” (Harian Jogja, 8/1) atau “Dahlan Mengaku Salah” (Tribun Jogja, 9/1). Judul berbeda terdapat di koran Jawa Pos Radar Jogja seperti “Politik Jangan Kalahkan Ilmu Pengetahuan” ataupun “Polda: Kecelakaan Tidak Ada Kelalaian” (9/1).
Media yang kritis
Media selayaknya terus mengritisi alasan-alasan yang dikemukakan DI. Judul “Politik Jangan Kalahkan Ilmu Pengetahuan” jelas mengelabuhi khalayak karena sikap kritis media atau masyarakat atas ulah tak pantas DI sulit dimaknai sebagai politik (yang jelek). Itu adalah sikap (politik) yang benar bahwa melakukan ujicoba di jalan raya, melakukan ujicoba padahal tidak berkompeten, memasang plat nomor ilegal, mengemudi tanpa STNK, adalah pelanggaran hukum. Media juga harus mengoreksi kebiasaan pemberitaan selama ini yang cenderung memberi label negatif pada politik sehingga menimbulkan pengertian keliru kalangan masyarakat bahwa politik itu (selalu) jelek, termasuk pernyataan tokoh kita ini, Dahlan Iskan.
*Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Ketua Masyarakat Peduli Media (MPM) DIY.