Oleh Yudi Perbawaningsih
Bernas Jogja, 28 Mei 2013
Pada awal teori-teori efek media diciptakan, khalayak penonton diberi atribut sebagai penonton kelas berat dan pasif. Disebut sebagai kelas berat karena intensitas menonton televisi dalam sehari dapat lebih dari 4 jam, sedangkan bersifat pasif karena lemah dan tak berdaya terhadap semua hal yang ditawarkan televisi. Hal ini mengasumsikan bahwa efek media sangat kuat mempengaruhi manusia dan masyarakat. Beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut adalah teori peluru, teori kultivasi dan teori agenda setting (West and Turner 2007, Griffin 2005).
Teori peluru menganalogikan media sebagai peluru yang ditembakkan dan langsung terkena pada sasaran. Apa yang diharapkan media untuk dilakukan oleh khalayak penonton, itu pula yang dilakukan oleh khalayaknya. Teori kultivasi atau teori penanaman disebut sebagai teori yang menjelaskan efek media kuat karena media memiliki kemampuan menanamkan nilai-nilai sosial dan cara pandang terhadap sekelilingnya. Ketika media menawarkan nilai-nilai kekerasan, maka khalayak penonton akan menilai bahwa dunia dan masyarakat sekitarnya penuh dengan kekerasan. Sedangkan, teori agenda setting menjelaskan kekuatan media terletak pada kemampuannya membentuk pikiran orang tentang suatu isu tertentu, bahkan mengarahkan tindakan yang harus diambil terkait isu tersebut. Teori yang terakhir ini diciptakan tahun 1973 dan sampai sekarang diakui banyak peneliti sebagai teori yang tahan gempuran waktu, dan selalu relevan digunakan memahami lingkungan atau situasi yang banyak berubah.
Tulisan ini bertujuan mendiskusikan kekuatan media massa dalam membentuk wacana publik pada masyarakat Indonesia. Dalam konteks teori ini, pada kondisi sekarang, diasumsikan media tidak lagi memiliki kemampuan tinggi dalam mempengaruhi apa yang dipikirkan khalayak, bagaimana memikirkan dan apa yang harus dilakukan karena adanya kompetisi media yang sangat tinggi dan karakter khalayak penonton yang lebih cerdas dan rasional. Benarkah asumsi ini?
Kondisi Sekarang
Tahukah kita dengan peristiwa perseteruan Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet dan Arya Wiguna? Peristiwa ini disiarkan dengan intensitas sangat tinggi dan berlangsung selama beberapa minggu. Kasus Eyang Subur dengan Adi menjadi agenda paling dahsyat media di Indonesia, terutama pada acara hiburan popular. Media menganggap hal tersebut penting. Saya meyakini agenda media ini pun menjadi wacana atau perbincangan publik, mengalahkan wacana lain pada saat yang sama. Apa yang tidak dimuat di media dan apa yang tidak diperbincangkan publik tentu bukanlah sesuatu yang tidak penting atau tidak perlu. Banyak kasus justru menunjukkan bahwa apa yang menjadi agenda media dan menjadi agenda publik bukanlah sesuatu penting dan perlu.
Dalam sebuah perbincangan di televisi, seorang politisi mengatakan bahwa televisi Indonesia itu tidak cerdas dan demikian juga dengan publik. Kasus penyiaran perseteruan Eyang Subur dianggapnya sebagai wacana yang memuakkan dan membuat dirinya mual. Banyak hal yang seharusnya lebih penting dipikirkan media dan publik, dan itu justru tidak diagendakan. Politisi ini menilai bahwa media memang dengan sengaja menetapkan agenda untuk sesuatu yang sifatnya “sampah” untuk mengalihkan perhatian publik dari sesuatu yang justru jauh lebih penting. Ada yang memesan rancangan agenda ini.
Pernyataan politisi ini dapat dimengerti. Kekuatan media adalah memang untuk membingkai sebuah peristiwa dalam sebuah berita, sesuai dengan kepentingannya (jurnalis). Bingkai inilah yang ditawarkan kepada publik. Kepentingan jurnalis terkadang tidak bebas dari kepentingan pihak-pihak lain. Jadi, sangat mungkin bahwa agenda media tentang Eyang Subur disengaja oleh jurnalis berdasarkan pesanan atau kepentingan tertentu, misal birokrat, politisi lain, pejabat pemerintah, dan pemilik modal. Pembingkaian ini bisa dilakukan dengan penonjolan pada isu tertentu, pembengkokan (menciptakan interpretasi tertentu) dan juga pengaburan isu-isu lain yang justru lebih penting, tentu dengan sebuah kepentingan tertentu yang tidak perlu diketahui publik.
Sebetulnya, publik tidak perlu terbawa arus kepentingan media dan kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh seorang jurnalis. Publik sejatinya memiliki kemampuan memilih isi media, memiliki kebebasan menginterpretasikan peristiwa dan meyakini secara bebas apa yang dianggapnya benar atau sebagai realitas. Namun sayangnya, pada beberapa kasus, publik penonton televisi kita itu rapuh, gampang terpengaruh dan mudah dibawa arus media. Karakter orang Indonesia yang masih sangat kolektivistik yang ditunjukkan dengan ketidakberanian menjadi berbeda dari kelompoknya, dan tidak berani terpisah dari keanggotaan kelompok, menjadi faktor penting yang menentukan ketidakberdayaan publik berhadapan dengan media. Mewacanakan isu yang berbeda dari yang diwacanakan kelompok merupakan sesuatu yang berresiko tinggi, yaitu bisa dikucilkan dari kelompok, dianggap tidak gaul dan aneh. Apalagi ketika semua media baik itu cetak dan elektronik mengulas berita yang sama, dengan detil berita yang sama pula. Maka, situasi-siatuasi semacam inilah yang menempatkan masyarakat Indonesia sebagai publik penonton yang tidak cerdas dan pasif. Dalam kondisi masyarakat penonton seperti ini pula media memiliki kekuatan yang luar biasa.
Mengontrol Media
Siapa yang memiliki kekuatan mengontrol media? Selama ini kita memahami pemerintah, pemuka agama, orang tua, guru memiliki peran penting untuk mengendalikan isi media atau mengarahkan agenda media. Tak satu pun dari yang disebutkan memiliki kekuatan untuk itu. Isi media ditentukan oleh pekerja media, dan pekerja media berada dalam kendali kepentingan ekonomi, jadi yang berlaku adalah hukum pasar. Apa yang dikehendaki pasar, itulah yang akan diproduksi dan dijual. Selama masih ada permintaan, selama itu pula akan ada penawaran. Jadi dengan kata lain, pasarlah yang menentukan.
Dalam konteks media, keberlangsungan hidupnya ditentukan satu-satunya adalah pasar, yaitu penonton, pembaca atau pendengar. Yang menentukan baik buruk dari efek media bukannya media itu sendiri tetapi pengguna media itu. Acara yang sama dapat berakibat buruk jika ditonton oleh publik yang “buruk”, dan dapat berakibat baik jika ditonton oleh penonton yang “baik”. Jadi, yang perlu dilakukan untuk membatasi kekuatan media adalah mencerdaskan penontonnya. Penonton yang cerdas adalah penonton yang mampu menentukan agendanya sendiri dan tidak terbawa arus agenda media. Untuk itu, pada aspek individual, perlu ditingkatkan tingkat pengetahuan atau wawasan sosial yang tinggi dengan memperluas jaringan sosial (tidak mengandalkan media sebagai satu-satunya sumber informasi). Sedangkan pada aspek sistem komunikasi, perlu diciptakan keragaman isi media juga termasuk keragaman interpretasi.
Jadi apakah Eyang Subur perlu kita bicarakan dalam keseharian kita? Tentu tidak perlu ketika kita yakin bahwa isu ini tidak relevan dengan kepentingan kita, dan kita punya kesempatan yang mudah untuk memperoleh informasi lain yang lebih penting dan lebih berguna
*Yudi Perbawaningsih, pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta