Apa Salahnya Menjadi Perempuan?

Bernas Jogja, Selasa 17 September 2013

Oleh : Bonaventura Satya Bharata

Dalam dua bulan terakhir, wacana mengenai (tubuh) perempuan kembali menjadi perdebatan hangat di masyarakat. Mulai dari kontroversi munculnya rencana test keperawanan di kota Prabumulih, Sumatera Selatan, kontroversi  lurah perempuan Susan Jasmine Zulkifli di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, hingga  penyelenggaraan Miss World 2013 di Indonesia pada bulan September ini.

Wacana test keperawanan  siswi  SMP atau SMA di Sumatera Selatan  sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Ide serupa sempat dilontarkan seorang anggota DPRD Jambi pada September 2010. Ketika itu test keperawanan bahkan diinisiasikan masuk ke dalam peraturan daerah. Rancangan perda ini mewajibkan pelajar perempuan yang hendak meneruskan pendidikan ke jenjang sekolah menengah  melakukan test keperawanan. Bila terbukti tidak perawan, maka calon siswi tersebut dapat kehilangan hak meneruskan sekolah. Tentu hal ini memicu perdebatan, tidak hanya di Jambi namun merembet ke daerah lain. Wacana test keperawanan mereda setelah Kementerian Pendidikan Nasional angkat bicara, tidak menyetujui rencana tersebut.

Demikian pula dengan penolakan perempuan menduduki jabatan publik, seperti dialami Lurah Susan. Penolakan ini pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat tentu belum lupa ketika Megawati Soekarnoputri gagal menjadi Presiden RI keempat pada 1999. Poros tengah yang mengajukan nama Abdurrachman Wahid (Gus Dur) mengungguli Megawati yang diusung PDI Perjuangan. Padahal kala itu, PDI-P merupakan partai politik pemenang pemilu dengan total perolehan suara sekitar 34% dan mendominasi kursi di parlemen. Salah satu alasan yang mengemuka adalah karena Megawati seorang perempuan. Peristiwa dengan argumen relatif serupa kini  terjadi pada diri Lurah Susan. Walaupun dalam kasus Lurah Susan melibatkan  perbedaan keyakinan, namun alasan kedua penolakan  adalah karena ia seorang perempuan.

Penyelenggaraan kontes ratu sejagat Miss World 2013 yang berlangsung di Bali juga tidak luput dari  pro dan kontra di masyarakat. Indonesia memang baru pertama kali ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan kontes kecantikan internasional. Akan tetapi  pro-kontra selalu mewarnai pada tahun-tahun sebelumnya ketika Indonesia mengirim perwakilannya di ajang tersebut. Kalangan agamawan yang menentang acara ini berpendapat tidak layak bagi perempuan  mempertontonkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya di muka umum. Namun argumen sebaliknya dari kalangan yang pro  berpendapat bahwa inilah kesempatan  perempuan Indonesia unjuk prestasi di pentas internasional.

Berkaca dari peristiwa-peristiwa di atas, muncul sebuah pertanyaan yang mengusik. Apa salahnya menjadi perempuan? Mengapa setiap muncul  persoalan di masyarakat seperti pada peristiwa-peristiwa di atas, perempuan seolah menjadi santapan empuk dituding sebagai penyebab masalah. Bahkan pada peristiwa kekerasan seksual yang melibatkan perempuan sebagai korbannya pun, sering pula kesalahan  ditimpakan kepada si perempuan. Tidak tanggung-tanggung, yang menudingnya tidak hanya laki-laki, namun juga kaum perempuan. Tengok saja peristiwa demonstrasi yang menentang lurah Susan di Lenteng Agung dan demonstrasi penyelenggaraan Miss World 2013. Selain didominasi laki-laki, terdapat keterlibatan sejumlah perempuan.

Untuk menjawab pertanyaan dan memahami dengan jernih semua persoalan ini, kiranya masyarakat perlu memahami  apa yang dinamakan  gender dan budaya patriarki di Indonesia. Mansour Fakih (dalam Bharata, 2009: 2) menyatakan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya oleh masyarakat tertentu. Sedangkan budaya patriarki (Fakih dalam Bharata, 2009: 14) mengacu pada karakteristik budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Konsep gender mengacu pada dua hal, yakni feminitas dan maskulinitas. Perempuan biasanya  identik dengan sosok yang lembut, penuh kedamaian, lebih mengandalkan emosi atau perasaan. Sedangkan laki-laki lebih diidentikkan dengan sosok kuat, jantan, dan berperilaku rasional.  Karena di Indonesia lebih kuat budaya patriarki, maka semenjak kanak-kanak, hampir semua keluarga di Indonesia berusaha membentuk kepribadian anak-anaknya sesuai dengan kedua konsep gender ini, yakni laki-laki yang maskulin dan perempuan yang feminin. Sejak kecil biasanya diajarkan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh manja, harus kuat, dan harus pemberani. Sedangkan perempuan tidak menjadi soal bila menangis, boleh bermanja-manja, bersikap lembut, dan wajar bila bukan pemberani.

Ketika beranjak besar, laki-laki biasanya  diajarkan bertanggung jawab pada pekerjaan-pekerjaan lebih berat, lebih banyak menuntut kemampuan fisik, seperti membetulkan perkakas yang rusak, memperbaiki genteng bocor, bahkan menggantikan peran ayah  kerja bakti dan ronda malam. Sedangkan perempuan diarahkan ke peran domestik menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti membersihkan rumah, merawat anak-anak, dan menyiapkan semua keperluan keluarga.

Namun yang perlu diingat, konsep gender  murni merupakan konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Dengan demikian pembagian peran gender sebenarnya bukanlah bersifat adi kodrati, sesuatu yang given atau taken for granted atau memang dari sananya sudah demikian. Sangat mungkin bila dalam masyarakat yang lain, peran gender  dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan.

Sayangnya,  masyarakat masih sering menyalahartikan konsep gender ini sebagai sesuatu yang sifatnya adi kodrati. Artinya, kesemua pembagian peran gender antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah memang sudah demikian adanya  dan tidak patut  diperdebatkan lagi. Pembagian peran gender dipahami sebagai sesuatu yang alami atau adi kodrati. Padahal sesuatu yang bersifat adi kodrati itu sebenarnya bukanlah gender, melainkan seks (alat kelamin). Perempuan memiliki payudara, rahim, dan vagina, sedangkan laki-laki memiliki penis sebagai bagian dari alat reproduksi masing-masing memang merupakan anugerah pemberian dari Sang Maha Pencipta. Perempuan memiliki kemampuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui sedangkan laki-laki tidak, merupakan peristiwa  alami dan demikian adanya. Inilah yang harusnya disebut sebagai adi kodrati  karena masing-masing kemampuan tidak dapat saling dipertukarkan di antara keduanya. Dengan demikian gender dan seks adalah dua hal berbeda.

Pemahaman salah tentang gender dalam masyarakat patriarki diperparah karena mendapatkan legitimasi dari budaya (adat kebiasaan) dan tafsir agama tertentu. Seperti  diketahui, kultur masyarakat Indonesia lebih bercorak patrilineal ketimbang matrilineal. Kultur ini secara eksplisit memberikan posisi lebih menguntungkan bagi laki-laki ketimbang perempuan. Akibat ikutannya, peran laki-laki akan lebih dominan dibandingkan  perempuan baik di keluarga maupun di masyarakat. Coba tengok  adat perkawinan di beberapa daerah di Indonesia. Adat perkawinan di beberapa daerah cenderung memberikan posisi dominan kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Beberapa tafsir agama juga  lebih memberikan keuntungan bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan dalam relasi sosialnya di masyarakat.

Kesalahan memahami peran gender, masih dominannya budaya patriarki, dan kuatnya legitimasi menjelaskan kepada kita mengapa (tubuh) perempuan selalu menjadi perdebatan hangat bahkan panas dalam beberapa kasus tertentu, seperti pada peristiwa-peristiwa di atas. Ketiga faktor tersebut menjelaskan kepada kita mengapa justru ada perempuan yang tidak setuju bila Susan Jasmine menjadi lurah Lenteng Agung serta ikut tidak setuju atas penyelenggaran Miss World. Para perempuan ini bahkan  turut serta dalam aksi demonstrasi menentang Susan dan kontes kecantikan internasional tersebut.  Ketiga faktor ini juga sekaligus menjelaskan, mengapa ada  beberapa perempuan yang justru mendukung dilaksanakannya test keperawanan untuk calon siswi sekolah menengah.

Bila masyarakat memahami benar mengenai konsep peran gender dan tidak terkungkung dalam budaya patriarki, sebenarnya apa yang terjadi pada Lurah Susan, mantan Presiden Megawati, dan penyelenggaraan Miss World merupakan hal yang lumrah dan biasa. Sebagai pembanding, masyarakat tentu tahu siapa Hillary Clinton (mantan menteri luar negeri Amerika Serikat), Angela Dorothea Merkel (perdana menteri Jerman), Margareth Thatcher (yang dijuluki The Iron Lady atau Wanita Besi, mantan perdana menteri Inggris di era tahun 1980-an). Di Asia pun, masyarakat tentu ingat  Corazon Aquino (mantan presiden Phillipina yang pada tahun 1986 meruntuhkan kekuasaan Ferdinand Marcos) dan Benazier Bhutto (mantan perdana menteri Pakistan). Ini merupakan bukti bahwa sebenarnya perempuan memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki bila memang memiliki kesempatan yang sama. Jadi masyarakat tidak perlu menyalahkan perempuan bukan?

*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si., dosen Ilmu Komunikasi FISIP,  Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman