Bernas Jogja, Selasa, 17 Juni 2014
Oleh Diyah Hayu Rahmitasari*
Menjelang pemilihan presiden 9 Juli, media semakin disesaki informasi-informasi politik yang bermuatan serupa: “Pilih Saya” atau “Pilih Dia”. Bahkan, tak jarang media turut andil dalam berkampanye, menyatakan secara terang-terangan dukungan mereka atas calon tertentu, tanpa mempedulikan lagi soal objektivitas, netralitas, penghormatan pada frekuensi publik dan sebagainya. Kalau perlu, calon yang didukung harus masuk ke semua acara, yang tidak relevan sekalipun—semisal penyerahan hadiah di sebuah reality show televisi (Santoso, 2014)—hanya karena sang pemilik media mendukung calon presiden tersebut. Dalam logika media sekarang ini, “tekanan ekonomi menjadi pembenaran untuk mengorbankan standar kepentingan, kedalaman, dan keragaman demi pandangan orang-dalam (subjectivity), skandal, kekerasan, seks, invasi wilayah privat dan sensasionalisme” (Keeble, 2001:61).
Tidak hanya pada media elektronik, demam berkampanye politik juga melanda media sosial. Timeline di Facebook dan Twitter ramai dengan status dan kicauan politik. Semua orang seketika menjelma menjadi simpatisan bahkan komentator politik. Pemilu di Indonesia saat ini memang tidak lagi “rahasia” seperti era-era sebelumnya. Alih-alih rahasia, semua orang justru sibuk mengabarkan dukungan mereka dan menunjukkan sikap mereka, melalui foto profil, status, kicauan bahkan tulisan-tulisan di forum opini online. Media sosial memang telah menjadi wadah partisipasi politik yang paling utama dalam Pemilu 2014 ini. Menurut Hearne (2014), “ketika pencalonan presiden oleh PDI-P 14 Maret (yang) menetapkan Jokowi, Twitter dan Facebook ramai membicarakan hal tersebut. Ada sekitar 8,2 juta pembicaraan di sosial media di Indonesia, dan 6,9 juta di antaranya membicarakan Jokowi.”
Di satu sisi, fenomena ini menegaskan iklim demokratis yang aktif, kritis, terbuka dan membahagiakan, mengingat betapa susahnya bagi kita dulu untuk bebas memilih tanpa perlu menyembunyikan pilihan tersebut. Keterbukaan juga membuat masyarakat memiliki kesempatan berdiskusi dan bertukar pendapat secara cerdas dan bijaksana. Namun, di sisi lain, hal ini juga mengarah pada “perang terbuka” yang menyebabkan banyak media, dan juga pengguna media, tidak mengidahkan etika dan aturan permainan.
Salah satu imbas perang terbuka tersebut adalah maraknya kampanye hitam yang mewarnai persiapan Pemilu. Banyak orang menyanjung kawan dengan cara memojokkan lawan. Isu Suku Agama dan Ras (SARA) diangkat ke dalam poster, mural dan baliho kampanye tanpa pertimbangan nalar dan akal budi. Media juga tidak mencoba meletakkan duduk perkara dari sebuah peristiwa tapi justru memanas-manasi masing-masing pihak yang berselisih paham. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat jumlah pelanggaran yang terjadi pada Pemilu Legislatif 2014 mencapai 3.507 kasus. Dari jumlah tersebut, 209 pelanggaran masuk kategori pidana, sedangkan 3.238 merupakan pelanggaran administratif (Koran Sindo, 17/4/2014). Beberapa pelanggaran bahkan dilakukan media sendiri, semisal pemihakan secara berlebihan kepada calon presiden tertentu. Media tidak lagi melakukan apa yang disebut Gurevitch dan Blumer (1990:270) sebagai “alat kontrol sosial politik yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta, maupun oleh pihak masyarakat dan sebagai tempat berdialog dan sarana untuk menampung berbagai pendapat, pandangan, dan paradigma dari masyarakat yang ingin ikut andil dalam membangun sistem politik yang lebih baik.” Media justru menjadi aktor politik itu sendiri.
Beruntung di tengah hingar bingar politik ini, hadir sebuah event internasional yang mengalihkan sedikit perhatian kita dari Pemilu Presiden yaitu Piala Dunia 2014. Event yang berlangsung di Brasil sejak 13 Juni 2014 ini membuat kita sejenak mengambil jeda dari hiruk pikuk perpolitikan Indonesia. Meski masih berperan (hanya) sebagai penonton, Indonesia memiliki keterikatan psikologis dengan Piala Dunia, mengingat pendukung dan pemain sepak bola di Indonesia yang luar biasa banyak. Bahkan menurut Federation Internationale de Football Association (FIFA) jumlah pemain sepakbola di Indonesia menempati peringkat ke tujuh di dunia baik itu pemain profesional, pemain yunior dan pemain futsal (baik pria dan wanita) (Anggoro, 2012).
Sebenarnya dalam berpolitik, dan dalam memberitakan informasi politik, kita bisa belajar dari sepak bola modern yang saat ini mengacu pada prinsip dasar: respect (hormat). Bentuk sikap respect ini ditunjukkan melalui pernyataan-pernyataan yang ditegaskan dalam jargon FIFA seperti fairplay (pertandingan yang menghormati peraturan) serta anti rasisme (let’s kick racism out of football dan say no to racism).
Dalam sepakbola, jargon ini tidak terhenti menjadi hiasan spanduk semata, tapi benar-benar dipraktikkan di lapangan, setidaknya oleh klub-klub ternama dan penggemarnya di seluruh dunia. Ketika FC Barcelona (Barca) kalah dari Atletico Madrid pada perebutan piala La Liga musim lalu misalnya, kedua kubu menunjukkan sikap respect yang sangat luar biasa. Para pemain dan pendukung Barca tetap bertepuk tangan, menyelamati pemain lawan dan tidak membuat onar meski kalah di kandang sendiri. Begitu pula dengan Atletico Madrid yang tidak kemudian menjadi jumawa dan menyudutkan lawan yang sudah kalah.
Sementara politik di Indonesia masih seperti sepak bola antar kampung yang dipenuhi gelora fanatisme yang tidak masuk akal, di mana menang menjadi suatu keharusan apapun cara yang mesti dilakukan. Kalau perlu, kaki lawan dipatahkan dan dendam terus terbawa hingga pertandingan-pertandingan selanjutnya. Padahal, Anies Baswedan pernah menyebut, “lawan sepak bola adalah kawan berolahraga”. Artinya, jangan sampai kecintaan kita terhadap calon tertentu membuat kita tidak berpikir jernih dan bersikap membabi buta, karena pada dasarnya orang yang berbeda pandangan dengan kita itu adalah kawan kita juga.
Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip respect tersebut, kampanye politik akan menjadi lebih sehat dan bermartabat. Tidak akan ada lagi kampanye yang isinya hanya menjelek-jelekkan lawan tanpa data. Tidak akan ada lagi komentar-komentar rasis dalam mural dan baliho kampanye yang kita temui di jalanan atau di timeline kita. Kalau FC Barcelona saja bisa dengan legowo menerima kekalahannya dari Atletico Madrid, mengapa kita harus berselisih paham dan sikut sana sikut sini dalam berpolitik? Kalau memang benar kita begitu mencintai sepakbola, mengapa dalam berkampanye politik kita tidak belajar dari sepak bola (yang modern dan mengikuti aturan tentunya)?
* Diyah Hayu Rahmitasari, dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta